Episode 9
Dunia tidak akan berubah jika kamu berlama-lama tinggal dalam penyesalan dalam waktu yang benar-benar lama.
***
Saya sudah merencanakan untuk datang ke rumah Riani untuk memeriksa apa yang perlu diperbaiki. Kemarin Riani bilang saluran pembuangan tempat cuci piring tersumbat dan saya sudah mempersiapkan untuk memperbaiki itu. sesampainya di sana, mobil tidak bisa saya parkirkan di depan halaman karena di sana terdapat mobil hitam. Mobil itu jelas bukan mobil milik Riani, dia sudah berangkat kemarin sore. Akhirnya saya memarkirkan di tepian jalan secara paralel bersama mobil lain.
Saat saya berjalan di halaman depan, pintu terbuka dan sosok pria dengan wajah belepotan keluar. Dia membawa ember dan geraknnya terhenti ketika melihat saya. Sedangkan yang bisa saya lkukan adalah memandangnya curiga, siapa orang lancang yang masuk ke rumah orang yang jelas-jelas tidak ada di rumah.
"Anda siapa?" tanya Saya.
"Saya Adrian, teman Riani. Bli siapa?" Pria itu berjalan mendekat, sebelumnya dia meletakkan emberi itu di samping jendela depan. "Rianinya sedang pergi ke Kediri, jika memang ada perlu coba di telepon."
"Saya Agastya, eh... mant—temanny Riani." Saya ragu harus memperkenalkan sebagai siapa.
"Eh, maaf Bli, saya tidak tahu kalau itu Anda," serunya. Dia mengenal saya, tetapi saya tidak. Bahkan tidak ada memori mengenal seorang teman bernama Adrian. "Silakan masuk Bli, maaf tangan saya kotor tadi baru selelsai memperbaiki saluran air."
"Sudah diperbaiki?" Saya melirik ke kota perkakas yang saya tenteng. Saya mendesis seraya duduk di sofa panjang. "Saya datang juga berencana memperbaiki itu."
"Haduh tidak perlu repot-repot, Bli," katanya sambil membereskan gelas kotor di meja ruang tamu. "Maaf berantakan."
Dari dekat dia seperti seumuran dengan Riani atau mungkin Danu. "Kamu tinggal di sini?" Sebenarnya bukan itu yang ingin saya tanyakan melinkan, 'Kamu siapanya Riani sampai bisa masuk ke rumahnya.' Tapi rasanya yang saya katakan tadi sudah tepat
Adrian mengangguk. "Bisa dibilang seperti itu, Bli. Tetapi saya hanya tingga beberapa hari saja. Mungkin sampai Riani pulang dari Jawa."
"Kamu kelihatannya sibuk sekali?" Tatapan saya berkeliling ke segala penjuru ruangan. "Mungkin ada yang bisa saya bantu?" setidaknya kedatangan saya ke sini tidak sekadar bertamu.
Isi perbot rumah ini tidak ada yang berubah dari rusun di Banyuwangi. Hanya saja tata letaknya berubah sehingga terkesan ada sesuatu yang baru. Rumah ini saya belikan untuknya bahkan sebelum kami bercerai. Saya pikirkan waktu itu adalah jika seandainya hubungan kami tetap baik-baik saja rumah ini akan menjadi tempt tinggal baru saya juga. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Riani tidak keberatan harus tinggal di rumah ini dan meninggalkan Banyuwangi, meninggalkan pekerjaannya juga.
"Tidak ada, Bli. Saya sudah periksa semuanya dan sudah saya perbaiki. Hanya tinggal bersih-bersih saja." Adrian ikut memandng sekeliling. "Kapan hari Riani minta pendapat saya untuk memasang lukisan yang baru dia buat. Bli mau lihat?"
Saya menaggguk, Adrian langsung bergerak. Dia masuk ke kamar belakang tanpa ragu seperti dia menganggap rumahnya sendiri. Tidak berselang lama Adrian membawa kanfas besar berukuran kira kira hampir dua meter persegi.
Adrian menunjukan kepada saya lukisan itu dengan meletakkan di samping sofa yang saya duduki. Lukisan itu hanya menampilkan kursi dengan latar belakang perpaduan gelombng kuning dengan mahkota bunga yang terlepas dari tangkainya, dan kursi itu menghadap kain putih perpaduan biru yang menjuntai tertiup angin di sisi kiri lukisan.
"Apa katanya?" tanya saya sambil berusaha menikmati lukisan ini. "Sebenanya apa yang sedang dia pikirkan?" gumam saya. "Kapan dia melukis ini?"
"Kurang lebih sepulan dari Surabaya," jawab Adrian percaya diri tanpa berpikir panjang. Dia seperti mengingat banar kapan kejadiannya.
"Apa kamu ada di sampingnya saat dia membuat ini?" saya masih terfokus pada setiap warna dan kombinasi ikon yang ditimbulkan dalam lukisan ini.
"Ya, dia tidak bicara apapun dan buru-buru melukis, bahkan di belum sempat mengeluarkan pakian dari koper." Adrian terkekeh.
Saya berusaha mengingat kembali apa yang pernah saya katakan kepada Riani saat dipernikahan Danu, pada saat yang sama saya berharap semoga bukan sesutau yang membuatnya menjadi seperti mengharapkan sesuatu. "Memalarkan," seru saya sambil menoleh ke Adrian.
Dia mengangguk. "Aku paham, maksud Bli Agas," katanya. "Tapi saya khawatir. Satu-satunya hal yang dia bicarakan kepada saya adalah Anda."
"Sebenarnya kamu siapa?" tanya saya akhirnya. "Bagaimana kamu bisa mengenal Riani."
"Saya asalnya dari Ubud. Saya bekerja di mini market dekat sini dan Riani sering pergi ke sana untuk minum kopi. Kami sering ngobrol jika mini market sedang lengang." Benak saya berputar 360 dejat lalu terlontar beberapa kilometer jauhnya. Seberapa dekat Riani dengan Adrian sampai mengizinkan untuk menginap? Membuat tubuh saya terasa seperti tenggelam. Tidak tahu kenapa saya bisa merasakan hal-hal janggal seperti ini, saya belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Apa perasaannya membaik akhir-akhir ini?" Saya tidak tahu seberapa sering Riani dan Adrian bertemu tapi ada hentakan rasa bersalah.
Adrian menggeleng. "Saya kurang tahu. Akhir-akhir ini kami jarang bertemu. Kemarin lusa Riani menemui saya di mini market dan bilang rumahnya hancur banyak yang perlu diperbaiki, jadi dia meminta saya untuk tinggal dan memperbaiki semuanya sampai dia kembali."
Saya kembali terfokus pada lukisan. Hingga tidak sadar jika Adrian pergi ke dapur, saat tersadar dia sudah membawakan segelas jus jamu merah yang dituangnya dari botol karton kemasan. "Sebenarnya kami sering bertemu. Hanya saja tidak banyak yang dia bicarakan, seperti banyak yang dia pikirkan. Saya merasa dia berbeda tidak seperti beberapa bulan yang lalu sebelum dia tinggal di sini."
Saya mengangguk itu dalah saat Raini masih tinggal bersama saya. Sebenarnya pikiran saya sekarang tidak terfokus lagi kapan Adrian bertemu dengan Raini. Dia tidak seperti ancaman. Saya sekarang berpikir tentang hal gila. Saya menyadari beberapa hal saat mulai memikirkan satu per satu dari potongan cerita Adrian. Biarpun pemikiran ini adalah logika yang kurang masuk akal bahkan terkesan fiktif. Saya menanggap bahwa lukisan kali ini Riani seperti memberikan harapan bahwa dia ingin kembali pada suatu kebahagiaan yang telah rusak. Di sisi lain ada sebuah rasa yan juga membimbing saya menuju ke sana.
"Boleh saya minta tolong sesuatu kepada kamu?" Saya mengusap kelopak mata meyakinkan diri sendiri seraya menunggu respon dari Adrian.
Adrian menarik napas. "Silakan, Bli," serunya.
"Jangan pernah bilang ke Riani jika saya sudah pernah melihat lukisan ini," kata saya. "Tapi tolong tanyakan kepada dia apa yang sedang dia pikirkan ketika melukis ini. Saya tidak bisa hanya sekadar mengasumsikan pikiran saya terhadap apa yang saya lihat. Jadi, tolong tanyakan itu ke Riani?"
Saya mengeluarkan kartu nama dari dalam dompet. "Riani pasti sudah menduga jika saya datang ke sini. Jadi kalau bisa jangan cerita saya pernah datang saat dia di Kediri, dan jangan terlalu buru-buru untuk menanyakan apa yang dia pikirkan saat melukis."
Adrian menggaruk kepalanya. "Saya bingung."
"Intinya jangan pernah cerita kalau kita pernah bertemu."
Adrian langsung mengagguk. Saya juga ikut mengangguk seraya mengambil gelas berisi jus jambu.
(BERSAMBUNG)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top