Episode 7

Kita tidak bisa memilih akan terlahir dan memiliki kekuatan seperti apa, setidaknya kita hanya perlu melewati rintangan satu persatu. Jadi serumit itukah kehidupan?]

***

Ternyata percerian adalah ide yang buruk. Saya tidak menyangkal jika Riani tidak bisa melepaskan pikirannya dari saya, karena saya pun demikian. Dengan muram, saya hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan kalau saya tidak bisa lapas dari bayang-bayang cara Danu memperlakukan Riani sampai mereka melakukan hubungan intim. Mungkin karena saya hanya ingin pengakuan kenapa mereka melakukannya.

"Aku tidak tahu harus mengatakan ini kebodohanmu atau tidak," kata Gewandra dengan raut mencemooh. "Kenapa kamu harus bertingkah peduli padanya."

"Tidak, saya merasa ini tidak adil untuk kami," kata saya seraya berdiri. "Saya selalu berusaha untuk mencintainya tapi siapa juga yang sudih menelan kenyataan pahit ini."

Gewandra menggeleng. "Sudah saatnya kamu keluar dari kehidupan novel roman picisan dan film-film romantis abad 21," katanya. "Aku hanya bisa menyarankan nikmati matahari pagimu dan angin sepoi-sepoinya. Rasakan dan hirup aroma kebebasan."

Nada dan suara lelaki itu mengirimkan aliran kegugupan. Saya menoleh pada Gewandra lalu berkata, "Apa kamu baru saya mendapatkan gelar P.Hd? Sejak kapan kalimatmu menjadi sesuatu yang mempengaruhi pikiran saya."

Gewandra berdiri dari kursi kerajnya berjalan melewati meja menuju ke arah saya. "Astaga! Sungguh, aku benar bangga dengan diriku sendiri bisa sedikit melunakkan kepala batu yang satu ini." Dia mengusap-usap kepala belakang saya. "Mulai sekarang bersikaplah tenang dan normal jika melihat Riani."

"Dia menghindari saya. Itu tidak normal, bagaimana bisa bersikap tenang," tukas saya. "Menurut kamu apa yang sebenarnya terjadi?"

Gewandra mengangkat bahu. "Kalau mendengar ceritamu dia berusaha melupakan semua tentangmu."

"Lalu, apa aku harus bersikap bahwa kami baik-baik saja tidak peduli jika perang dingin baru saja di mulai?" Saya menoleh ke arah Gewandra saat dia berjalan menuju sofa. "Apa aku harus mendatanginya lalu berkata, 'Semua hal yang tidak bisa kita katakan, ayo kita bicarakan!' begitu?"

"Hmm." Gewandra mengangguk, lalu tidak menambahkan apa-apa.

"Saya sama sekali tidak tahu harus mengatakan apa lagi jika bertemu dengan Riani. Karena saya merasa seperti ini, kami akan baik-baik saja." Tapi saya belum memperbolehkan diri saya untuk berpikir demikian. Pertama-tama aku harus meyakinkan bahwa Riani baik-baik saja dengan perceraian ini lalu kemudian saya akan memikirkan kalimat masuk akal—yang sedikit gila—untuk mengungkapkan sesuatu. Kendati demikian fakta yang terjadi begitu Riani berpapasan dengan saya di lorong-lorong kantor dia langsung memalingkan muka—mungkin hanya perasaan saya—tidak menyapa dan harus saya yang memulai untuk menyapa walau hanya seutas senyum. Biarpun dia membalasnya tapi sangat terasa ganjil.

"Aku tidak tahu," jawabnya singkat. Saya berharap Gewandra menanggapi lebih dari itu. "Tadinya aku mau bilang jika semua butuh waktu untuk dikatakan baik-baik saja. Tapi biarpun musim berganti jika kalian masih merasa ada kejanggalan, selamanya tidak akan pernah ada berubah."

"Saya menganggap kalimatmu hanyalah dalih belaka." Saya mengalihkan pandangan ke jendela terdekat ada burung gereja bertengger di sana. "Saya tahu kamu punya solusi dengan masalah saya kali ini."

"Aku paham betul perasaan kamu sekarang, Agastya," katanya. "Kenapa harus kamu khawatirkan bagaimana keadaan Riani atau kenapa dia menghindarimu. Kondisinya sudah seperti itu, enam bulan yang kamu bilang kesempatan untuk memperbaiki tapi nyatanya kamu hanya berusaha membahagiaannya dan malah mengesampingkan pemasalahan kalian. Solusi yang bisa aku katakan sebagai sahabat terbaikmu dan rekan bisnismu ini adalah persis seperti yang kamu katakan tadi. Bicaralah dengannya! Biarpun percuma, toh kalian sudah bercerai juga."

Saya meragu untuk beberapa saat, tapi berusaha untuk bertahan. Semua yang ada dalam diri saya ingin menyetujui ide ini.

"Jadi, seperti yang aku bilang, keluarlah dari novel picisan cengengmu itu." Gewandra mengambil hiasan meja berupa batu perak berbentuk infiniti. "Lihat dirimu, Agastya yang tangguh sedang mengalami penyakit melankolia. Cobalah untuk berterus terang dengan perasaanmu, jangan biarkan pikiran buruk merenggut hidupmu."

"Yasudah, tanda tangan perjanjiannya dan saya akan segera pergi dari sini." Saya mengambil berkas di meja yang berlogo perusahaan saya lalu memberikan kepada Gewandra. "Kapan lagi presdir bertindak seperti ini tanpa lewat perantara sekertaris."

"Karena kamu banyak maunya." Gewandra mengambil telepon di nakas samping sofa. Menekan nomor pada gagang telepon. "Cepat datang ke ruangan saya," katanya. Lalu mematikan telepon. Dia mengambil bolpoin di sakunya dan segera menandatangani berkasnya. "Bagaimana jika kamu bertemu dengan Danu dulu sebelum membicarakan banyak hal dengan Riani?"

"Sebenarnya...," kalimat saya terhenti karena seorang wanita mengetuk pintu dan segera masuk, Gewandra berbicara pelan denganya lalu memberikan berkas yang sudah ditanda tanganinya. Kemudian wanita itu keluar dan Gewandra memberikan berkas salinan legal kepada saya. "Saya malah ingin menghajar wajahnya. Karena waktu di pernikahannya saya menahan diri, tidak mungkin saya bertingkah bodoh di depan umum."

"Yah, aku setuju, itu kebodohan yang memalukan diri sendiri." Gewandra manggut-mangut. "Danu memang layak dihajar habis-habisan, jika perlu bakar saja, atau tenggelamkan."

"Astaga Doktor Psikologi macam apa kamu ini menyarankan hal biadab." Kami tertawa. Itu julukan untuknya sejak kami SMA. Saya selalu meminta pendapat padanya karena dia paling taat pergi ke gereja daripada teman sejawat kami yang lain.

"Tapi serius bicaralah dengan Danu." Gewandra kembali serius saat tawanya mereda.

Sejak hari itu, di ruang ganti, sebelum pernikahan Danu, kami tidak banyak berbicara. Bahkan acara resepsi saya hanya menyampaikan pidato naif yang saya kutip dari novel. Danu hanya mengapresiasi dan percakapan berakhir di sana. Saya sering bertanya-tanya apakah hubungan gelap dimulai dengan rayuan dan siapa yang merayu lebih dulu. Kadang-kadang saat makan malam atau melakukan aktifitas harian, rasa penasaran tiba-tiba menjawil benak saya, jam berapa mereka melakukannya, saat itu saya sedang melakukan apa, tepatnya kapan saya harusnya menyadari jika mereka menghancurkan hati saya. Jika saya frontal bertanya kepada mereka yang jelas saya akan mengangguk dan masalah mungkin selesai begitu saja. Saya tidak yakin emosi apa yang ditumbulkan dengan keterusterangan mereka menjelaskan detailnya.

Kendatipun demikian kalau dipikir-pikir dulu saat saya mendengar berita bahwa Ayah meninggal, saya sama tidak memiliki reaksi apapun. Begitu saya melihat kain selimut menutup sekujur tubuhnya saya hanya duduk diam dan mengingat banyak hal tentang waktu yang saya habiskan bersama Ayah. Saya tidak mengatakan kalimat apapun sampai orang menganggapku mogok bicara. Sampai-sampai mereka merasa gugup harus mengajak saya bicara. Mungkin saya akan bereaksi demikian jika Danu dan Riani mengatakan yang sebenarnya.

"Agastya, kamu mendengarkan aku, kan?" Tidak tahu kapan Gewandra sudah berdiri di sampingku, dia menepuk lenganku. "Apa kamu di sini?"

Saya tidak benar mendengarkan kalimat Gewandra setelah dia menyarankan aku harus berbicara dengan Danu. Tapi suapaya tidak terdengar memilukan saya mengatakan, "Ya, saya mendengarkan. Danu sudah menerima paket hadiah bulan madu ke Bali selama satu minggu. Saya akan minta sekertaris saya untuk atur jadwal menemuinya."

"Astaga, kamu benar tidak mendengarkan aku sama sekali," desahnya. "Jika kamu mendengarkan aku pasti kamu tidak akan melewatkan apa yang aku sarankan padamu."

"Apa?" balasku cepat-cepat.

"Mungkin mencoba mendekati wanita lain. Memulai hubungan baru daripada kamu repot-repot harus memperbaiki hubungan yang sebenarnya sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki." Gewandra kembali duduk di kursi kerjanya. Dia menyalakan laptop.

"Baiklah," sahutku. Sarannya terdengar tidak masuk akan dan terlalu riskan untuk dilakukan. "Saya akan memikirkannya." Lagi pula tidak ada rencana satupun yang telah dilalui. Semua hanya obroloan saja, jadi tidak tahu yang mana harusnya bisa meringankan beban pikiran saya.

"Aku tahu kamu pasti melakukan salah satu yang telah kita bicarakan, entah yang mana. Aku hanya bisa memberikan saran, keputusan tetap menjadi kendalimu." Gewandra mendesah. "Ini sudah jam makan siang. Sudahlah, pikirkan ini di rumah, atau kamu ingin kita membiacarakan ini sampai jam pulang kantor?"

"Baiklah, Saya pergi dulu," kata saya seraya mengulurkan tangan. "Semoga projek ini menorehkan keuntungan besar."

"Aku akan mempersiapkan karyawan terbaikku untuk menanganinya," sahut Gewandra sambil menyambut tangan saya.

(BERSAMBUNG)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top