Episode 8
Api yang melawan api akan menjadi bencana
***
Riani mengetuk pintu ruangan saya. Awalnya saya kira dia sedang menyerahkan berkas atau sesuatu hal yang penting. Saat saya persilahkan dia terlihat tidak percaya diri ketika melangkah. Saya tidak mengetahui apa yang menggangu pikirannya. Yang jelas saya seharusnya mengatakan sesuatu, tapi saya tidak punya pilihan. Kami berdua saling berpandangan berusaha untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai.
Riani sama sekali tidak berubah. Rambutnya yang bergelombang diikat kuncir kuda, riasan yang sedrhana, tubuhnya yang ramping, dan senyum yang meneroka dari lipstik merah mudanya. Saya berkedip sekali, bahkan terlalu sering hingga tidak layak dikatakan sekali. Dia terdiam cukup lama itu artinya saya terlambat menyadari bahwa seharusnya saya yang memulai pembicaraan.
"Ada yang ingin kamu bicarakan kepada saya?" tanya saya akhirnya.
Hening selama beberapa detik.
"Aku mau minta tolong," kata Riani. Kemudian dia menepuk bibirnya "Eh, maaf, boleh aku berbicara informal."
Saya mengankat alis. "Tidak masalah."
"Aku tahu ini canggung, Mas," katanya lirih. "Aku hanya mau minta tolong, saluran pembuangan dari wastafel tersumbat. Aku sudah minta tolong teman-teman kantor untuk mencarikan tukang ledeng, dan sempat diperbaiki terus sekarang tersumbat lagi. Tadi pagi aku cuci piring di kamar mandi."
Saya mengangguk. "Ya, nanti sepulang dari kantor saya akan mampir ke rumah kamu."
Dia cepat-cepat menggeleng. "Tidak bukan seperti itu, maksud aku, Mas tidak perlu ke sana... maksud aku untuk memperbaiki wastafelnya. Ada hal yang lebih penting dari itu."
Saya mengernyit. Sebenarnya apa yang ingin Riani katakan. "Apapun itu katakan saja."
"Aku mau ambil cuti seminggu." Riani berdeham. Dia membuka mulut untuk melanjutkan kemudian menutupnya lagi. Supaya dia tidak koalhan menagatasi kegelisahannya jadi saya mengalihkan ke pintu kaca melihat beberapa karyawan hilir-mudik dari meja ke meja. "Aku mau ke Kediri. Mungkin hanya tiga hari. Aku bingung harus minta tolong siapa, kalau aku minta kepala ruangan untuk cuti, pasti tidak akan dapat izin."
"Jadi kamu memanfaatkan saya untuk urusan pribadi kamu?" Awalnya berniat bercanda tapi kemudian saya bertanya dalam hati selama sesaat. Perkataan saya sama sekali tidak membantu untuk mengatasai kecanggungan yang menyelubungi kami. Ditambah situasi belum membaik sejak hari pernikahan Danu sebulan yang lalu. "Saya akan bantu," kata saya mengoreksi.
"Maaf kalau mendadak." Riani menggigit bibir bawahnya. "Ayah jatuh sakit. Arestia tadi pagi telepon kalau Ayah dilarikan ke rumah sakit. Sudah satu minggu ini. Raestia tidak tahu sakit apa tapi dia bilang aku harus datang."
"Apa perlu saya antarkan ke pelabuhan? Saya akan antar kamu sampai ke Kediri" Saya langsung berdiri. Lalu berjalan mendekat. Mempersilahkan Riani duduk di sofa. "Urusan cuti biar saya yang atur."
Riani mengaggukan kepala. Dia tidak mengangkat kepalanya.
"Kamu mau berangkat sekarang atau bagaimana?" Saya sampai menengik dari bawah untuk melihat wajahnya. Dia memejamkan mata.
"Dia keluarga aku satu-satunya," kata Riani dalam isakkan tangis. Saya mengusap lengannya. "Hubungan aku dengan Ayah tidak baik karena Danu sempat menghajar wajahnya."
Saya mengernyit. Riani waktu itu sempat menyinggung saat saya memberinya kotak perhiasan berisi kalung dengan banduk kunci. Tapi dia tidak menjelaskan apapun tentang yang terjadi dengan ayahnya dan ada urusan apa dengan Danu, dia justru mengalihkan dengan masalah saya dengan dia tentang pernikahan kami.
"Pergi saja ke sana, Ayah pasti memaklumi situasinya," ucap saya dengan perasaan tidak kaluran iba dan kebingungan berperang di otak saya. Tenggorokan saya sampai terasa bergetar ketika mengatakannya.
"Mas Agastya." Riani meragu. Dia mengangkat wajah menatap ke aras saya. "Aku takut."
Saya menatapnya intens. Saya memahami ada sebuah kisah dan memori yang entah itu yang membahagiakan atau tidak, tetapi saya bisa merasakan kesedihan dalam suaranya. Kentara sekali jika Riani ingin menjelaskan banyak kepada saya tentang keluarganya, karena kenyataan bahwa saya adalah mantan suaminya jadi suasanya berbeda. Saya sangat ingin dia merasa bisa berbicara dengan saya. ekspresinya datar, air matanya menggenang, wajahnya membuat saya bertanya-tanya seberapa bencinya dia dengan Ayahnya, sampai-sampai sulit untuk mengungkapkannya.
"Kalau berada di Bali membuat kamu tidak merasa tenang, pergi saja ke Kediri. Saya akan temani kamu, urusan pekerjaan jangan dipikirkan." Saya meraih tangannya. Kami salin berpandangan untuk mengirim sinyal aman. "Apa kata hati kamu? apa kamu ingin menemuinya atau tidak?"
Dia mengangguk. "Tapi, untuk apa, aku sudah menganggap dia mati sejak meminggalnya Susan." Riani menghela napas, dia meleloskan diri dari genggaman tangan saya. "Entahlah, Mas, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada sesuatu yang kurasa dengan dia layak mendapatkannya tapi sisi lain Ayah masih keluarga saya yang masih hidup."
Saya terdiam. Bukan waktunya memberikan tanggapan atau mengatakan kalimat-kalimat untuk menghibur. Riani membutuhkan situasi di mana dia sedang memikirkan keputusan dan kekalutan hatinya. Mungkin dengan saya diam bisa membantu.
"Aku membencinya karena Ayah membiarkan aku betahan sendirian dengan situasi ini. Menanggung sendirian meninggalnya Ibu, meninggalkanya Susan, bahkan Qiara."
Saya menunggunya melanjutkan kisahnya, tetapi tidak dilakukannya. "Saya akan temani kamu ke Kediri."
Riani menggeleng. "Mas tidak perlu merasa bahwa ini adalah tanggung jawab Mas mengantarkan aku sampai ke Kediri."
"Saya tahu situasi yang terjadi di antara kita. Tapi ini bukan saatnya mempermasalahkan hal itu. kalau saya membiarkan kamu berkendara dengan keadaan seperti ini, atau bahkan membiarkan kamu naik kendaraan umum. Itu membuat saya menjadi lebih mengerikan lagi harus mengkhawatirkan kamu."
Riani berdiri dia berjalan mundur. Saya mengamati air matanya yang jatuh. "Mas tidak perlu khawatir, sebenarnya aku belum memutuskan akan pergi atau tidak. Pertama aku bilang ingin cuti itu karena aku bingung. Aku baik-baik saja. Aku tidak akan pergi ke rumah sakit, menemui Ayah. Itu tidak mungkin."
"Riani, ayolah, sungguh?" teriak saya kecewa dengan apa yang dia katakan tadi. "Kamu harus pergi! Saya memang tidak tahu apa yang terjadi dengan hubungan kamu dengan Ayah. Tapi situasi ini seperti pernah saya alami sebelumnya."
Lengang sejenak. Riani menatap saya tanpa reaksi.
Saya menghela napas. Rasanya tenggorokan saya terasa kering.
"Mas, sungguh, aku minta maaf, aku tidak peka dengan situasinya." Tiba-tiba Riani berjalan mendekat. Saya menunduk menatap tangan Riani yang meremas tangan saya.
"Pergilah, saya akan antar kamu," kata saya lemah. "Kalau menurut kamu saya membuat kamu tidak nyaman, saya akan suruh orang untuk mengantar kamu."
"Aku bingung," katanya. "Aku sempat tanya ke Danu dia bilang kenapa saya harus melakukannya, untuk apa saya pergi menemuinya di saat dia sakit padahal saat Susan meninggal bahkan dia tidak peduli."
Dari sini saya menyadari jika Riani jauh lebih muda berbicara dengan Danu. Saya memang tidak berharap jika Riani menghubungi saya lebih dulu di segala masalahnya. Saya menyadari posisi dan situasi yang terjadi diantara kami tidak akan membantunya melewati masalah dengan mudah. Seandainya saya tahu apa yang membuat situasi kami menjadi sulit dan betapa besar pengaruhnya, saya akan melakukan segala cara untuk memperbaiki. Kenyataanya kami memang sudah bercerai dan memang bukan akhir yang baik.
"Apa kamu ingin menjadi manusia brengsek seperti Ayah kamu atau kamu ingin pribadi yang lebih baik?" Saya bersedekap. "Seburuk-buruknya Ayah, beliau tetap manusia. Saya menghargai rasa kecewa kamu terhadap Ayah, dan amarah itu tidak mudah dilepaskan. Tapi aku percaya kamu bukan pendendam."
Riani mengangguk.
"Kamu bisa pulang lebih awal, akan saya hubungin kepala departemen kamu untuk mengizinkan kamu cuti." Saya mengusap rambutnya. "Kalau kamu sampai di rumah akan ada yang jemput kamu dan antar sampai ke Kediri."
Kami menghabiskan lima menit berikutnya untuk duduk dalam diam. Saya rasa tidak ada hal lain yang perlu dibicarakan lagi—bukan situasi yang tepat untuk mempertanyaan tentang pengaruh perceraian terhadap tingkahnya beberapa pekan terkahir—memang aku belum bisa berbivara banyak selain masalah Riani dengan Ayahnya.
Riani pun beranjak, dia berjalan ke pintu kemudian berbalik. "Terima kasih, Mas." Lebih dari ucapannya senyumannya jauh lebih berarti. Paling manis dari yang pernah dia berikan kepada saya sebelum-sebelumnya.
Saya mengangguk. "Saya berharap Ayah kamu baik-baik saja, dan masalah kalian selesai." Saya juga berharap untuk kami.
"Aku berharap masalah kita juga selesai." Saya sengaja menatap Riani. Kalimat itu membuat ekspresinya merosot.
"Apa kata kamu tadi?" Saya berpura-pura tidak mendengar. Hanya memastikan jika Riani akan mengakui tindakkanya menghindari saya.
"Tidak, itu hanya omong kosong," kata Riani lalu dia berbalik dan cepat-cepat keluar dari ruangan saya.
(BERSAMBUNG)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top