10. Awan & Hortensia

Author : ForbiddenAutumn
Genre : Hujan/Teenfict
Sub Genre : -

___

Hujan. Itu mendeskripsikan diriku. Seseorang yang kerjaannya hanya menangis, meratapi nasib. Menutup diri dari keramaian dan membuat tempat nyaman di sudut tersembunyi. Aku adalah makhluk mati yang memegang status makhluk hidup. Kehadiranku tidak dianggap sama sekali oleh seorang pun di dunia ini. Siapa yang mengharapkan seorang yang penyendiri sepertiku? Hantu? Oh, aku memang hantu yang keberadaannya tidak disadari mau itu di dunia maya, nyata bahkan khayal. Aku hanyalah sebuah figuran di suatu drama. See? Kita keluar topik dari "hujan" hingga membahas aku yang tak berguna ini.

Aku menyukai hujan lebih dari siapapun. Aku bisa berteriak sekencang yang ku inginkan. Ku bisa menyembunyikan air yang selalu keluar dari mataku. Ku bisa mengukir kisah kelamku di langit kelabu. Ku bisa menari di bawahnya tanpa seorang manusia pun peduli.

Tapi, aku membenci seseorang. Dia terus menerus bertanya apapun tentangku. Perlunya apa? Dia adalah tetangga yang baru pindah minggu lalu. Dia sangat mengusikku.

Memang, dia tidak menekanku seperti orang lain. Hanya saja dia berusaha mencairkan pintu yang sudah membeku semenjak lama.

Kenapa? Dia juga ingin menjahatiku? Dia juga ingin menggoreskan luka padaku? Dia juga ingin meninggalkanku seperti mereka? Dia juga berpura-pura baik padaku? Dia juga akan menekanku? Dia juga ingin membuatku tambah cengeng?

Tetapi goresan lengkung di bibir malaikatnya menghancurkan seluruh prasangka burukku terhadapnya. Apakah dia malaikat berwujud manusia yang diberikan untukku?

Seperti hari ini..

Dia menggoreskan lengkung di bibir yang membingkai wajahnya, berlari mendekati pembatas pagar di antara rumah kami.

"Hei Ki! Apa kau tau? Di musim hujan ini, ada bunga yang cantik lho!"

"Hm"

"Bunganya indah, Sewaktu masih kuncup, bunga berwarna hijau, berubah menjadi putih, lalu mekar berwarna biru muda atau merah jambu yang secara bertahap berubah menjadi warna-warna yang lebih tua" jelas remaja laki-laki berumur 15 tahun itu.

"Oh begitu" jawabku tak minat.

Entah kenapa dia terlihat senang mendengar jawabanku. Apakah ada yang salah?

"Ki! Kau mengatakan dua kata! Apakah itu berarti kau ingin berteman denganku?"

"Ngga"

Dia nampak berpikir sejenak, "Tanam bunga Hortensia yuk!"

"Ogah"

"Ayo.. halamanmu hanya penuh semak-semak, setidaknya hiasilah dengan sebuah bunga"

"Tidak"

"Oke! Besok kita tanam ya! Aku punya bibitnya!"

'Bukannya kubilang "tidak" ya' sungutku dalam hati.

Sebelum sempat protes, dia sudah menghilang dari hadapanku.

Kenapa dia bersikeras membujukku?

Tik..tik.. sebuah cairan membahasi rambutku, menyerangku secara bersamaan. Ku tatap langit kelabu itu.

"Tuhan, mengapa kau beri dia kesedihan?"

Hari berganti. Di pagi hari, ia benar-benar datang ke halamanku membawa peralatan-peralatan yang diperlukan dan tentu dengan bibit bunga yang dia bicarakan.

"Ki! Jangan bersembunyi di balik jendela kamarmu! Ayo keluar!"

Sial, aku ketahuan. Tapi, dia akan pergi kan kalau aku tidak keluar rumah? Tidak mungkin dia.....

"Aku mulai ya!"

..merusak halaman orang lain tanpa seizin sang pemilik.

Salah. Dia berani melakukannya. Dia mulai menggali tanah dan menanam bibit tepat di balik sepanjang pagar rumah.

Aku berusaha mengabaikan keberadaannya dan memulai hidup monotonku di dalam rumah hingga semburat oranye menerpa dinding pucat rumahku.

"Ki! Lihat hasil kerjaku!"

Suara itu lagi. Aku bergerak malas ke tepi jendela dan melihat gundukan tanah berwarna cokelat. Sudah kukatakan, dia hanya merusak halamanku.

"Memang bunganya belum tumbuh.. Tapi, lihat saja! Bunga itu akan menghiasi kanvas monokrommu!"

Oke, darimana dia tau aku pelukis monokrom? Dia penguntit?

"Rawat Bunganya dengan baik ya! Ingat, kalau sudah tumbuh terlalu tinggi harus cepat-cepat di------"

Ucapannya dipotong paksa oleh awan. Benda langit itu tidak dapat menahan kesedihannya dan langsung menyerbu bumi yang tak bersalah. Sisi baiknya, hujan mengusir pengusik itu dari halamanku.

Aku tidak menghitung berapa lama bunga itu tumbuh dan dirawat dengan rajin olehnya. Tapi, sekarang bunga itu telah bermekaran dengan indah menghiasi kosongnya halaman rumahku.

Brak! Pengusik itu kembali datang, menerobos masuk rumahku tanpa izin. Menggapaiku dari kegelapan menuju cahaya hangat pagi. Memberi kebutaan sejenak akan mata yang tiba-tiba diserbu ketiadaan gelap.

"Hortensia-chan nya tersenyum, bagaimana kalau kau tersenyum, Ki?" ucapnya seraya menunjuk bunga-bunga itu.

"Chan?"

"A-aku meniru pengucapan di.. hm lupakan saja"

Apa yang sebenarnya dia ingin katakan?

"Aku ingin melihat kau tersenyum, Ki~. Masa kau tidak senang melihat bunga-bunga ini?" keluhnya.

"Senyum?"

Dia nampak kaget. Matanya mencari kebenaran di balik ucapan datarku. Merasa cukup meneliti wajah tak berekspresiku, dia menghela napas.

"Senyum itu menaikkan dua centi kedua sudut bibir ke atas!"

Penjelasan apa itu? Jika ia tidak tau, dia tidak perlu menjelaskan hal aneh itu.

"Hm"

"Apakah Ki akan melukis bunga ini dengan warna?"

"Monokrom"

"Bukankah lebih baik kalau berwarna?"

"Ga"

"Tapi--"

"Ga"

"Baiklah! Besok kita akan melukisnya bersama, oke?"

"Ga"

"Berhenti berkata 'Ga'" serunya jengkel.

Entah senang atau sedih, dia menunjukkan sikapnya yang sebenarnya. Tidak berpura-pura menjadi malaikat baik hati yang ramah.

Suara ibu remaja laki-laki itu menginterupsi percakapan di antara kami, ia pun pamit pulang dan menghampiri ibunya.

Ibu? Keluarga? Apakah ada masa dimana aku mengetahui tentang itu?

Besok hari, dia benar-benar datang membawa kanvas dan beberapa jenis cat. Dia melambai ke arahku yang sedang menatapnya dari jendela dan membentuk lengkungan kembali di bibirnya.

"Ayo melukis bunga hortensia!" ajaknya bersemangat.

Menghela napas, aku memilih pergi ke halaman rumah daripada dia kembali memaksaku keluar.

Kala aku menginjakkan kaki tanpa alas ke halaman, ia menyambutku ceria seperti matahari yang akhir-akhir ini selalu disembunyikan oleh awan.

Dia membantuku menyiapkan peralatan dan menyemangatiku dengan kata-kata manisnya.

Aku mulai menggoreskan pensil ke kanvas kosong. Menggambarkan bunga-bunga Hortensia yang bermekaran.

Satu jam berlalu, aku telah selesai melukiskan bunga-bunga tersebut. Kulirik dia yang sedang asyik melukis, ia terlihat sangat serius.

Menyadari tatapanku, dia menoleh sambil melakukan sesuatu yang bernama senyuman. Dia menatap lukisanku dengan aneh. Tangannya bergerak menggoreskan warna biru muda pada kanvasku.

"Kau harus membuatnya berwarna" katanya.

Suaranya seakan menghilang dari indra pendengaranku. Gejolak aneh menghantui perasaanku, mengganjal akal sehatku, mengambil alih jiwa ragaku. Aku benar-benar tidak suka padanya.

"PERGI!"

Dia nampak kaget. Menyadari situasi, dia langsung memilih meninggalkanku sendiri sesudah membereskan barang-barang miliknya.

Tubuhku lemas, jatuh ke bumi. Awan yang paham kondisiku, ikut mengalirkan kesedihanku. Ia menyapu lukisanku yang ternoda oleh warna yang seharusnya tidak ada di hidupku.

Aku menangis, meraung, mengadu ke angkasa.

"Kenapa dia? kenapa dia?"

Beberapa hari berlalu, aku mengurung diri di kamar. Tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Mengunci rapat rumah kosong milikku sendiri.

Sejak hari itu, dia selalu kesini, mengetuk pintu rumahku dan bertanya kondisiku. Bahkan, aku pernah melihat dia dimarahi ibunya karena berinteraksi dengan orang sepertiku.

"Ki! Besok akan ada badai! jaga dirimu ya!" itu pesannya hari ini.

Hari baru kembali datang. Suhu pagi tak seperti biasanya, seakan panas sudah menghilang entah kemana. Cuaca pun terlihat tidak begitu baik. Langit pagi segelap langit malam yang kehilangan jejak cahaya.

Ternyata benar, badai datang tepat pukul 8 pagi.

Dia datang di tengah badai. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Susah payah ia menggapai pagar rumah, menahan diri agar tak terbawa arus angin. Kini, tangannya meraih tanaman Hortensia.

Deg.

Aku tidak tau kenapa. Tiba-tiba aku berlari menuju pintu depan dan keluar rumah dengan hati-hati. Menghampiri remaja 15 tahun yang dengan bodohnya datang ke rumahku di tengah badai.

Tak. Itu patah. Tidak, tidak, aku tidak akan terlambat. Aku berlari sekuat tenaga ke remaja itu. Kemudian? Kegelapan menyambutku.

---------------

Hai awan, bagaimana kabarmu?
Kau selalu menumpah ruahkan perasaanmu
Memaksa semesta untuk memahamimu

Hai awan, ada apa denganmu?
Apakah kau disakiti oleh matahari?
Ataukah bintang tak menghiraukanmu?

Hai awan, apa gunanya air matamu?
Membanjiri bumi kah?
Mencari perhatian kah?

Hai awan, apakah dirimu tahu?
Hortensia sedang tersenyum padamu
Kelopaknya menyapa dirimu

Hai awan, mengapa kau bersedih?
Hortensia menghiburmu berkali-kali
Namun kau pun abaikan ia berkali-kali

Hai awan, aku ada untukmu
Itukah yang ingin kau dengar dariku?

Aku terkekeh membaca puisi buatannya. Dia seolah berbicara pada dirinya sendiri. Sepenyendiri itukah dia?

Siapa dia? Dia adalah penyelamatku dua tahun lalu.

Semak yang ditumbuhi Hortensia menimpaku. Tunggu? mengapa aku tidak merasa sakit? Aku melihat ke atas dan menemukan gadis 13 tahun itu menyelamatkanku.

"P-pergi"

Dia mengatakan kata itu lagi. Tunggu.. dia.. tersenyum? Dia senang bertemu dengan sang pencabut nyawa?

Aku merasa tubuhku didorong sekuat tenaga sebelum mendengar suara keras tubuhnya menghantam tanah diiringi semak itu. Dia.. kehilangan nyawanya.. karena.. aku?

Ya, aku pembunuhnya yang menanam bunga-bunga Hortensia itu dengan tidak benar. Lubang tanahnya terlalu dangkal dan saat badai datang, tanaman itu pun tumbang.

Semenjak itu aku benci Hujan dan Hortensia. Itulah kisah tak menarik dariku.

The End.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top