Pengadilan
[KIRA'S NOTE] - Ini adalah bab terakhir, dan karena aku kemungkinan gak sempet update di hari Sabtu nanti, so ... goodbye since today and thank you for reading all the short parts :)
***
Tiba di hari Senin. Semua orang yang bersangkutan telah berkumpul. Termasuk Suyono dan Ratnayu yang duduk di kursi yang telah disediakan untuk kedua pasangan yang memilih berpisah. Bagus dan Nindi memilih untuk duduk bersebelahan di tempat yang acak, tak ingin memihak salah satu dari kedua orang tuanya.
Tak bising sama sekali ruangan itu. Duka dan timbunan pertanyaan lebih banyak bertumpuk di tengah ruangan, di mana kepala-kepala manusia berkumpul.
Suyono merunduk dan menatap ke arah mana saja lebih banyak, ketimbang memandang Ratnayu, Pun Ratnayu yang tak memberi selirik pun pada Suyono. Keras air mukanya, pun hatinya.
Pintu pengadilan tiba-tiba terbuka, Suyono dan Ratnayu menoleh ke arah sana. Ternyata hanya kerabat yang tiba tak tepat waktu. Beralih dari pintu, mata keduanya tanpa sengaja bertemu.
Kamu yakin akan melanjutkan ini, Ratna? suara hati Suyono bergema dalam kepala Ratnayu.
Ya, balas Ratnayu.
Mengapa?
Kan saya sudah bilang, saya sudah nggak cinta lagi sama kamu.
Kalau itu saya tahu. Saya cuma merasa ... ada sesuatu yang masih kamu sembunyikan.
Ratnayu tak menjawab.
Kita kan akan berpisah, saya mohon untuk yang terakhir kali, jujurlah pada saya. Ada siapa di Surabaya?
Ratnayu bungkam, kali ini tampak goyah rautnya. Namanya Andi, teman lamaku waktu kuliah dulu.
Lama Suyono menatap wajah istrinya, kemudian ia tersenyum. Sudah saya duga.
Ratnayu kemudian menoleh cepat ke arah suaminya. Kamu nggak cemburu, toh, Mas?!
Kamu gila apa. Saya bisa banting meja di depan kamu sekarang, tapi toh ya ... udah mau cerai. Buat apa? Lagipula, satu kekurangan yang kamu nggak suka dari saya kan saya yang sangat emosional dan bersumbu pendek. Kalau kamu ingin tahu, satu tahun belakangan, saya coba perbaiki itu semua, Ratnayu.
Bukannya kamu yang jarang pulang karena ada perempuan di Jakarta sana waktu itu?!
Suyono terkekeh. Kamu itu kenapa jahat sekali sama suamimu. Nggak ada terlewat satu detik pun hal itu kepikir sama saya, eh ternyata kamu yang berbuat demikian. Kamu betul-betul nggak memikirkan anak-anak, Ratnayu.
Apa kamu bilang? Nggak memikirkan anak-anak? Dengar, Suyono, kalau saya nggak memikirkan anak-anak, sudah tentu sejak dulu saya minta cerai sama kamu.
Jangan diputar-putar. Alasan kamu mau bercerai adalah Andi.
Jangan bawa-bawa orang lain—
Kamu tidak kuat dengan keadaan, dan kamu nggak ingin hidup bersama saya yang sekarang miskin. Lalu datanglah sosok laki-laki pujaan masa lalu dengan penampilan lebih mumpuni, lebih kaya dan perhatian. Tapi kuduga, dia juga punya istri, Ratnayu.
Jangan sok tahu kamu Suyono!
Percaya, laki-laki, meski sudah tua tetaplah berengsek, Ratnayu. Saya pun berengsek—
Memang.
Saya suka marah-marah, mengesampingkan perasaanmu dan lebih memilih mendahulukan emosi dan ego saya, saya lebih sering memilih bermain sama teman-teman saya ketimbang istirahat bersama kamu. Sedangkan dia, hanya akan perhatian untuk mendapatkan kamu saja, Ratna.
Apa bedanya? Kamu nggak pernah memberi perhatian. Bahkan ketika saya minta kamu pulang karena saya sakit, kamu pulang sambil marah-marah. Katamu, bukannya minta tolong tetangga saja, yang dekat. Istri mana yang nggak sakit hati mendengar itu, Suyono?
Ya, saya salah. Saya sudah minta maaf soal itu, bukan? Saya cuma khawatir sama kamu waktu itu, Ratnayu. Kalau kamu nggak bisa minta tolong sama orang lain, dan saya nggak bisa pulang, bisa jadi apa kamu? Saya nggak ingin kamu meninggal lah.
Ratnayu memutar bola matanya.
Lagipula, kalau saya nggak peduli sama kamu, ingat waktu kamu sakit terakhir kali? Kamu hanya mau makan bubur. Pagi-pagi buta saya ke tukang bubur yang ternyata libur, lalu setelahnya, saya pergi mencari-cari tukang bubur, dan belum ada yang buka. Akhirnya, sebelum subuh itu saya pergi ke rumah tukang bubur yang saya kenal. Hanya demi bubur untuk kamu, Ratnayu. Setelah bubur saya letakkan di atas meja, kamu bangun siang-siang, dan mengeluhkan bahwa buburnya dingin. Lalu kamu nggak ingin makan.
Ratnayu terdiam menatap ke arah lain. Tak ada tampikan dari bibir tipisnya. Ia memang tak mengetahui hal ini.
Ratnayu?
Tetap saja, setelah waktu itu kamu masih suka marah-marah!
Ya, memangnya kamu sendiri nggak pernah mara-marah sama saya?
Ya tapi terlalu sering! Bahkan ketika saya bicara baik-baik. Kamu tuh egois, Suyono! Nggak pernah mau mendengarkan kata-kata saya, istrimu! Dimarahi seenaknya, tanpa meminta maaf setelahnya. Bertahun-tahun seperti itu, Suyono! Pintu ditendang, tembok dipukul, barang-barang dilempar, apa itu contoh yang baik untuk istri dan anak-anak kamu?
Baik. Saya minta maaf. Tapi setidaknya, saya nggak pernah memukulmu.
Kan?! Selalu ada tapi, tapi, tapi. Kamu selalu mengelak setiap perkataan yang saya sampaikan,.
Tapi benar adanya, kan?! Kamu minta bercerai bukan dengan alasan. Saya pernah memukuli kamu? Menyelingkuhi kamu? Membunuh keluargamu? Tidak memberi kamu nafkah lahir batin? Oke, memang, memang, saya ini agak tidak peka, cuek, dan amat teledor sebagai laki-laki. Tapi ... ya nggak ada manusia yang sempurna, Ratnayu, begitu pun kamu, kamu—
Nggak mau bicara, memendam segalanya, keras kepala, agak egois juga. Apalagi? Itu, kan yang ingin kamu katakan pada saya?
Benar sekali. Dan itulah alasan mengapa kita disatukan. Sepasang manusia yang saling melengkapi ketidaksempurnaan pasangannya. Bukankah itu alasan mengapa pernikahan menjadi begitu indah?
Ratnayu terdiam lagi.
Jika kamu marah soal waktu yang seakan terpangkas ganas ketika kita berpisah untuk urusan bisnis, perlu kamu ingat kembali bahwa putusan itu pun usulanmu. Saya bukan menyalahkanmu, di sini, kita sama-sama punya porsi salah.
Ratnayu masih terdiam.
Soal Andi, saya harap dia hanyalah pelarianmu, Ratnayu.
Saya benci kamu, Suyono. Sangat membenci kamu! Kamu adalah orang menyebalkan yang menikahi saya, orang paling egois yang juga menafkahi saya, orang paling mudah marah yang juga menemani saya selama melahirkan Nindi dan Bagus. Kamu orang ceroboh yang waktu itu berkeliling dunia bersama saya. Kamu orang yang pernah menyakiti hati saya dengan bermain bersama perempuan lain, yang sialnya selalu ada di saat saya dicampakkan keluarga saya. Mengapa seperti itu Suyono?! Mengapa dunia begitu tidak adil?! Saya pernah bahagia bersama kamu, kenapa, Suyono?!
Untuk segala kesalahan yang saya lakukan, mencampakkan kamu, tidak mengabarimu tentang hajatan keluarga saya, keegoisan saya, kesalahan saya yang pernah bermain bersama perempuan lain di usia pernikahan kita yang masih muda, saya benar-benar minta maaf, Ratnayu. Saya hanya meminta kamu menemani saya hingga akhir hari tiba, dan Tuhan akan memahkotaimu atas kesabaranmu terhadap saya, keamanahanmu terhadap pesan mendiang ibu saya, terhadap urusan mendidik dan membesarkan anak-anak. Saya akan berubah, bantu saya. Hanya kamu yang mampu.
Ratnayu menyeka air matanya.
Hentikan perceraian ini, karena saya masih mencintaimu, Ratnayu.
Ratnayu akhirnya membiarkan tangisnya terlihat, kemudian ia mengangguk. Dengan syarat, tuntaskan dulu segala janjmu yang sudah-sudah.
Akan saya tuntaskan.
Pintu pengadilan tiba-tiba terbuka, Suyono dan Ratnayu menoleh ke arah sana. Ternyata hanya kerabat yang tiba tak tepat waktu. Beralih dari pintu, mata keduanya tanpa sengaja bertemu. Lalu mereka sama-sama berpaling. Diam dengan sekelumit pikiran dalam kepala masing-masing,
Pintu pengadilan ditutup, dan siding perceraian dimulai.
Karena suara hati yang berseteru hanyalah andai-andai, ketika kedua pemilik hati enggan berbicara kembali.
SELESAI
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top