Prolog
*For best experience, read it with dark mode
***
Itu terjadi dalam hitungan detik.
Ah tidak, itu lebih dari hitungan detik. Rasanya hal tersebut terjadi begitu saja kala Rei mengedipkan matanya. Dalam satu kedipan mata, dirinya terbelalak dengan pemandangan berdarah yang terjadi tepat di sampingnya.
"Aduh maaf," ujar seorang bocah perempuan menarik kembali jemarinya yang membentuk pistol, "padahal aku berniat melubangi sedikit kepalanya. Tapi aku lupa menahan kekuatanku sehingga kepala kekasihmu meledak."
Selama beberapa detik, Rei masih terpaku. Rasanya ia tak percaya dengan apa yang dialaminya barusan. Karena belum sampai satu menit, Albedo masih berdiri di sampingnya dengan utuh. Tidak seperti sekarang yang telah kehilangan kepalanya seutuhnya.
"Bocah ...," Rei berbisik lirih, "... bajingan."
Rei mengangkat salah satu tangannya. Berniat meraih leher pendek dari bocah perempuan berambut putih panjang di hadapannya, yang entah baru melakukan trik apa kepada Albedo. Namun, baru selangkah ia bergerak, tubuhnya terasa kaku tiba-tiba. Tidak, ini lebih dari sekedar tubuh kaku.
Tubuhnya ... tidak bisa bergerak!
"Aduhh, jangan galak begitu donk, Kak," ujar bocah itu dengan nada bicara takut yang dibuat-buat, "aku, 'kan sudah minta maaf,"
"Apa ... yang kau lakukan padaku ...?! Tidak. Apa ... apa yang kau lakukan pada Albedo?!" Rei mempertanyakan. Di sekitaran kedua matanya tampak menunjukkan urat-urat kemarahan.
"Apa yang kulakukan? Hmmm ...," Bocah yang entah siapa itu pura-pura berpikir. Mata peraknya memandang ke arah lain, sebelum kembali ia memandang Rei. "Membunuh kekasihmu?"
Mendengar jawaban polos tersebut, amarah Rei semakin meluap. Memang apa salahnya dengan bocah itu? Rei bahkan tak mengenalnya. Sungguh. Jangankan mengenalnya, melihatnya saja tidak pernah.
"Kau marah padaku, Kak?" Bocah itu bertanya dengan polos. Membulatkan matanya seolah ia benar-benar tidak bersalah.
"Tidak, tidak, aku tidak marah padamu," jawab Rei menggeleng. Tapi keningnya jelas menunjukkan urat-urat kemarahan. "Aku hanya ingin menjadikanmu bahan eksperimenku dan Albedo ...!"
Bocah itu tersenyum.
"Ketimbang kakak menjadikanku sebagai bahan eksperimen, bagaimana jika kakak menggunakan yang lain saja?" tawar sang bocah masih dengan senyumnya.
"Ha?" Rei menyahut. Salah satu keningnya tampak melengkung naik.
"Aku adalah Kami-sama atau kalian bisa juga menyebutnya Dewa," ujar si bocah menunjuk dirinya sendiri dengan bangga, "dan Kami-sama ini menunjukmu untuk menjadi pejuang di sebuah dunia yang aku yakin akan kau sukai,"
Mulut Rei menganga lebar. Amarahnya yang tadi meluap mendidih, seketika itu mereda sesaat karena mendengar penuturan gila bocah di hadapannya.
Tapi ...
Memang tidak mungkin juga seorang bocah biasa yang entah darimana, bisa muncul tiba-tiba dan meledakkan kepala seseorang dengan jemarinya yang kecil itu tanpa senjata apapun di tangannya.
"Nak, kau terlalu banyak menonton film," celetuk Rei dengan enteng.
Kami-sama itu tertawa mendengar celetukan Rei.
"Yah, itu terserah padamu percaya atau tidak," jawab Kami-sama dengan enteng, "tapi aku yakin, tidak ada bocah biasa yang bisa meledakkan kepala sesosok homuncullus seperti yang dialami kekasihmu tadi, 'kan?" Ia tersenyum penuh arti, dan senyuman itu sukses membuat Rei merasa tidak nyaman. Karena memang, apa yang dikatakannya itu benar adanya.
"Jika kau memang benar Dewa, untuk apa repot-repot meminta manusia menjadi pejuang di ... entahlah, dunia yang kau bilang akan kusukai?" tanya Rei menarik kesimpulan. Karena amarahnya telah mereda, ia bisa berpikir jernih sekarang. "Kau bisa menyelesaikannya sendiri, 'kan?"
"Eh?? Yang begitu tidak seru," jawab Kami-sama merengek, "jika terus-terusan kami para Dewa yang menyelesaikan, buat apa manusia ada?"
Rei terdiam.
"Bagaimana? Kau tertarik, Kak? Dan tenang saja, kau akan mendapat imbalan dari perjuanganmu itu!" Kami-sama memberikan acungan jempol dan tersenyum.
"Imbalan?"
Kami-sama mengangguk dan menunjuk mayat Albedo tanpa kepala itu.
"Aku akan menghidupkan kekasihmu lagi," jelas Kami-sama, "bagaimana? Imbalan yang bagus, 'kan?"
Rei terbebelak. Ya, itu memang imbalan yang bagus.
"Kau ... Bersungguh-sungguh dengan ucapanmu, 'kan?" tanya Rei memastikan.
"Aku bersungguh-sungguh," ujar Kami-sama mengangguk, "tugasmu sangat mudah. Kau hanya perlu mencari tahu asal muasal para Anomali itu,"
"Anomali?"
Kami-sama mengangguk. "Di dunia yang akan kau datangi, ada sosok yang disebut Anomali yang mana kehadiran mereka itu membuat rusak dunia. Mengganggu keseimbangan dunia yang kubuat. Dan tugasmu adalah mencari tahu siapa dalang pencipta Anomali itu. Mudah, 'kan? Dengan otak encermu sebagai pustakawan dan asisten ahli alkimia, kau pasti bisa dengan mudah menemukan jawabannya,"
Rei terbelalak mendengar pernyataan mengejutkan yang keluar dari mulut sang dewa.
"Kau ... tahu soal latar kehidupanku?" tanya Rei.
Kami-sama tersenyum. "Tak ada satupun manusia yang tidak kuketahui latar kehidupannya," tuturnya dengan santai, "baik itu manusia murni maupun buatan."
Rei kemudian bungkam selama beberapa saat. Jelas sang wanita tengah memikirkan tawaran bocah dewa itu dengan betul-betul. Ia hanya perlu mencari tahu asal-usul sosok yang disebut Anomali itu, 'kan? Dan setelah dia mendapatkan jawabannya, Albedo bisa kembali kepadanya. Ia bisa mendapatkan kembali kekasihnya.
Ini ...
Mudah dan sangat menguntungkan dirinya!
"Baiklah," jawab Rei akhirnya setelah memikirkannya, "aku terima tawaranmu."
Kami-sama tersenyum lebar—ah tidak. Itu lebih dari senyuman lebar. Yang dilukiskan oleh sang Dewa itu lebih cocok disebut sebagai seringaian ketimbang senyuman.
"Pilihan bagus," Kami-sama berkomentar dan kembali mengarahkan tangannya yang membentuk pistol ke arah Rei, "kalau begitu, mari berangkat."
Rei menegak salivanya. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa gugup saat melihat jari kecil yang menunjuk wajahnya itu. Apakah rasanya akan sakit?
"Ah ya," Teringat akan sesuatu, Kami-sama berujar, "kau memang memiliki tugas mencari tahu soal asal-usul para Anomali. Tapi kau punya misi lain juga di sana untuk bisa memenuhi syarat kembali ke dunia aslimu,"
Rei mengangkat sebelah alisnya.
"Dapatkan ciuman dari manusia yang bernasib serupa denganmu juga," jelas Kami-sama tersenyum penuh arti.
"Mendapatkan ciuman—ha?! Jangan konyol! Apa-apaan syarat bodoh itu!" tukas Rei bingung."
Kami-sama hanya tetap mempertahankan senyumnya.
"Semoga berhasil, dan cobalah bertahan hidup di sana. Aku selalu menyertai segala usahamu." Ujar Kami-sama lalu melubangi kepala Rei pada detik berikutnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top