LAST EPISODE
Saya baru menyadari kita pada posisi yang tak pasti. Saling memberi hati tapi tidak saling mengerti
●●●
Saya menerima telepon dari lobi bahwa Danu datang ke kantor untuk menemui saya. Cukup mengejutkan juga beruntung baginya karena dia datang ketika saya sedang tidak ada urusan yang terlalu genting di kantor. Ada satu protokol yang harusnya dipatuhi petugas lobi untuk menolak seseorang yang ingin bertemu dengan saya kecuali keluarga atau memang sudah ada janji minimal 2 x 24 jam.
Saya persilakan Danu masuk. Butuh waktu 15 baginya untuk tiba di ruangan saya. Dia membawa makanan dan satu buku. Saat kali membuka pintu, senyum lebarnya diberikannya. Petugas lobi yang mengantarkan Danu segera berpamitan untuk kembali. Dan saya mempersilakan masuk Danu untuk duduk di sofa depan meja kerja.
Saya mmengambil posisi duduk lebih awal lalu kemudian dia mengikuti.
"Bagaimana liburannya?" Saya baru ingat jika sudah seminggu berlalu Danu berlibur ke Bali dan jika saya tidak lupa tiket pesawat akan berangkat besok pagi.
Dia mengangguk terlalu banyak sampai saya bingung apa yang dia pikirkan. "Menyenangkan, terlebih karena semuanya gratis." Kemudian dia terdiam dan menyapu pandang ke segala penjuru ruangan. "Apa banyak luang menjadi pimpinan sampai-sampai banyak buku fiksi di raknya."
Saya langsung menggeleng. "Semua buku di sini saya sudah pernah. Semua ini hanya pemberian kesan saja."
"Apa yang Anda maksud sejenis dengan pencitraan," tambahnya.
"Bukan," koreksi saya. "Dalam hal positif. Tapi jika kamu memandang rak buku itu membuktikan jika terlalu banyak waktu luang bagi saya. Lebih baik saya mendekorasi ulang ruangan saya."
"Maaf, Pak. Buka bermaksud seperti itu." Dia menggeleng. "Ngomong-ngomong saya datang memberikan kotak makan siang. Ibu saya memaksa untuk memberikan ini kepada Bapak. Sebagai ucapan terima kasih dengan fasilitas yang Bapak berikan selama saya liburan di Bali."
"Ya, saya senang jika keluarga kamu menikmatinya." Saat itu Danu meletakkan kotak makan di meja. "Apa ini masakan dari ibu kamu?"
Dia menagguk. "Beliau meminjam dapur hotel untuk memasak."
Saya tertawa singkat. "Terima kasih, jadi repot-repot masak."
"Tidak masalah," sahut Danu. Kemudian dia membuka tas pinggangnya dan menguluarkan buku cetak tipis kira2 beriso 100 halaman. Dia meletakkan di meja. "Saya juga memberikan ini."
Saya mengambil buku itu dan membolak-balik tampilan luarnya. Sebuah buku bertuliskan, Sebuah Novel dengan sampul depan berilustrasi bunga bakung. "Karya kamu?"
"Saya mengumpulkan banyak puisi dan senandika selama kurang lebih dua tahun terakhir lalu menjadikan sebuah novel," tambahnya. "Sebenarnya menjadikan sebuah buku tidak terlalu berdampak pada saya."
"Tetapi memang seperti itu," sahut saya. "Memang sebuah karya perlunya diciptakan dan diwujudkan. Agar dunia tahu jika kita mengabadikan semua kenangannya."
Danu berdeham dengan ganjil. Sangat kentara jika dia ingin mengatakan sesuatu tetapi masih tersangkut di tenggorokan.
"Ada apa?" tanya saya segera. "Ada yang ingin kamu bicarakan dengan saya?"
"Sebenarnya saya ingin memberikan buku ini saat awal datang ke Bali. Yang di resto waktu itu." Jemari Danu bermain daun plastik hiasan meja. "Tapi sepertinya timingnya tidak tepat. Saya hanya membawa satu dari Banyuwangi."
Saat itu saya masih terbawa suasana dengan aroma masakan khas jawa. Tiba ketika membaca judul dari buku tersebut "Seandainya Bisa Direkatkan". Rangkaian kata itu tidak asing di telinga saya. Kalista pernah mengatakan itu di hari pernikahannya waktu itu dan kejadian di resto seminggu yang lalu memberi saya kenangan terdekat.
Saya kemudian bertanya padanya. "Apa ini tentang saya dan Riani?"
"Bukan," Danu buru-buru mengoreksi. "Lebih tepatnya tetang saya sebelum bertemu dengan Riani. Jauh sebelum itu."
"Jujur saya sangat berterima kasih kepada Tuhan telah mempertemukan saya dengan Riani." Jika saya boleh jujur pernyataan Danu lebih dari cukup untuk memberikan pengaruh bahwa pertemuan Riani dengannya jauh lebih sempurna dibanding dengan saya. Biarpun yang mereka katakan hanya dua hari saling mengenal.
"Kenapa?" Sebuah pertanyaan naif muncul di kepala saya.
"Lebih baik Anda membaca buku itu," jawabnya kemudian dia tertawa.
"Astaga, baiklah saya akan membacanya," jawab saya dengan sedikit tertawa santai. Kurang lebihnya saya merasa bahwa Danu telah terlepas dari ikatan masa lalu. Dulu memang saya sempat menganggap bahwa Danu berusaha merebut Rianu, atau dia secara sengaja ingin memisahkan saya dengan Riani. Namun, yang sebenarnya terjadi, yang berhasil saya pahami setelah melewati banyak hal dan fakta yang terungkap, Danu telah menyelamatkan Riani dari masa lalu. Dan jujur saya yang waktu itu menjadi suami Riani, tidak bisa melakukan itu.
"Apa itu?" tanya Danu.
"Maksudnya?" Saya mengernyit.
"Anda seperti memikirkan sesuatu." Dia tertawa di tengah kalimatnya. Lalu percakapan kami sempat terjeda karea ada staf saya meminta tanda tangan.
Setelah staf saya keluar baru saya menanggapi pernyataannya. "Ya, rasanya terlalu mendadak saja Riani dan Adrian memutuskan untuk menikah."
Danu tertawa. "Saya kira Anda memikirkan buku saya."
Saya menggeleng dengan tersenyum. "Saya kan belum membacanya. Tapi yang saya tahu karya seni yang bagus berasal dari rasa sakit."
Danu masih tertawa. "Mungkin benar."
Barulah kami tertawa. Sebenarnya tidak tahu apa yang lucu tapi rasanya itu cukup meyakinkan bahwa yang kami bicarakan memang seperti itu nyatanya.
"Kembali ke topik," potong Danu. "Ada yang ingin saya tanyakan sebenarnya."
"Kalau kamu bertanya apakah saya sudah menemukan pasangan. Jawabannya belum. Tapi saya akan datang ke pernikahan Riani dengan seorang wanita. Alangkah lebih baik jika saya tidak datang sendiri ke acaranya nanti." Saya sudah yaki sekali jika Danu akan menanyakan hal itu.
Danu tertawa. "Sebenarnya itu juga, tapi Apakah Anda baik-baik saja melihat Rianu menikah?" Danu berdeham. "Jujur saya sempat menanyakan ini sebelum saya menikah dengan Kalista. Dan jawaban Riani membuat saya yakin dengan pernikahan Anda akan berhasil juga."
"Dia menjawab apa?" Saya tidak tahu sisi lain dari cerita yang aku ketahui. Jadi, apa hubungannya pernikahan Danu dan pertanyaan untuk Riani?
"Aku akan bahagia dengan Mas Agastya."
"Memalarkan."
Danu mengangguk. "Anda tahu maksud saya."
Saya berdiri dan berjalan menuju ke jendela terdekat. "Saya yakin dia akan berbahagia dengan Adrian."
"Sudah pasti!" Danu berdiri berjalan menuju meja kerja saya dan bermain dengan patung ukiran kuda. "Adrian sosok nyata dikehidupannya. Dan saya juga yakin pasti telah menerima masa lalu Riani."
"Jadi, maksud kamu, saya masih belum bisa menerima masa lalu Riani?" Saya sebenarnya merasa tersinggung dengan pernyataan Danu. Tapi jika dipikir-pikir memang benar.
"Kalaupun Anda tidak sependapat dengan saya, tidak mungkin Anda menceraikan Riani." Danu meletakan patung ukiran kuda itu ke tempatnya semula.
"Situasinya sekarang berubah setelah saya berpikir kembali sepulang dari resto kemarin," tukas saya. "Saya merasa dari awal hubungan saya dengan Riani tidak berkembang setelah kami menikah. Sebelum menikah saya berpikir bahwa tidak mempunyai anak bukan perkara besar. Tapi, tiga bulan berlalu pascapernikahan, dengan umur saya yang semakin tua. Kepada siapa yang akan mewariskan perusahaan yang dibagun ayah saya jika bukan kepada anak?"
Danu terdiam sesaat. Saya menoleh padanya menungggu dia menanggapi. Ekspresi Danu datar dan dia juga menatap mata saya. "Saya tahu," jawabnya singkat.
Saya kira hanya itu yang bisa dia katakan, tetapi kemudian dia berdeham. "Saya setuju ketika Anda bilang 'karya seni yang bagus berasal dari rasa sakit'. Tapi saya tidak pernah melihat Anda menuangkan dalam seni. Sebentar apakah Anda termasuk seniman?"
Saya tertawa. Lebih tepatnya menertawakan ekspresinya. "Kamu pikir ukiran patung kuda itu buatan siapa?"
"Oh, pantas saja ada ukuran huruf A di setiap kaki kudanya." Danu mengambil ukiran patung kuda itu lagi dan menilik kaki-kakinya. "Apa maksudnya ini? Kenapa kuda?"
Saya mendekat ke arah Danu lalu mengambil alih patung kuda itu. "Kebebasan, kecerdasan, dan kekuatan. Patung yang saya ukir untuk mengingat tentang Ayah. Dia suka sekali dengan pacuan kuda. Ayah saya meninggal dua tahun lalu."
"Saya tahu," jawab Danu. "Riani sudah cerita banyak hal tentang Anda."
"Sebanyak apa Riani cerita tentang saya?" Saya mengernyit.
"Bacalah novel saya, Anda akan tahu."
"Tadi kamu bilang ini bukan tentang kamu dan Riani?"
"Memang, tapi saya menulis dari apa yang saya rasakan. Biarpun sebagian bukan dari pengalaman pribadi saya."
"Baiklah, saya harus membaca buku kamu."
TAMAT?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top