1. Rainy Day
Genre : Musim Hujan (Teenfiction)
Sub genre : Romance, family, hurt
Songfict di mulmed : Unmei no hito by Fujita Maiko. (Puter lagunya kalau mau baper 😂. Soalnya ni cerita kurang feel)
Story by : mizu_hikari (Hikari)
--------------------------------------------
Dalam surat singkat ini, akan kuceritakan sebuah kisah kepadamu. Sebuah kisah dimasalalu, tentang seorang pemuda kikuk dan sang gadis hujan.
Disaat aku mencoba berlari dari takdir yang menyiksaku, saat itulah takdirku terhubung dengannya.
Kala rasa sakit dan putus asa mulai menyiksaku, aku menemukannya yang tengah tersenyum cantik. Senyum yang berhasil menutup sejenak rasa sakitku.
Ditengah taman hortensia yang keunguan, gadis dengan onepiece putih itu berlari kecil dan tertawa riang.
Dibawah rintik-rintik hujan itu, dia berputar-putar menikmati indahnya bunga hortensia. Rambut hitamnya yang sedikit basah, terlihat berkilau dan indah.
Langkahnya begitu ringan, tanpa beban, seolah dia adalah seekor kupu-kupu yang tengah terbang dengan bebas.
Tanpa kusadari, hatiku telah jatuh padanya. Pada sang gadis hujan, yang menari bak kupu-kupu ditengah taman hortensia.
Kaizaki Kei, London 2017
--------------------------------------------
Jepang, Tahun 2007
Brak.
Lagi-lagi aku mendengar suara gebrakan meja yang cukup keras.
Setiap malam selalu saja seperti ini. Ayah pulang dari kantor dengan keadaan mabuk berat, dan ibu menjadi marah karenanya. Jelas saja ibu sampai marah besar, memang keadaan ekonomi keluarga kami bisa terbilang sangat baik. Tapi tetap saja, wanita mana yang tidak naik darah ketika suaminya pulang malam dengan keadaan mabuk? Terlebih lagi, aku yakin saat ini pasti tercium bau parfum wanita dari kemeja ayah.
"Tidak bisakah kau berhenti minum-minum ha?! Kau pasti juga berjudi dan main wanita kan?!"
Aku bisa mendengar tiap teriakan frustasi ibu dari dalam kamarku. Ditengah emosinya yang meluap-luap, samar-samar aku mendengar isak tangis.
Ah, ibuku yang malang menangis lagi.
"Aku mencari uang dengan jerih payahku sendiri! Jadi terserah padaku uangnya mau ku apakan! Lagipula aku tidak membiarkanmu dan putramu kelaparan, apa itu saja tidak cukup?!"
Disisi lain ayahku yang berkepala batu tidak mungkin akan mengalah. Dia kepala keluarga terburuk yang pernah ku temui. Tak mau disalahkan, selalu merasa benar, dan paling berkuasa.
"Jika kau terus seperti ini, keluarga kita akan hancur! Bahkan mungkin kita akan terlempar kejalanan!"
Aku semakin menenggelamkan diriku dalam selimut. Meringkuk diam di dalam kamar, sambil mendengar pertengkaran mereka, hanya itu yang bisa ku lakukan. 'Anak kecil tidak boleh ikut campur dengan urusan orang tua, tidur saja dengan tenang di dalam kamar'. Itulah yang selalu mereka katakan.
Ku mohon, ayah hentikan bentakanmu yang membuat ku berdebar ketakutan itu.
Ibu, ku mohon berhentilah menangis. Itu menyakitiku.
Aku berjanji akan jadi anak yang baik, jadi hentikan..
"Apa hakmu melarangku?! Semua ini adalah milikku, dan aku bebas menggunakannya sesukaku."
Ayah mulai lagi, mengeluarkan argumen untuk menunjukan kuasanya.
"Tapi aku istrimu! Jika tidak demi aku, berhentilah demi Kei!"
Plak!
Suara apa itu? Apa ayah baru saja menampar ibuku?
"Kemari kau!"
"Lepaskan! Aaargh.."
Ada apa ini? Kini yang aku dengar bukan lagi suara adu argumen mereka. Kenapa ibu berteriak meminta dilepaskan?
Apa yang ayah lakukan?
Cukup sudah! Aku tidak mau terus bersembunyi, dan hanya jadi pendengar. Aku bukan anak kecil lagi, aku sudah berusia enam belas tahun. Usiaku sudah cukup untuk memberontak!
Dengan cepat aku keluar dari dalam selimutku. Kubuka pintu kamarku, dan mulai berlari ke ruang keluarga, tempat mereka selalu bertengkar.
"Eh?" pekikku kaget.
Tidak ada orang disini, kemana mereka pergi?
Aku mengedarkan pandanganku keseluruh sudut rumah.
Kenapa pintu kamar mandi terbuka? Aku bisa mendengar suara gaduh dari sana.
Tanpa berpikir aku segera berlari kesana. Cepat, aku harus cepat, aku harus menghentikannya.
"Ayah apa yang kau lakukan?!"
Seketika aku berteriak keras saat melihat ayah yang memasukan kepala ibu ke dalam bak air dengan arogannya.
"Ayah lepaskan! Ibu bisa mati!"
Dengan menahan semua rasa takutku, aku mencoba memegang tangan ayah dan menarik kepala ibu keluar.
"Minggir!!" bentak ayah, dengan suara yang mengerikan.
Bugh.
Dengan kakinya yang besar ayah menendang tubuhku. Dengan tenaga sebesar itu ayah sanggup membuat tubuhku terhempas hingga menghantam tembok.
"Ugh.."
Ini sakit. Sangat sakit. Tapi aku tidak boleh kalah.
Dengan berpegangan pada ujung pintu, aku mencoba berdiri.
"Ayah hentikan!!!!!"
Dengan sedikit keberanian yang tersisa, tanganku mulai mengepal. Kuarahkan sebuah tinju tepat di wajah ayah.
Hidungnya berdarah karena ulahku. Aku tak peduli lagi.
"Arrrgh."
Ayah menggeram sakit sambil memegang hidungnya. Selagi ayah kesakitan, aku segera mengeluarkan kepala ibu dari dalam air.
"Uhuk..uhuk.. Kei"
Aku tak bisa menahan rasa marah dan kebencianku saat aku melihat keadaan ibu yang lemah. Dia kesulitan bernapas dan terus terbatuk-batuk.
"Ayah.. Aku tidak akan memaafkanmu!" ucapku dengan sorot mata penuh kebencian.
Kelihatannya kata-kataku membuatnya marah.
Bugh.
Sebuah pukulan keras mengenai wajahku, bahkan sekarang dada dan perutku juga dipukulnya. Ini sakit, kesadaranku mulai hilang.
Eh? Tubuhku terasa berat. Kenapa pandanganku buram.
"Kei! Kei!"
Ibu? Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Ah, apa aku akan mati? Aku masih harus melindungi ibu.
Semuanya, gelap.
-----------------------------------------------
Samar-samar aku mendengar suara kicau burung dan gemericik air. Silau, aku mulai mengerjabkan mataku. Ah, kepalaku pusing. Tubuhku terasa kaku dan sakit.
"Ibu?" lirihku saat melihat ibu yang tertidur disampingku.
Ibuku mulai terbangun dan menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Selamat pagi Kei."
Aku tersenyum membalas senyuman ibu. Dengan gerakan pelan aku mulai duduk. Aku mengamati keadaan sekitar. Ini kamarku. Kenapa aku ada disini, bukankah semalam..
"Ayahmu yang memindahkanmu kekamar setelah dia memukulimu hingga pingsan."
Aku hanya diam mendengar penjelasan ibu. Kuarahkan pandanganku kejendela kamarku yang terbuka lebar. Hujan rintik-rintik membuat suasana diluar sedikit redup. Tapi aku suka aroma tanah yang tercium disaat hujan, ini membuatku sedikit tenang.
"Ibu, dimana dia?"
"Setelah memukulmu, dia pergi dari rumah. Kami, akan bercerai."
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Tapi aku bahagia.
"Ooh.."
"Mulai sekarang kita hanya akan tinggal berdua Kei. Ibu akan mulai bekerja, dan kau harus sekolah dengan benar. Tapi, untuk hari ini, sebaiknya kau istirahat dulu."
"Hn."
Aku masih setia menatap keluar jendela. Aku ingin lari. Aku ingin kabur, menuju dunia luar yang jauh lebih baik. Tapi, aku tak punya cukup keberanian.
"Ibu, aku mau keluar sebentar."
Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung mengambil jaket hoodie biruku dari dalam lemari dan mengenakannya.
"Eh? Diluar hujan, kau bisa semakin sakit."
Aku tak menganggap ucapan ibu dan tetap pergi, bahkan tanpa membawa payung.
------------------------------------------
Tap.. Tap.. Tap
Samar-samar aku mendengar suara langkahku ditengah suara gemericik hujan. Aku berjalan tanpa memiliki tujuan. Benar-benar menyedihkan.
Aku pun mulai tertarik dengan taman bunga hortensia yang ada di depanku. Sebuah taman indah, yang terletak didekat pemukiman, bangunan rumah sakit dan juga pertokoan. Namun anehnya tempat itu terlihat sepi, mungkin karena hujan. Seperti sebuah taman rehasia di negeri dongeng.
Tanpa sadar kakiku melangkah semakin masuk ketaman itu. Seperti terhipnotis, kakiku terus melangkah tak mau berhenti. Menyusuri jalan setapak yang dikelilingi deretan bunga cantik berwarna ungu kebiruan.
Hingga langkahku terhenti saat mataku menemukan keberadaan gadis itu. Seorang gadis yang tengah menikmati indahnya bunga hortensia dibawah hujan rintik-rintik.
Dia sendirian, tapi dia tertawa begitu lepas. Gadis yang aneh.
Keadaannya cukup buruk, dengan rambut dan onepiece putih yang basah. Tapi anehnya dia terlihat sangat bercahaya. Menyilaukan.
"Hei, kenapa kau berdiri diam disana?"
Aku sedikit tersentak saat gadis itu balik menatap kearahku dan mulai berbicara.
Sejak kapan aku terus berdiri sambil menatap gadis asing itu?
Sekarang gadis itu malah berjalan mendekat kearahku. Bagaimana ini?
"Hujannya mulai deras, mau berteduh bersama?" ucapnya sambil tersenyum ramah kepadaku.
Aku memalingkan wajahku, karena tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya orang asing yang tidak sengaja kutemui, bagaimana bisa dia bersikap sok akrab seperti itu.
"Ayo, aku tahu tempat berteduh yang nyaman. Cepatlah ikut denganku hujannya makin deras."
Gadis ini tidak mau berhenti membujukku. Dia mengulurkan tangannya, dan akhirnya akupun menyerah.
Dia mulai menarik tanganku, kami berlari bersama dibawah derasnya hujan. Kami berlari semakin jauh, jauh, dan jauh. Terus berlari, hingga kami tiba disebuah pondok kecil ditengah taman hortensia.
"Sampai hujannya reda, kita berteduh dulu disini."
Aku hanya membalas ucapannya dengan mengangguk singkat. Aku harus tetap menjaga jarak dengan gadis asing ini.
"Aya, begitulah orang-orang biasa memanggilku. Kalau kau?"
"Kei."
"Nama yang bagus."
Ya, dia benar namaku memang memiliki arti yang bagus, 'anak yang diberkati dan beruntung'. Namun menurutku Kei bukanlah nama yang cocok untukku. Karena nasibku justru berlawanan dengan arti nama itu.
Waktu yang kami lalui sangat canggung dan dingin. Kami hanya saling diam sambil menatap langit yang suram. Menunggu hujan agar sedikit reda.
"Kenapa, gadis sepertimu sendirian di taman seperti ini?" tanyaku.
"Kau sendiri?"
Aku menghembuskan napas singkat. Dia justru balik bertanya kepadaku.
"Aku hanya ingin mencari suasana baru," jawabku.
Dia menoleh kearahku dan tertawa kecil. Tanpa kuduga dia mendekat satu langkah kearahku. Mata bulatnya mulai menatapku dengan intens. Tangannya bergerak, jari-jari kecilnya mendekat kewajahku.
"Aku juga sedang mencari suasana baru. Jadi, kita sama-sama sedang berusaha kabur ya.." ucapnya sambil menunjuk ke ujung bibirku yang lebam karena pukulan ayah semalam.
Aku hanya menatapnya bingung, lalu segera memalingkan wajahku. Gadis aneh ini bicara apa sih?
"Apa maksudnya kita sama-sama sedang berusaha kabur?"
Lagi-lagi dia tersenyum kepadaku.
"Setiap orang pasti punya masalahnya sendiri. Dan saat bosan menghadapinya, kita pasti akan berpikir untuk kabur. Salah satunya dengan mencari suasana yang baru," jawabnya dengan ekspresi wajah polos seperti anak-anak.
Aku menundukan kepalaku, dan mulai tenggelam dalam lamunanku sendiri. Jawabannya memang aneh, aku juga tidak begitu paham dengan ucapannya, tapi entah kenapa aku merasa setuju dengannya. Aku memang sedang ingin mencari jalan untuk lari dari kenyataan. Yah, meskipun aku tidak tahu caranya. Tapi, suatu saat nanti pasti aku akan berhasil lari dari takdir yang tidak kuinginkan ini.
"Dingin sekali."
Aku mendongakan kepalaku yang sedari tadi menunduk. Kini mataku menatapnya lagi. Tangan kecilnya terulur, menyentuh tiap tetes air hujan yang turun dengan lembut. Pantas saja dia kedinginan.
"Kau akan semakin kedinginan jika bermain air seperti itu Aya-san."
"Bukan hujannya, tapi kau."
Setelah berkata seperti itu dia tertawa kecil, lalu berbalik dan melambaikan tangannya kearahku. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi, dia berjalan pergi. Meninggalkan diriku yang masih menatapnya.
Apa aku adalah orang yang dingin? Lalu bagaimana caranya menjadi orang yang hangat dan dicintai banyak orang?
Sudahlah. Kelihatannya, aku juga harus pulang selagi hujannya reda.
--------------------------------------------
Hari ini aku mulai bersekolah seperti biasa. Seperti kata ibu, aku harus terus maju dan melupakan kejadian yang tak pantas untuk ku ingat. Tapi, semakin aku berusaha melupakannya, aku justru semakin mengingatnya.
Hari ini, sepanjang jam pelajaran teman-temanku mulai menatap diriku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu yang membuatku muak. Dan saat jam istirahat, mereka mulai menanyakan tentang luka difisikku. Sungguh aku merasa sangat tidak nyaman. Semakin mereka menanyakan luka fisikku, luka dihatiku akan semakin terasa sakit.
Dengan sedikit senyum palsu aku meyakinkan mereka bahwa aku hanya terjatuh. Tidak mungkin aku bisa menceritakan kehancuran keluargaku sendiri. Meskipun aku tahu, cepat atau lambat mereka akan mengetahuinya juga. Karena dunia ini punya banyak telinga dan mulut.
Dengan malas aku membuka payungku. Tidak lama lagi sudah memasuki musim panas, karena itulah hampir setiap hari hujan selalu turun. Hari ini hujannya lumayan deras, anginnya juga sedikit kencang. Hawa disini benar-benar suram dan dingin.
Dengan cepat aku melangkah menembus hujan. Karena ada payung aku tak perlu takut basah. Tapi, aku ingin segera pulang agar tidak ada satu orang pun yang mulai menanyakan soal masalahku.
Ditengah perjalanan, lagi-lagi pandanganku terpaku pada tempat itu. Seperti kemarin, aku seolah terhipnotis tiap melihat taman bunga hortensia yang sepi itu. Hujan yang deras ini menghalangi pandanganku. Dari tempatku berdiri, taman itu terlihat samar-samar. Namun, aku justru semakin tertarik untuk masuk kedalamnya.
Selangkah demi selangkah, aku memasuki taman itu. Deretan bunga hortensia mulai menghiasi pandanganku. Rasanya seperti menembus sebuah tirai yang tak terlihat, ini menyenangkan.
Tanpa sadar mataku mulai mencari keberadaannya ditengah taman yang luas ini.
Apa sebenarnya yang aku pikirkan? Tidak mungkin ada orang selain diriku yang mau membuang-buang waktunya, pergi ketaman hortensia disaat hujan seperti ini.
Setelah terdiam cukup lama, akupun berbalik dan melangkah keluar. Aku sudah membuang-buang waktuku tanpa sengaja.
Hujan mulai mereda, hawa dingin yang sedari tadi menusuk kulit pun berubah menjadi hawa sejuk yang menyegarkan. Cahaya matahari mulai menembus dari celah-celah awan. Cahayanya yang samar-samar mengingatkanku dengan cahaya kunang-kunang. Cuaca yang sungguh indah.
Aku mulai mengarahkan payungku kedepan, dan menutupnya kembali. Tidak mungkin aku akan menggunakan payung di cuaca yang mulai cerah ini.
"Konnichiwa"
Aku hanya terdiam dan memasang wajah kaget. Saat payungku tertutup, hal pertama yang kulihat adalah gadis itu.
"Aya-san?" tanyaku ragu-ragu.
Dia mengangguk dan tersenyum kepadaku. Hah, bagaimana bisa ada orang yang selalu bahagia seperti itu.
"Kei-kun, mau melihat bunga hortensia sebentar?"
Dia tertawa dan mengulurkan tangannya, seperti kemarin. Akupun kembali menerima uluran tangannya. Tidak ada salahnya kan aku ikut dengannya, lagi pula aku juga sudah ada ditaman ini sejak tadi.
Kami berjalan santai, mengikuti jalan setapak yang dikelilingi bunga hortensia.
"Whoa, lihat-lihat ada kumbang besar disana!"
Dia berteriak girang dan tertawa hanya karena melihat hal-hal yang sepele. Sungguh gadis yang aneh. Dan yang lebih aneh lagi adalah diriku yang mau mengikutinya.
"Nee, Kei-kun cuaca hari ini sungguh cerah ya."
"Um, hn. Begitulah."
"Mau duduk disana dulu?" tanya Aya sambil menunjuk kearah sebuah bangku taman.
Aku pun mengangguk dan mengikuti langkahnya lagi.
Seperti kemarin, kami hanya saling diam. Aya duduk sambil terus memandang kagum kearah deretan bunga hortensia. Sedangkan aku hanya duduk bersandar sambil melamun.
"Huh, aku sedikit bosan."
Aku menoleh kearah Aya, dan sedikit tertawa kecil saat melihat wajah bosannya.
"Ternyata kau bisa bosan juga ya," ucapku sedikit mengejek.
Dia terlihat mengerucutkan bibirnya kesal. Kelihatannya aku sudah agak keterlaluan.
Aku pun membuka tas sekolahku dan mengeluarkan sebuah manga.
"Ini, bacalah."
Aku menawarkan mangaku untuk dia baca. Mungkin dengan begini dia akan berhenti kesal dan memasang wajah aneh itu.
Tanpa kuduga Aya langsung menyambar mangaku dan mulai membacanya.
Dia tak henti-henti memasang wajah kagum, dan tertawa keras saat membaca manga. Dan tanpa sadar aku pun ikut tertawa melihat tingkah konyolnya.
"Aya-san, orang baru disini? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."
Sambil tetap fokus membaca manga, dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku menginap ditempat salah satu kerabat jauhku bersama ibu."
Pantas saja dia terlihat asing dimataku.
"Manganya sangat bagus! Nee, Kei-kun maukah kau meminjamkan mangamu kepadaku lagi?"
Dia bertanya dengan mata bulat yang berbinar. Entah kenapa, aku tidak bisa menolak permintaannya. Aku pun mengangguk, dan dia mulai tersenyum senang.
"Kalau begitu, aku akan datang kesini setiap sore! Sepulang sekolah, datanglah kesini dan bawakan aku manga ya!" ucap Aya dengan penuh semangat dan girang.
Aku tersenyum singkat, "apa kau tidak bosan datang kesini setiap hari?"
"Em, tidak juga. Tempat ini jauh lebih baik, aku bisa melihat bunga hortensia yang indah. Aku sangat menyukai bunga itu, dan tempat ini. Lagi pula, aku hanya bisa pergi sampai sejauh ini."
Seperti kemarin, kata-kata gadis ini begitu sederhana, tapi membuatku bertanya-tanya.
"Apa kau tidak bisa pergi ketempat lain, karena kau belum mengenal kota ini? Jika itu alasannya, kapan-kapan ayo pergi melihat-lihat kota bersamaku."
Entah apa yang kupikirkan saat itu. Tanpa pikir panjang aku mengajak gadis yang baru aku kenal selama dua hari untuk pergi mengelilingi kota.
Namun, dia justru terlihat sangat bahagia. Dia tersenyum dan mengangguk dengan penuh semangat.
"Kalau begitu, hari ini kita berteman ya Kei!"
"Eh, em baiklah."
"Ahahahaha, Kei sekarang jadi lebih hangat ya."
"Ti-tidak juga."
Kami kembali terdiam cukup lama. Meski sekarang kami berteman, tetap saja kami baru bertemu dua kali. Dan sangat sulit mengenal satu sama lain dalam waktu sesingkat itu.
Saat ini, aku hanya mengetahui sifatnya yang ceria. Dan aku yakin dia hanya melihat sifat kikukku yang sedikit dingin.
"Nee Kei, apa kau baik-baik saja? Sebenarnya, takdir seperti apa yang ingin kau hindari? Dari apa kau ingin melarikan diri?"
Aku tertegun cukup lama mendengar ucapannya. Apa maksudnya? Sejak pertama kali bertemu denganku dia selalu saja mengatakan hal aneh seperti itu. Tahu apa dia tentang diriku?!
Aya menatapku dengan tatapan serius yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Semoga lukamu cepat sembuh."
Setelah mengatakannya Aya mengembalikan mangaku dan pergi sesuka hatinya seperti kemarin.
'Hei sang gadis yang kutemui dibawah rintik hujan. Seperti apakah diriku, yang terlihat dalam matamu itu?'
------------------------------------------
Sejak hari itu, aku mulai sering pergi ke taman hortensia sambil membawa beberapa manga. Tak banyak yang kami bicarakan, kami hanya membaca manga bersama. Saling membuat lelucon dan tertawa bersama. Bermain monopoli atau ular tangga. Bahkan terkadang, kami berlarian ditengah taman yang sepi, seperti anak kecil. Meski hanya seperti itu, aku menyukainya. Kami menjadi teman dekat hanya dalam satu pekan. Meski kadang aku masih sering bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dia maksud, tapi aku lebih memilih melupakannya dan mulai melakukan hal lain yang lebih menyenangkan. Aku sangat senang, sampai aku takut akan kembali pada kesedihan.
Aku selalu datang dari hari ke hari. Namun tidak hari ini.
Hari ini aku hanya mengurung diriku didalam kamar. Rasanya aku ingin mati. Besok adalah sidang perceraian pertama ayah dan ibu. Sejak kemarin mereka terus saja memperdebatkan, dengan siapa aku akan tinggal. Aku muak.
Aku tak mau melihat siapapun saat ini! Menjauhlah kalian semua!
'Nee Kei, berjanjilah kau akan datang besok. Aku akan menunggumu sampai kau datang.'
Tiba-tiba saja aku teringat ucapan Aya.. Apa dia ada di taman? Sekarang sedang hujan deras, dan hari sudah semakin larut.
Tanpa kusadari, aku langsung berlari keluar. Aku langsung menyambar sepeda yang ada di garasi.
Aku menaiki sepeda dengan kecepatan penuh, menerjang hujan. Dan saat aku tiba di taman, Aya benar-benar tengah berdiri di tengah taman sambil memegang sebuah payung transparan.
"Kei lama!"
Aku mengabaikan perkataannya. Dengan kasar aku meletakkan sepedaku dan berjalan kearah Aya.
"Pulanglah Aya, hari ini aku tidak membawa manga," ucapku dengan suara bergetar. Badanku gemetar, entah karena hujan yang terlalu dingin atau karena emosi yang berusaha ku tahan ini.
Aya mendekat kearahku, dan memasukanku dalam lingkup payungnya.
"Hujannya sangat dingin."
Aku mengabaikan ucapannya lagi dan berbalik. Saat kakiku mulai melangkah pergi, dia menggenggam erat tanganku.
"Nee Kei, apa yang membuatmu ingin lari?"
Lagi-lagi pertanyaan itu. Aku muak. Tahu apa kau tentang diriku?
"Aku ingin mati! Aku tidak ingin mendengar pertengkarang mereka lagi! Aku lelah melihat ayahku yang semena-mena. Aku merasa sesak, sangat sakit."
Ah, aku sudah keterlaluan. Aku malah melampiaskan emosiku kepada Aya. Entah, sekarang apa yang dia pikirkan tentangku.
Aku sangat terkejut saat Aya menjatuhkan payung yang dia pegang, dan menutup dua telingaku dengan tangan kecilnya. Tangannya gemetaran.
"Jika tidak mau mendengarnya maka tutuplah telingamu seperti ini. Jika kau lelah melihatnya, kau cukup palingkan saja wajahmu. Jika kau tidak mau merasakan sakit, maka abaikanlah. Jika kau merasa sesak, kau hanya perlu mencari tempat yang luas. Jika kau merasa tak punya tempat, buatlah mimpi setinggi mungkin, dan capailah dengan kekuatanmu sendiri. Fokuslah. Lakukanlah hal yang kau suka. Pada saatnya nanti kau akan bahagia. Kau tidak perlu berpikir untuk mati Kei!"
Setelah mengatakannya, Aya hanya diam. Begitupun aku. Untunglah hujan turun dengan derasnya, dan menyapu bersih air mata ini. Jika tidak, aku akan malu karena ketahuan menangis.
"Sekarang pulanglah, dan buat keputusanmu Kei!"
Aku pun menganguk. Aya mulai melepas tangannya dan aku mulai mengayuh sepedaku dengan cepat.
------------------------------------------
Hari ini dengan sangat yakin aku menyatakan bahwa aku akan ikut dengan ibuku. Dan sewaktu-waktu aku juga akan tinggal dengan ayah.
Mereka terlihat kesal, tapi mereka tak bisa apa-apa. Seperti kata Aya, aku akan memfokuskan diriku pada hal yang aku suka. Aku akan sekolah dan giat belajar. Aku akan menjadi orang yang lebih sukses dari ayah, dan sebaik ibu.
Setelah persidangan, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Aya saat berjalan pulang. Sesuai janjiku, aku mengajaknya berjalan-jalan melihat tempat yang indah di kota ini. Aku ingin berterimakasih padanya, karena telah membantuku memilih pilihan yang tepat. Dia terlihat sangat senang. Dan jantungku mulai berdebar.
Tanpa sadar, aku telah jatuh hati pada sang gadis hujan. Meskipun aku takut, tiap kali berpikir bahwa hanya aku yang nemiliki perasaan ini. Aku tetap ingin menyatakan perasaanku padanya, agar aku tahu perasaan apa yang Aya miliki untukku.
"Aya, sebentar lagi sudah masuk musim panas. Ayo kita lihat Hanabi Matsuri bersama!"
Aku ingin mengatakan perasaanku. Saat langit kota menjadi penuh warna karena hanabi.
Aya yang tengah asik menikmati ice cream ditangannya mulai menoleh kearahku.
"Aku ingin pergi tapi.."
"Kalau begitu, ayo berjanji kita akan pergi bersama!" potongku.
Aya tersenyum lembut kearahku. Dia hanya berkata bahwa dia akan berusaha datang. Tapi, dia tidak berjanji padaku.
Meski begitu, saat itu aku sangat yakin Aya pasti akan datang.
---------------------------------------------
London, Tahun 2017
Setelah menulis surat singkat ini, aku melipatnya dan memasukannya kedalam amplop putih kecil.
Sudah sepuluh tahun sejak pertama kali aku melihat Aya di sebuah taman hortensia di Jepang. Karena tidak bisa mengungkapkan perasaanku secara langsung padanya, akupun menulis surat ini. Surat yang entah dapat kuserahkan padanya atau tidak. Aku melirik ke sebuah pot kecil dengan bunga hortensia diatas meja kerjaku. Setiap melihat bunga ini, aku langsung bernostalgia tentang kisahku dan dia yang hanya sesingkat musim hujan.
Malam itu, Aya tidak datang. Dan aku tak pernah melihatnya lagi. Aku mencoba mencarinya, tapi aku tak bisa menemukannya.
Terlalu sedikit yang ku ketahui tentangnya, aku tak bisa melihat apa yang ada dihatinya kala itu. Dan setiap memikirkan itu hatiku terasa sakit. Namun, aku tak pernah bisa membencinya.
Karena ingin melupakan rasanya patah hati, akupun mulai mensugesti diriku sendiri. Menganggap Aya sebagai ilusi yang telah aku ciptakan sendiri karena kesepian. Lalu menyimpannya di memori hanya sebagai mimpi indah yang singkat. Aku hanya fokus pada belajar, hingga sekarang aku bisa menjadi pengusaha muda berusia 26 tahun.
Sekarang aku tinggal di London, sendirian. Aku sangat bahagia, karena merasa bebas. Tapi, aku rindu Jepang. Karena bagaimanapun juga aku lahir disana, dan dari sanalah takdirku dimulai.
Lusa aku memutuskan akan pergi ke Jepang. Aku sengaja memilih lusa, karena di Jepang lusa sudah mulai musim hujan.
Musim dimana takdirku terhubung dengannya.
Wahai sang gadis hujan, apakah aku bisa melihatmu lagi? Atau kau akan selamanya menjadi ilusi? Seperti apakah dirimu saat ini?Aku sungguh ingin melihatmu yang telah berubah menjadi wanita dewasa. Karena selama ini, kau yang terkurung dalam ingatanku hanyalah seorang gadis ceria berusia 16 tahun.
------------------------------------------
Jepang, Tahun 2017
Tempat pertama yang ku tuju di Jepang adalah rumah ibu. Rumah lamaku. Setelahnya aku menyempatkan berkeliling kota. Dan tentunya pergi ke taman hortensia.
Bunga hortensia di taman ini belum seluruhnya mekar. Mungkin karena ini masih awal musim hujan. Jujur aku sedikit kecewa.
Aku menghentikan langkahku saat melihat seorang wanita yang tengah berdiri ditengah taman hortensia.
"Aya?" ucapku ragu-ragu.
Wanita itupun menoleh. Dia bukanlah Aya yang ku cari.
"Maaf, saya salah orang."
Aku menunduk singkat dan melangkah pergi. Lagipula sekarang bunga kesukaan Aya belum mekar sepenuhnya, jadi tidak banyak yang bisa kulihat. Sebaiknya aku pulang.
"Tunggu! Kei? Apa anda adalah Kei?"
Aku langsung menghentikan langkahku dan menoleh. Dari mana wanita ini tahu namaku?
"Iya. Saya Kei, Kaizaki Kei."
"Syukurlah, aku bisa menemukanmu. Bisa kita bicara sebentar?"
Wanita itu tersenyum ramah, senyum yang terasa tak asing bagiku. Kami pun duduk dikursi taman dan mulai berbicara.
"Namaku Nishimia Aiko. Aya yang kau cari itu, adalah sepupuku."
Aku terkejut mendengarnya, tapi aku sangat senang karena Aya bukanlah ilusiku saja!
"Namanya, Nishimia Ayaka. Dia gadis yang sangat baik dan periang"
Aku mendengarkan cerita Aiko dengan antusias. Jadi, namanya Ayaka ya. Warna-warni bunga, sungguh nama yang cocok untuk menggambarkan sosoknya yang ceria.
Setelah mengambil jeda cukup lama, Aiko menarik napas dan menghembuskannya pelan. Bersiap untuk melanjutkan ceritanya.
"Sayangnya, umur Ayaka tidak panjang karena penyakit Leukimia yang dia derita sejak usia 16 tahun. Dia semakin kritis dan meninggal 9 tahun yang lalu. Saat tahun baru 2008."
Mendengar cerita itu, rasanya aku seperti jatuh dari langit yang sangat tinggi. Aku tidak bisa mempercayainya. Kenapa jadi seperti ini?!
"Dia sempat dirawat di rumah sakit didekat sini. Dan aku tahu dari ibunya bahwa dia sering kabur. Saat aku bertanya langsung padanya, dia menceritakan tempat ini, serta pemuda bernama Kei."
Omong kosong apa ini? Aku tak bisa menerimanya!
Dengan emosi yang meluap-luap aku berdiri dan menatap wanita didepanku ini dengan serius.
"Saat itu dia kemari untuk tinggal sebentar dirumah kerabatnya. Bukan rumah sakit! Aya pasti baik-baik saja. Katakan padaku, dimana dia?!" ucapku sedikit membentak.
"Ikut aku."
----------------------------------------------
Tanpa banyak bicara dia mengajakku pergi kesuatu tempat yang jauh dengan menaiki taxi. Kami berhenti disebuah pemakaman.
Aiko menarik tanganku dan membawaku kesebuah makam yang berhias beberapa tangkai hortensia.
'Nishimia Ayaka'
Itulah nama yang tertera dinisannya. Aku bahkan melihat foto Aya yang kukenal tengah tersenyum disana. Kakiku seketika melemas, aku ambruk tepat didepan makam Aya. Air mata meluncur dengan bebasnya dari kedua mataku. Bagai hujan yang tak bisa dihentikan.
Kau sungguh gadis yang jahat Aya. Kau yang terus memanggil namaku, dan menarikku semakin dekat kearahmu. Namun setelahnya, kau selalu saja pergi dengan seenaknya.
"Aya, dia menitipkan ini padaku. Saat aku menemukanmu, dia memintaku menyerahkan ini padamu."
Aiko menyerahkan sebuah amplop lama berwarna softpink kepadaku.
Aku mulai membuka amplop itu pelan. Dan membaca tiap butiran kata yang Aya tulis...
Pada hari itu, saat hujan turun dengan lembut, untuk pertamakalinya aku bisa kabur melihat dunia luar.
Ditaman hortensia yang indah itu, aku melihatmu berjalan dengan mata yang sayu. Saat bicara denganmu dan melihat lukamu, saat itulah aku sadar kau berbeda denganku. Tapi karena kita memiliki perbedaan dengan kebanyakan orang, aku mulai berpikir bahwa kau sama sepertiku.
Aku yang ingin hidup, dipertemukan denganmu yang ingin mati. Entah takdir apa yang telah membawamu kepadaku. Tapi aku sangat mensyukurinya. Karena aku makin bersemangat saat melihatmu.
Melihatmu telah membuatku sadar, bukan hanya aku yang menderita didunia ini. Kita sama-sama ingin lari bukan?
Aku turut bahagia, karena kau berhasil lepas dari penderitaanmu. Dan meskipun aku tak punya cukup banyak waktu lagi, aku sudah cukup senang karena bisa bertemu denganmu.
Aku sudah melihat wajahmu saat sedih, marah, bahkan akhirnya aku bisa melihatmu tersenyum. Kau tahu? Itu membuatku berdebar!
Kurasa, aku mulai menyukaimu.
Sang pangeran di tengah hujan, terimakasih banyak karena sudah membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Nishimia Ayaka,
Jepang Desember 2007
Aku tersenyum kecil membaca surat itu. Meski air mataku masih enggan berhenti mengalir.
"Langitnya mulai gelap. Ayo kita pulang sebelum hujan," ucap Aiko sambil menepuk pelan pundakku.
"Kau duluan saja."
Setelah Aiko pulang, aku masih setia berdiam diri didekat makam Aya. Andai saja hari itu aku langsung mengatakan perasaanku, mungkin Aya akan senang. Seandainya saja, aku tahu lebih banyak tentang dirimu. Pasti aku bisa menemukanmu dan menemanimu disaat terakhir.
Seketika aku langsung mengingat surat yang kutulis di London. Untunglah aku membawanya di saku kemejaku.
Perlahan kuletakkan surat itu didekat nisan Aya.
"Inilah perasaan yang kupendam sepuluh tahun terakhir ini Aya." ucapku sembari tersenyum.
Ayaka, sekarang aku tahu kenapa orangtuaku memberiku nama Kei. Aku memang diberkati dan sangat beruntung, karena aku dipertemukan denganmu oleh takdir.
Terimakasih banyak.
Rintik-rintik hujan pun mulai berjatuhan kebumi.
Sejuk, dan lagi-lagi aku merasakan kehangatan yang tak asing itu. Aku mulai mendongakkan kepalaku ke atas. Membiarkan rintik hujan menyentuh wajahku dengan lembut.
'Sang gadis hujan, apakah perasaanku ini berhasil menggapaimu?'
End.
-------------------------------------------
Maaf gaje 🙏 aku udah usaha, tapi emang gak bisa bikin happy end 😢 mana pas ngetik inget kaori lagi, kan tambah baper.
Btw pas 4444 word.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top