6. Red Fir
Genre : Musim Dingin (Gore)
Sub genre : Horor.
Author : Just_Psychopath
______
Menatap ke langit, aku merasakan sesuatu yang dingin jatuh ke wajahku. Bentuknya seperti butiran-butiran putih tidak berguna yang dingin dan mencair saat kau sentuh. Cih, aku tidak suka musim dingin.
"Hoam ...." tak kusadari, aku sudah kelepasan menguap sebanyak empat kali. Aku sudah bosan. Dari tadi, aku hanya memperhatikan dari kejauhan apa saja yang tengah gadis itu lakukan.
Iya, gadis itu. Seorang wanita tak berguna yang entah kenapa bisa direkrut menjadi anggota dari Creepypasta-anggota pembunuh terjahat di dunia-oleh Slenderman, manusia gurita besar tanpa wajah yang sangat menyebalkan.
Dan tanpa persetujuan dariku, pria itu langsung saja melemparkan gadis itu padaku dan menyuruhku untuk mengajarinya dengan baik bagaimana cara untuk menekuni sebuah hobi dengan sungguh-sungguh.
Yah, di sinilah aku sekarang. Bersandar malas di bawah pohon cemara seraya menatap datar semua gerakan gadis itu ... siapa namanya? ah ya, Jin, eh ... Jon? Jane? entahlah, otakku terlalu lemah dalam mengingat sesuatu. Terutama nama.
Dimulai dari dia yang masuk ke dalam sebuah rumah besar, naik menuju kamar korbannya hingga menemukan sang pemilik tengah melakukan adegan panas bersama seorang wanita berambut pirang.
Sejenak, ia tampak sedang berbicara dengan kedua orang itu-entah apa-sebelum menyeringai sadis dan memukul keras kepala si jalang hingga pingsan. Membuat darah mulai membanjiri lantai marmer itu.
Tak luput dari pandangan, ia juga mengejar seorang pak tua yang tengah berusaha untuk kabur dan memukul tengkuknya dengan lampu tidur, lalu menyeretnya ke kasur, serta mulai mengulitinya hidup-hidup dengan pisau kecilnya yang tumpul.
Tanganku rasanya sangat gatal saat melihat cara yang Jane gunakan salah dan kurang pelan. Ia hanya asal-asalan merobek kulit wajah pria itu dengan pisaunya tanpa menggunakan perasaan. Membuat darahnya menyembur ke mana-mana dengan tidak indahnya. Seharusnya ia tidak membuatnya pingsan, seharusnya ia mengikatnya selagi sadar dan mulai mengulitinya perlahan di depan matanya. Dimulai dari kelopak matanya, lalu mulutnya, kemaluannya, dan terakhir, baru seluruh tubuhnya.
Seharusnya ia menguliti dengan tangan atau giginya. Itu baru keren.
Dan, tentu dia tidak akan mati secepat itu, dia pasti masih bisa disuruh untuk merasakan sensasi panas saat salah satu matanya dicongkel dengan sendok dan memaksanya untuk mengunyahnya hingga habis. Ia tidak akan bisa menolak dengan menutup rapat mulutnya. Toh, ia juga sudah kehilangan mulutnya, bukan?
Masih tersisa beberapa detik lagi sebelum dia mati. Bisa dimanfaatkan untuk menarik kuat-kuat rambutnya hingga kulit rambutnya ikut terkelupas sebelum mengiris-iris kepalanya sebelum menusukkan dalam-dalam pisau itu hingga menembus otak. Di situlah seharusnya ia bisa asyik bermain mengaduk.
Dengan begitu, ia pasti tidak akan mati tanpa suatu memori indah di akhir hayatnya.
"Sepertinya ada yang mengatakan padaku jika ia tidak akan ikut campur, tadi." Sindiran Jane berhasil membuyarkan lamunanku. Berkedip beberapa kali, aku baru sadar jika apa yang kubayangkan, telah kupraktikkan sendiri dengan si jalang. Kondisinya pun sudah sangat sesuai dengan yang kubayangkan. Semuanya sempurna.
"Aku bahkan tidak sadar jika aku datang kemari." Gumamku kecil pada diri sendiri.
"Kau tidak berjalan ke sini, tapi memanjat sebuah pohon cemara dari bawah." Cebik Jane yang nampak sibuk dengan irisan-irisan daging jumbo yang sangat banyak. Mungkin ia akan membawa beberapa untuk diberikan kepada anjing peliharaanku di markas.
"Oh ... aku juga tidak tahu itu. Terima kasih sudah memberitahuku." Tambahku sebelum mengangkat mayat si pirang dan mengiris kedua payudara besarnya. Ia merintih, tak kusangka ia masih sanggup bertahan. Ini membuatku semakin bernafsu saja padanya.
Menyeringai padanya, aku menjatuhkannya dan membuka lebar-lebar kakinya. Memasukkan kelima jariku sekaligus pisauku ke dalam kelaminnya, mengaduk-aduk perutnya hingga mendengar desahan nikmat yang sungguh merdu di telingaku.
"Oh, ya, sayang." Balasku tak kalah nikmat.
Menariknya keluar, aku menggigit gagang pisauku dan membawanya ke dalam tubuh si jalang. Keluar-masuk dan berputar-putar dengan cepat. Beruntung aku membawa pisau yang panjang dan baru kuasah.
"Kau menjijikkan, Jeff." Suara dingin si gadis pengganggu kembali berhasil membuyarkan kenikmatanku. Menjauh, aku menatapnya tajam sebelum menggenggam pisauku dan menancapkannya dalam-dalam ke perut korbanku. Mengaduk-aduknya dengan asal nan penuh dendam. Membuat seluruh isi perutnya yang telah lebur, keluar semua. Aku mengernyit kesal melihatnya.
"Jangan salahkan aku yang membuatmu jadi tidak berbentuk begini, aku terlanjur termakan dendam pada gadis aneh itu dan melampiaskannya padamu. Aku tidak mungkin melampiaskan langsung padanya, bisa-bisa bernasib sama sepertimu jika Slendy tahu aku menyakiti peliharaan barunya." Ucapku penuh dengan nada sesal yang palsu. Membuat Jane mendengus penuh benci.
"Sudahlah, ayo kita pulang. Pelajaran hari ini kita usai saja." Desahku kesal seraya berjalan melewati sang perusak suasana dan melompat keluar dari jendela. Rencanaku untuk menikmati tubuh wanita telah lenyap sudah.
"Lalu, bagaimana dengan kekacauan ini?" seru gadis itu. Ck! dia masih tidak mau tutup mulut juga, ya?
"Biarkan saja, asal kau tidak meninggalkan jejak apa pun, kau akan aman." Seruku sebelum pergi meninggalkan gadis cerewet itu.
"Tu-tunggu!" aku mendengarnya memekik sebelum mendengar suara bedebam yang sangat keras. Ok, jangan katakan padaku jika kali ini dia jatuh dan aku harus repot-repot menggendongnya pulang.
Berbalik, aku mengerang kesal saat apa yang kubayangkan telah terjadi. Gadis itu benar-benar terjatuh dari lantai dua dan tengah terkapar tak berdaya di bawah pohon cemara. Tubuhnya tergores di sana-sini dan mengotori salju putih itu dengan darahnya.
"Astaga, kenapa kau begitu seceroboh ini, hah?" makiku padanya seraya membantunya untuk bersandar di pohon.
"Hehe, aku tadi tergelincir darah hingga terjatuh." Alasan yang bagus.
"Ok, lalu, bagaimana caramu untuk pulang, sekarang?"
"Yah ... mau bagaimana lagi, kau harus menggendongku, Jeff." Ia menyeringai penuh kemenangan padaku. Bagus, lengkap sudah penderitaanku hari ini.
Memutar bola mata, aku mulai menggendongnya ala bridal style, saat seorang perusuh datang dan mengharuskanku untuk membersihkannya dari dunia ini. Sekarang juga.
Bayangkan saja! di saat kau berusaha menggunakan hatimu yang sudah lama membeku dengan membantu seseorang, datang seorang gadis paruh baya yang berteriak di hadapanmu jika kau hendak memperkosa gadis yang hendak kau tolong! oh, demi darah manis! aku bersumpah akan merobek-robek mulut itu.
"Hei, tutup mulutmu. Ini tidak seperti yang kau kira, bodoh." Rutukku seraya terus berjalan meninggalkannya yang nampak sama sekali tidak menggubris perkataanku dan kembali berteriak sekencang-kencangnya hingga membuat orang-orang berdatangan dengan berbagai macam benda tajam.
"Ingatkan aku untuk merusak wajahmu setelah ini, Jane. Kau berhutang banyak padaku." Geramku sebelum berbalik dan memanjat ke atas pohon cemara. Mendudukkan Jane di sana, sebelum kembali turun untuk berpesta.
Yah ... sepertinya sudah lama aku tidak berpesta.
"Apa kalian ingin berpesta denganku?" tanyaku dengan seringai abadi di wajahku.
"D-dia monster! lihat saja wajahnya yang aneh itu! mulutnya sangat besar hingga sampai ke pipi!" ok, pekikkan terakhir dari wanita itu sudah menggariskan takdir untuknya. Sudah dipastikan, dialah yang mati terakhir dan akan mati dengan cara yang sadis pula!
"Kalian sudah memilih teman bermain yang salah." Kecamku, malas. Coba tebak, apa mereka mendengarkan kata-kata bijakku? tidak! sudahlah, sekali-sekali bermain, kurasa tidak apa-apalah.
Mereka mulai maju dan mengeroyokku bersamaan. Sungguh jiwa-jiwa pengecut mereka. Melompat, aku menghindari semua serangan dan menusuk cepat ke dalam punggung dua orang--dari 7 orang--pertama. Dan, darah pun mengucur deras membasahi jalanan yang tertutup salju.
Mendadak, wajah mereka menjadi pucat pasi dan mundur teratur. Ok, rasanya sungguh membosankan, kukira ini akan sedikit menyenangkan setelah melihat kemarahan serta hinaan mereka yang benar-benar muncul dari lubuk hati terdalam.
"Kenapa berhenti? takut?" mereka justu menatapku dengan tatapan nanar. Seakan akulah yang memulai semua ini. Huh! tidak punya kaca mereka.
"Bukankah aku sudah bilang, jika kalian sudah salah memilih teman bermain." Dan sedetik kemudian, mereka semua lari terbirit-birit seperi melihat setan.
Mereka pikir akan semudah itu kabur dariku? cih, jangan harap!
Berlari, aku melemparkan pisauku pada orang terdekat yang sepertinya seorang laki-laki bertubuh wanita--entahlah, bentuknya sungguh aneh--dan juga bertubuh gempal. Ia mengaduh saat pisauku tepat menancap dalam di bahunya. Namun, ia masih tetap berlari, seakan yang hinggap di bahunya hanyalah seekor lalat.
Kesal, aku mempercepat lajuku dan melompat ke bahu orang itu, mencabut pisauku dan menikamkannya bertubi-tubi ke tengkuk serta kepalanya.
"Kenapa kepalamu sangat keras?" keluhku saat merasakan kedua tanganku merasa pegal. Aku pun memutuskan untuk turun dan meninggalkan orang itu yang telah jatuh tersungkur bersimbah darah.
Akhirnya dia bisa mati juga, sungguh merepotkan.
Terus mengejar, aku melompat dan menendang punggung pria paruh baya hingga ia jatuh terpental. Sempat kudengar retakan yang terdengar sangat manis di telingaku. Sepertinya aku hanya berhasil meretakkan tujuh tulangnya saja.
"Cih! padahal kukira aku bisa meremukkan seluruh tulang belakangmu." Cibirku kesal sebelum menendangnya hingga berbaring telendang, dan menginjak penuh dendam juniornya. Yah, hitung-hitung sebagai pelunasan dari sisa tulang yang gagal remuk.
"Kurasa aku akan memberikanmu bonus, karena kau adalah korban keempatku hari ini." Memang tidak ada hubungannya, tapi aku hanya ingin membuat kedua bola matanya berpindah dari sarangnya menuju kedua telapak tangannya, lalu memaksanya untuk meremasnya hingga meremasnya hingga mengeluarkan sari-sari layaknya jus saja. Hanya itu. Tidak lebih.
"Hehe ... hei, kau! percuma kau lari, aku pasti akan tetap membunuhmu. Sudah, menyerah saja!" ucapku penuh motivasi. Tapi dengan mudahnya hanya dianggap angin lalu dan wanita itu kembali berlari sekencang yang ia bisa. Tak peduli meski telah terjerembab akibat lincinnya jalanan. Terus saja ia berlari.
Bodoh, seharusnya ia teriak minta tolong saja ketimbang capek-capek berlari seperti itu. Wanita memang sulit dimengerti. Beruntung aku tidak ingin mengerti mereka.
Bicara soal wanita, aku jadi ingat dengan gadis sialan itu--Jane--, saat ini dia pasti tengah bersantai manja di atas pohon. Menungguku kembali dengan omelan tidak jelas bin tidak pentingnya.
"Aku bersumpah jika saat aku kembali dan mendapat masalah lagi karenanya, akan kupotong-potong dia jadi duapuluh empat bagian!" geramku sebelum berlari sekencang kilat dan menerjang punggung wanita terakhir dengan puluhan tusukan dalam di sekujur tubuh belakangnya.
Mau bagaimana lagi? aku kalap.
Berdiri, aku memandang serius hasil karyaku. Enam belas tusukan di punggung, dua tusukan di leher dan tengkuk hingga kepalanya--yang sudah terbelah--nyaris putus, juga duapuluh satu tusukan di depan. Oh! pencapaian terbaruku, sungguh membanggakan.
Aku pergi meninggalkan semua mayat korbanku tanpa rasa ingin menyentuh lagi. Berharap jika tidak akan ada masalah lagi nanti. Aku tidak tahu apakah Tuhan itu sebenarnya benar ada atau tidak, tapi kuharap permintaan pertamaku ini terkabulkan. Jika memang terkabulkan, aku akan bersumpah untuk selalu menyembahnya.
Tapi sepertinya Tuhan itu tidak ada dan aku akan bersumpah untuk selalu mengacuhkannya seumur hidupku, setelah melihat apa yang terjadi.
Ku harap ini cuma mimpi!
"What the fuck are you doing!?" amukku saat melihat pohon cemara yang tadi kuletakkan--aku tahu dia bukan barang, tapi sudahlah--sudah ambruk dan berlumuran darah. Itu adalah darah yang terlalu banyak untuk ukuran satu tubuh kecil gadis sepertinya. Pasti ia sudah membantai sekitar empat orang di sini.
"Kenapa aku bisa mendapatkan hari sesial ini, hah?!" keluhku panik seraya berjalan layaknya orang hilang, mencari Jane. Memang gadis sepertinya bisa pergi ke mana sih?
Lelah, aku berhenti di beranda salah satu rumah untuk sekadar menenangkan ritme jantungku yang bak marching band. Bergemuruh.
"Tidak ...."
Samar-samar kudengar ringkikkan melas dari dalam rumah itu. Aku harap itu bukanlah ulah dari Jane, sudah cukup masalah yang ia timbulkan hari ini.
Masuk dari jendela--itu hanya kebiasaan--aku segera disuguhkan dengan pemandangan yang menyebalkan. Rumah itu porak poranda dengan bercak darah serta beberapa organ dalam yang berceceran di setiap sudut rumah.
"Jane, sampai aku menemukanmu di sini, aku akan meleyapkanmu." Geramku dengan amarah yang telah berada di ujung tanduk. Dengan segera, aku berjalan cepat menghampiri sumber suara, dan kembali tercengang. Ubun-ubunku rasanya sudah mengepul karena melihat ini.
"Sialan!" geramanku seakan tertahan di temggorokan. Aku sudah sangat muak! tidak kusangka aku akan menjumpai pemandangan gila seperti ini. Maksudku, seorang wanita tengah menjerit pilu karena dadanya dibelah menggunakan pisau daging oleh tangannya sendiri. Apa wanita ini sudah gila? ia sendiri yang melakukan, ia pula yang menjerit. Dunia ini sungguh aneh.
Tanpa pikir panjang lagi, aku melengos pergi dari rumah itu setelah melemparkan kursi kayu tepat pada kepalanya yang langsung pecah.
"Di mana kau, Jane? tidak bisakah kau tidak membuatku repot begini?" racauku bingung tak tahu harus mencari ke mana lagi. Jika aku tidak bisa menemukan gadis itu, Slendy pasti akan menjadikanku menu makan malam untuk semua anggota yang lain. 'Jeff panggang' terdengar menjijikkan di telingaku.
"Hei, Jeff! dari mana saja kau? sudah lama aku menunggumu." Celetuk setan itu segera membuatku mengangkat pisau dan menancapkannya dalam-dalam pada perut gadis itu. Aku sudah muak.
"K-ka ...."
"Go to sleep, Jane. Don't dream of me." Aku memotong rintihan Jane. Mencabut pisauku, aku menggendongnya pulang.
Slenderman pasti akan marah besar begitu melihat mainan barunya sudah rusak begini.
Dan sepertinya aku harus berterima kasih pada gadis ini. Aku yakin ia pasti sudah membereskan dua orang yang belum sempat kubunuh tadi.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top