Episode 5
Pengakuan bukanlah tentang pilihan yang sembrono tetapi tentang menjadi diri sendiri pada posisi untuk mencintai seseorang
***
Saya mengambil sepiring cheese cake dan membawanya pada deretan kursi yang dijajar secara janggal. Saya memakan itu sambil memperhatikan sekitar dan hanya saya groomsmen : duduk sendirian, memakan kue, tua, dan tidak mengenal siapapun kecuali keluarga Danu ataupun keluarga Kalista. Saya berhenti mengunyah cheese cake memikirkan sesuatu. Kalau saya menjadi Riani, mungkin saya akan berpikir bahwa Agastya adalah sosok antagonis, jika mungkin itu sudah ditakdirkan demikian. Seratus persen saya akan percaya bahwa yang terjadi diantara Danu dan Riani itu bukan sebuah kesalahan.
Pada intinya yang terjadi di antara mereka adalah sesuatu yang kurang beruntung. Saya hanyalah orang yang merusak alur cerita mereka. Hubungan yang mereka ciptakan sangat romantis—intuisi berbicara demikian—sehingga sifatnya sangat sentimental. Apa yang telah mereka bicarakan tentang diri saya dari sana amarah saya bermuara.
Saya kembali mengunyah cheese cake. Lantas jika saya diberi kesempatan untuk angkat biacara—saya tidak sungguh memikirkan—pada saat Riani datang dihadapan saya, sesuatu tentang apapun itu yang seharusnya tidak menekannya bahwa dirinya yang bersalah—tentang rencana yang harusnya jauh lebih baik untuk menyelesaikan perang dingin antara saya dengan Riani.
Kalista tampaknya mendatangi saya. Dia baru keluar dari gedung, setelah berganti baju untuk acara penjamuan. Sangat jauh dari dugaan saya ketika dia berbelok ke arah meja yang menyajikan cheese cake. Dia tampak gugup ketika mengambil sepiring cheese cake. Sorot matanya tidak tenang.
Mungkin akan lebih mudah baginya jika saya menyapa dan akhirnya saya lakukan. "Selamat atas pernikahan kamu, Kalista."
"Pak Agastya?!" sahutnya dengan sepiring cheese cake tampak mengangamali guncangan karena tangannya yang gemetaran.
"Apa masih terasa gugup sekarang?" tanya saya. Dia langsung menyadari jika saya memperhatikan tangannya lantas dia menyetuh dengan tangan yang lainnya. "Bergabunglah dengan saya, kita belum berbicara banyak sejak kemarin malam."
"Tentu," sahutnya.
Saya berhenti mengamati tangannya saat dia berjalan ke arahku. Saya sepertinya harus membuat percakapan kami menjadi santai dan aman. Tidak menyinggung perasaannya atau sesuatu yang nantinya bisa saja informasinya sampai ke telinga Danu.
"Kamu mencintainya bukan?" Saya meragukan kenapa bisa menanyakan hal seperti ini di hari pertama pernikahan seseorang. Dan rasanya keberanian untuk mengatakan itu karena sesuatu yang seperti magnet mengalir kuat dalam diri saya.
"Danu?" Kalista berdeham, "dia pria yang rumit, butuh waktu bertahun-tahun untuk mengetahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Maksud saya, apa yang dia cari tentang hidupnya. Dan sejak saya memperhatikan itu saya mencintainya."
"Apa kamu yakin jika Danu adalah milik kamu?" Saya hampir memalingkan muka ketika kalimat bodoh itu nyata keluar dari mulut saya. "Maaf, maksud saya, eh ... saya hanya ingin tahu apa alasan wanita bisa memutuskan menikah?"
Kalista menantang dirinya sendiri hingga akhirnya dia menantap mata saya. "Danu bukan milik saya pada awalnya. Sampai sekarang mungkin Danu tidak merasakan apa yang saya rasakan untuknya." Kalista mendesah dengan ekspresi tanpa makna. Dia berkedip satu kali, setelah itu tatapannya menjadi kosong.
Saya tidak bisa menanggapi karena Kalista seperti hendak mengatakan sesuatu yang sekarang mungkin sedang dia pikirkan kejadian-kenajian yang pernah alami. Jadi, saya menunggu dengan memotong cheese cake dengan garpu kecil dan memasukkan ke dalam mulut.
"Pak, maafkan saya, bukannya bersikap lancang kepada Anda. Jujur! Saya sangat tidak enak harus bilang kepada Anda—Danu melarang saya untuk membicarakannya—tentang pernikahan Anda dan Mbak Riani yang berakhir." Kalista meletakkan piring kecil di tangannya pada kursi di sebalahnya. Bahkan kue itu tidak sempat dia makan. "Saya datang untuk memastikan kepada Anda. Dan pertanyaan Anda awalnya membuat saya bingung."
"Tidak ... tidak ... santai saja dengan saya," saya segera menyela.
Dia menghela napas. "Eh, kalau Anda penasaran apa alasan wanita bisa memutuskan menikah? Sebaiknya Anda juga tanyakan kepada Mbak Riani. Dia sudah menikah dua kali dan keduanya gagal. Dan benar kata Danu ... saya pasti akan kebingungan berbicara dengan Anda. Saya bukan orang sastra jadi mohon maaf, saya benar-benar bingung dengan maksud pertanyaan Anda."
Saya tersenyum, hampir tertawa sebenarnya. Saya tidak tahu kalau Kalista sangat suka berbicara.
"Sungguh, tapi maksud perkataan saya. Danu bukan milik saya karena Danu sempat punya masalah dengan orang sebelum saya, Mbak Riani mungkin belum cerita tentang Arestia."
"Dia pernah cerita," koreksi saya. Saat itu mungkin ketika saya mengantarkan Riani kembali ke Banyuwangi setelah dia tinggal di rumah saya selama seminggu penuh.
Kalista mengangguk. "Yah, saya tahu jika cintanya Danu masih ada di sana."
"Saya tahu, cinta itu untuk semua orang ... saya tidak sedang bersyair," setelah saya berkata, kami langsung tertawa.
"Boleh saya tanya sesuatu, Pak?" Kalista mengambil cheese cake dan meakannya sebagian.
"Saya sudah mem berikan pertanyaan yang membuat kamu bingung," jawab saya sambil menusukkan potongan terakhir cheese cake. Sebelum saya memasukkan ke mulut saya berkata, "Silakan!"
"Baiklah," katanya akhirnya setelah menelan kue. "Apa Anda yakin bahwa perceraian bisa mengakhiri masalah? Apakah ehm ... tidak ada upaya untuk menyatukan sebelum Anda dan Mbak Riani menandatangi surat cerai? Saya sangat menyesal itu terjadi. Sangat, bahkan Danu sempat menangis kepada saya."
"Sudah ada upaya dan memang tidak bisa rujuk kembali."
"Kalau seandainya—" Kalista berhenti berbicara karena dia melihat. "Ada Arestia. Dia baru datang."
Saya mengikuti arah pandangnya. "Jadi dia wanita yang membuat Danu patah hati? Dan pria itu adalah suaminya?" sepasang tamu dengan pakaian senada berwarna cokelat dan biru. Berjalan dengan tenang disambut hangat oleh kedua orang tua Danu, dan tidak lama Danu menghampiri.
"Bukan, dia yang patah hati karena Danu." Kalista berdiri. "Seandainya bisa direkatkan apakah Bapak bersedia menikah lagi dengan Mbak Riani? Jawab cepat karena saya harus segera ke sana." Dia membentak. Saya sampai belum genap memproses jawaban. Kalista menunggu sambil berupaya menghabiskan cheese cake.
"Saya tidak tahu," jawab saya konstan. Tetapi Kalista tidak memperhatikan.
Dia berteriak. "Olivia, Ke mari!" panggilnya pada anak kecil yang bermain dengan anak kecil seumurannya tidak jauh dari meja cheese cake.
Gadis kecil itu segera menghampiri kami. Kalista membungkuk dan membisikkan sesuatu, "Dia Pakde Agastya." Sebenarnya saya keberatan harus dipanggil Pakde, yang artinya saya terlalu tua untuk dipanggil Om. Sangat sarkas.
"Hai Pakde," kata Olivia. Saya mengulurkan tangan dan dia menyambut tangan saya dan menciumnnya dengan menempelkan pada pipi.
"Di sana ada tamu Ayah juga, kamu ke sana dulu, nanti Bunda menyusul," Kalista membisikkan sesuatu lagi. Kemudian Olivia berjalan santai menuju Danu.
Kalista masih tidak beranjak. Dia berdeham. "Saya mencintai Danu karena saya tahu caranya, saya percaya bahwa Danu tidak akan pergi jauh biarpun dia mungkin bisa menyakiti perasaan saya." Kalista meletakkan pirik kotor pada kursi di samping saya.
"Apa itu layak dikatakan cinta?"
Kalista meringis. "Saya tidak tahu, tapi jauh lebih melegakan karena jika saya menyakininya seperti itu akan lebih baik daripada kata kegelisaan melahap habis kepercayaan. Saya beranggapa bahwa saya telah menjadi diri sendiri untuk mencintai orang lain. Dan saya tidak sedang bersyair!"
Saya tertawa.
Kalista juga ikut tertawa. "Senang bisa berbicara banyak dengan Anda, Pak."
"Saya menghargai pemikiran kamu, saya bisa menyatakan sebuah konklusi bahwa wanita memilih untuk menikah karena dia meyakini arti pengorbanan seorang istri dan ibu, mungkin akan jadi seperti itu bukan?"
"Apa itu konklusi?" Kalista mengernyit.
"Simpulan dari pendapat kamu?"
"Saya tidak menyebutkan kata istri dan ibu?"
"Memang tidak, tapi itu yang saya dapatkan dari percakapan kita," sahut saya sambil menumpuk piring kecil dengan piring kotor Kalista.
"Eh, satu lagi pertanyaan saya," kali ini tatapan Kalista mengarah pada sepasang kekasih tadi yang sedang berupaya mencari keberadaan seseorang dan sepertinya itu Kalista yang dia ingin lihat. "Apa saya sudah layak menjadi teman Anda seperti yang Anda nyatakan kepada Danu?"
Saya tertawa dan mengangguk. "Untuk itulah saya datang dari Bali ke Surabaya untuk pernikahan kalian. Teman!"
Kalista tersenyum. "Baiklah saya pergi dulu." Kalista menyngkis gaunnya dan berjalan dengan cepat menuju sekumpulan orang yang mengerubungi sepasang tamu tadi. Mereka langsung bertegus sapa seolah tidak pernah berjumpa, Kalista memeluk Arestia dan lalu bergantian memeluk pria yang menjadi suami Arestia. Sedangkan Danu berdiri dengan tenang dengan wajah yang tampak bahagia. Senyumnya sangat lebar, dan tulus.
(BERSAMBUNG)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top