Episode 6
Kehidupan adalah tentang menghadapi
***
Saya berpikir harus berdamai dengan Riani. Saya tahu yang telah saya lakukan beberapa menit sebelumnya adalah tindakan yang salah karena saya menceraikannya, membahas tentang perceraian di hari pernikahan. Tetapi sesuatu di dalam tubuh saya ingin melakukannya, dan rasanya begitu cepat hingga ada tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran. Saya beranggapan bahwa sebaiknya Danu memikirkan untuk menikahi Riani, tidak peduli bagaimana mereka akan saling mencintai atau tidak. Akal sehat saya sangat tidak karuan ketika tahu jika Danu menikah dengan Kalista, betapa dangkalnya saya tidak bisa merekatkan hubungan saya sendiri dengan Riani.
Saya berjalan menuju ruang anti pengantin. Aku tidak tahu sebelah mana tepatnya ruangan pengantin wanita. Lorong-lorong menuju ke sana sangat lengang, saya mulai meragukan bahwa Riani mungkin tidak ada di salah satu ruangan yang semua pintunya tertutup. Saya berpapasan dengan seorang pria yang mengenakan pakaian sama seperti saya.
"Maaf," panggil saya menghadang jalannya. "Saya mau tanya ruangan pengantin wanita ada di sebelah mana, ya?"
Dia menunjuk pada pintu tepat di samping saya, bodohnya di daun pintu terdapat tempelan kertas yang memberikan informasi mengenai apa yang aku cari. Aku segera mengucapkan terima kasih dan pria itu akhirnya pergi. Saat saya membuka pintu ruangan itu kosong kecuali keperluan daripada pengantin wanita. Saya langsung keluar, sebenarnya belum memutuskan akan bertanya kepada siapa yang mengetahui keberadaan Riani. Hingga keputusan final aku bergabung ke Danu dan Kalista bersama dua tamu istimewa.
"Pak Agastya," panggil Kalista. "Ares ... Chris ... perkenalkan ini Pak Agastya dari Bali, eh...," ekpresi Kalista kebingungan, saya melihat Danu menggeleng, "suaminya Mbak Riani."
Saya tahu ekpresi ketika orang menunjukan sesuatu perasaan tidak menyangka pada fakta yang sebenarnya, dan wanita bernama Arestia ini menunjukkan dengan sangat kentara. Saya tidak tahu bagaimana mereka semua bisa mengenal Riani padahal yang dia bilang hanya beranjangsana dengan Danu dalam waktu sehari semalam.
"Senang bertemu dengan Anda," kata Arestia dan kami bersalaman juga kepada Chris.
"Agastya," terdengar kikuk tapi saya menunjukan dengan sangat tegas. "Ngomong-ngomong apakah kalian melihat Riani?"
Hanya Kalista yang memberikan reaksi cepat. "Bukannya saya sudah bilang kalau Mbak Riani buru-buru ke hotel karena ada urusan mendesak mengenai kantornya."
Saya mengernyit. "Kamu tadi tidak bilang apa-apa?"\
"Yang benar saja, saya teralu kebingungan dengan pertanyaan Bapak," dia berjata sambil tertawa.
"Baiklah kalau begitu saya pamit dulu, sampai bertemu nanti malam," kata saya dengan terburu-buru sambil mengeluarkan ponsel dari kantong dalam jas.
Saya menatap wajah Danu sekilas, dia menampakan wajahnya dengan tanpa ekspresi nyaris seperti rasa iba dan dengan mata yang tidak berfokus. Saya mengsuap lengan Danu dengan memberinya senyuman. Lalu saya memeluknya dan mengucapkan selamat. Tidak tahu apakah saya sudah mengatakannya atau belum tapi saya lakukan. Saya langsung meninggalkan lingkuangan dari tempat penikhan sambil berusaha memesan taksi online. Di Surabaya sangat banyak driver yang aktif jadi saya cepat mendapatkan tidak lebih dari sepuluh menit mobil telah berhenti di depan saya dan mengantar saya ke hotel.
Sesampainya saya di hotel, saya langsung menuju kamar Riani. Awalnya saat saya mengetuk pintu kamarnya dia tidak menjawab, tapi tiba-tiba pintu terbuka. Yang pertama saya lihat adalah Riani yang tegar. Tidak ada bekas air mata ataupun tatapan sedih atau sebagainya.
Saya langsung bertanya, "Kamu baik-baik saja?"
"Yam, saya baik-baik saja," jawab Riani dengan suara tenangnya.
Dia mepersilakan saya masuk. Saat di dalam kamarnya saya duduk pada sofa di sebrang ruangan. Saya melihat dia sedang membuka laptop dan beberapa lembar kertas terjajar di atas tempat tidur.
"Butuh bantuan?" tanya saya, dia menggeleng.
"Mas ada apa cari saya? Apa acaranya sudah selesai?" Riani merapikan tumpukan kertas itu dan dia untuk beberapa saat tersibukkan dengan laptopnya.
Saya menggeleng. "Belum. Tadi Kalista cerita kalau kamu ada urusan kantor jadi saya khawatir kamu kenapa-kenapa...," saya kehingalan kepercayaan diri untuk melanjutkan kalimat. "Eh, yah jadi saya langsung ikut balik ke hotel." Sebenarnya saya ingin menanyakan tentang kami, tapi rasanya tidak mungkin.
"Aku kenapa?" Riani menatap saya sejenak. "Ada proposal baru yang masuk ke surel, dan aku harus segera memeriksanya."
"Iya, kemarin kamu sudah cerita kalau akan membawa pekerjaan ke kantor." Melihatnya tersibukkan dengan gaunnya saya bingung bagaimana pekerjaan bisa menyita kesempatannya untuk berganti pakian. "Butuh bantuan?"
Dia menggeleng. "Memangnya Mas bisa?"
"Kamu berkerja di perusahaan saya."
Dia tertawa dengan sangat tulus. "Saya lupa kalau kamu Presdir. Hanya meninjau kenapa beberapa proposal yang masuk dan meninjau kenapa mereka masuk daftar eliminasi."
"Seharusnya tidak sepenting itu bukan sampai kamu tidak sempat berganti baju."
Dia memandang tubunya sendiri. "Tadi mau ganti baju tadi mas datang jadi lupa."
"Yasudah ganti baju sana."
Riani langsung bergerak.
"Ada beberapa sample lukisan yang masuk juga ke surel saya, apa kamu bisa bantu saya memilahnya?"
"Bisa, kamu teruskan ke surelku." Saat itu Riani mengambil pakaian di koper.
Sebelum Riani masuk ke kamar mandi saya sempatkan bertanya padanya. "Saya boleh bertanya?" Riani terdiam di depan pintu kamar mandi. "Tadi ada Chris dan Arestia, eh dia mengenal kamu, bagaimana bisa?"
"Loh, mereka datang? Kok tadi saat prosesi saya tidak melihat mereka," sahut Riani dengan mengertnyi dan dia menyampirkan baju santainya di lengan bawah.
"Iya, mereka baru datang setelah kamu pulang."
"Aku pernah datang ke acara resepsi pernikahan mereka, bersama Danu juga. Mas ingat 'kan yang waktu itu saya bercerita kalau Danu menghajar Ayah?" Mungkin Riani menyadari wajah bingungnya saya sampai akhirnya dia menambahkan. "Apa ada sesuatu yang aneh saat Mas bertemu Arestia?"
Saya mengangguk. "Ya, terutama Arestia. Dia tampak tidak percaya jika saya suami kamu." Setelah menyadari ada yang janggal saya segera mengoreksi. "Oh, maksud saya Kalista tadi memperkanalkan kalau saya sumi kamu. Saya harap ini tidak jadi masalah."
Ekspresi wajah Raini langsung merosot. Dia berbalik dan segera masuk ke kamar mandi. Saya bertahan di posisi duduk saya hingga beberapa saat. Proses berikutnya membuat saya cemas. Saya menjadi sulit memusatkan sesuatu di sekeliling. Saya menunggu Riani keluar dari kamar mandi dengan khawatir dan tidak sabaran. Sempat saya memikirkan jika Riani tidak akan keluar dari kamar mandi sebelum saya keluar dari kamar hotelnya. Tapi, sepuluh menit kemudian dia keluar.
"Aku lupa apa sempat menceritakan kepada Arestia bahwa aku dan Danu sejak awal tidak ada hubungan apa-apa. Tapi, aku ingat kalau saya datang ke pestanya menjadi orangnya Danu. Kalista sempat menganggap bahwa kami ada hubungan spesial." Riani meletakkan gaunnya ke kursi di depan meja rias.
"Iya lupakan saja, saya hanya bingung bagaimana mereka semua mengenal kamu padahla kamu sempat bercerita kalau kamu hanya menghabiskan waktu dengan Danu sehari semalam," kata saya sambil berdiri. Saya berjalan menuju pintu. "Saya sudah kirim ke surel kamu. Saya ke kamar dulu mau ganti baju. Kalau mau makan siang di resto hotel bilang saya."
"Iya Mas," sahut Riani. Saya melihatnya sedang terfokus pada laptonya kembali.
Saya langsung keluar dari kamar Riani.
(BERSAMBUNG)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top