Episode 4

Jika perpisahan tak lagi berkabut tapi kenapa lukanya tidak tak kujung tercabut?

***

Selama berhari-hari saya memikirkan berada di tengah keluarga Danu ataupun Kalista. Saya hanya mengenal sebagian kecil orang-orang di sini, dan mereka adalah yang saya kenal kemarin. Pertama kali saya datang ke Surabaya tujuan pertama adalah rumah Danu lalu kemudian mencari hotel yang lokasinya tidak jauh dari tempat diselenggarakannya pernikahan.

Sebenarnya tias saya di sini cukup sederhana untuk menjadi groomsmen. Saya hanya menampilkan senyum dan berdiri di samping keluarga dan teman-teman Danu. Seperti yang sekarang sayua lakukan. Di tengah altar Danu dan Kalista sedang mengikuti prosesi pernikahan. Semua pandangan mereka mengarah kepada keduanya dengan tatapan haru dan bangga.

Namun, lamunan saya justrus mengubah entitas bahwa Kalista adalah Riani. Saya meragukan kenapa Riani yang menjadi pikiran saya menikah dengan danu. Ini hal yang sebenarnya tidak mungkin terjadi. Danu pernah bilang jika dia akan melanjutkan hidupnya dengan wanita yang seharusnya dia nikahi. Dan wanita itu jelah bukan Riani. Sudah pasti. Riani juga sama dengan saya tidak pernah bertemu dengan Danu terakhir di Banyuwangi di rusunnya.

Hening. Ruangan ini hening. Pikiran saya kacau. Sekarang saya bertanya-tanya apakah Riani mengharapkanpernikahan ini terjadi. Apakah Riani benar merasakan bahwa anatara dia dan Danu terdapat sesuatu? Dan apa perlu saya menanyakan itu kepada mereka. padahal semua sudah terjawab jelas melalui senandika dan penjelasan Danu lewat telepon waktu itu. biarpun saya dan Raini, pertanyaan-pertanyaan itu masih tidak mengenakan hati.

Hingga akhirnya pendeta mempersilahkan untuk mempelai pria mencium mempelai wanita, pikiran saya mulai bejalan normal karena ruangan gaduh dengan seruan, dan tawa. Mata saya mengarah pada Riani yang ada di sisi lain altar. Dia memandang Danu dan Kalista dengan air mata berkaca-kaca.

Mungkin seperti ini yang dia rasakan. Danu adalah pria yang baik, kurasa dia menyadari itu setelah banyak pertolongan untuknya. Sedangkan Kalista menerima Riani padahal calon suaminya pernah berhubungan badan dengan wanita lain. Tapi yang jelas Riani tidak akan memikirkan bagaimana perasdaan saya harus menerima seorang istri melaklukan itu bahkan saat sang suami tidak di rumah.

Saya meragukan apakah dia memikirkan saya saat melakukan itu. Harusnya perceraian adalah langakh termudah mengakhiri rasa kecewanya, tapi saya di sini masih butuh sebuah pengakuan yang cukup bahwa mereka memang mencoba untuk mempermainkan saya.

Pikiran saya melihat semua orang di sini membuat saya tidak sadar waktu dan realitas bahwa acara kini berganti pada penjamuan tamu. Semua orang keluar ruangan untuk mengambil makanan dan minuman. Acara resepsi masih nanti malam jadi seharusnya aku dan Riani bisa kembali ke hotel.

"Mas, mau aku ambilkan minum?" kata Riani. Dia mengusap lengan saya.

"Tidak perlu, saya mau ke toilet dulu," jawab saya. kemudian saya berbalik berjalan menjahui Riani, sempat saya tengok dia. Riani cepat menyesuaikan diri dengan orang lain, mungkin karena terbiasa dengan pekerjaannya jadi itu bukan perkara sulit untuknya.

Saat saya selesai dai toilet saya ragu harus bergabung dengan yang mana. Semua orang bergerumbul dengan kelompok-kelompok kecil yang tidak sengaja terbentuk. Hampir semua tamu membawa segelas minum dan piring kecil berisi kudapan yang mereka ambil dari meja-meja yang menyebar di halaman sekitar gedung pernikahan. Saya memahami jika gedung sedang dipersiapkan untu acara resepsi jadi penjamuan dilakukan di halaman.

Tidak berselang lama saya juga sudah mengambil minum, Riani menghampiri.

"Mas?" panggilnya cukup membuat saya tersentak.

"Balik ke hotel?"

Riani menggeleng. "Kamu belum bertemu dengan Olivia, kan?"

Saya mengernyit. "Siapa?"

"Olivia itu anak angkat Danu dan Kalista," jawab Riani. "Anak perempuan yang tadi taburkan bunga saat prosesi mempelai memasuki ruangan, Mas ingat?"

"Oh, dia," seru saya. sebenarnya saya ingin membuatnya memahami betapa sulitnya bagi saya menyesuaikan dengan tempat ini dan orang-orang baru. rasanya sulit mempercayai semua orang yang ada di sini. Yang artinya berusaha membiasakan diri membuat saya merasa bahwa diri saya tidak dalam kondisi baik. "Saya di sini saja."

"Kalau begitu aku akan temani Mas Agastya di sini," kata Riani. "Mungkin Mas masih bingung, enam bulan terakhir sampai akhirnya kita bercerai terasa tidak masuk akal bagi Mas harus berada di sini. Di pernikahan Danu. Benar?"

Saya berpikir sejenak sebelum menanggapi. Saya mencoba mengartikan setiap kata-kata dari pernyataannya, dan juga caranya berbicara dengan penuh keyakinan tapi diakhiri dengan pertanyaanya yang membuat saya ragu dengana pa yang sebenarnya saya raskan sekarang.

Saya mengerti, semua yang telah terjadi seharusnya hal yang perlu saya terima. "Tentu. Maksud saya, saya tidak terlalu yakin. Tentang yang manapun itu yang sekarang sedang kamu pikirkan. Yang terjadi sekarang adalah saya berusaha mencari masa depan."

Riani tertawa. "Merepotkan sekali harus memikirkan masa depan di tempat bahagia seperti ini. Apa sekarang Mas mengidap melankolia?"

Saya menggeleng. "Apa saya terlihat seperti itu?"

Riani mendengus. "Danu dulu teman saya, dia menikah dengan orang yang tepat untuknya. Kita sering membicarakan ini. Bukannya seharusnya kita menyambutnya dengan bahagia?"

Ya Tuhan. Hal ini tidak pernah terbesit dipikiran saya. mengucapkan selamat kepada Danu saya mungkin sebagai isyarat sebagai hal yang perlu dilakukan khalayak pada pasangan yang baru menikah. Tapi rasanya mengucapkan selamat kepada pernikahan Danu sama halnya dia mengucapkan selamat pada perceraian saya.

"Saya hampir bisa mengucapkan selamat," jawab saya setelah hal sempat terpikirkan. "Saya hampir berubah pikiran tapi rasanya tidak mungkin. Itu karena semua yang telah dia lakukan, bukan tentang yang dia katakan atau alih-alih semua yang saya yakini. Ini berbeda. Saya berusaha mencintai kamu tapi karena dia, saya lupa bagaimana caranya. Kamu dan dia merusak semuanya dalam hidup saya."

Saya kira Riani akan menyakalnya tapi dia hanya menatap mata saya dengan air mata menggenang. "Saya sudah cerita kepada Danu kalau kita bercerai." Saya mengambil jeda dengan menarik napas. "Saat masih di ruang ganti."

Riani menggeleng. "Bukannya kita sudah menyepakati kalau berita ini akan disampaikan setelah acaranya selesai."

"Saya sebenarnya merasa agak bodoh belakangan ini." Suara saya berubah nyaris seoerti desisan. Bukan karena saya terlewat marah dengan kenyataan tapi saya merasa terluka. Saya berusaha melambatkan napas agar terjaga dan tetap tenang. "Bukan karena saya marah karena Danu yang membuat keputusan saya menjadi membuat kita dalam posisi seperti sekarang, dan tidak ada yang berbeda membicarakan perceraian itu sebaik ekarang ataupun nanti."

Dia tidak menjawab tapi sikapnya tidak setenang pertama kali dia menghampiri saya. Napasnya terdengar berat.

"Apa perlu kita berpamitan untuk kembali ke hotel dan berkemas kembali ke Bali?" Saran saya mungkin terdengar tidak masuk akal bagi Danu. Setelah yang terjadi di ruang ganti.

Riani menggeleng, tapi sorot matanya tidak putus dari pandangan ke arah saya. "Bisa kita lakukan untuk tidak membicarakan ini sejenak?" Ibu jariku mengusap air matanya. Ini benar saya lakukan karena aku tidak ingin riasnya yang cantik rusak begitu saja karena keegoisan saya. "Aku yakin ini tidak mudah bagi Mas. Maaf telah memaksa Mas untuk datang ke sini." Riani langsung berbalik.

"Tidak, Riani, maafkan saya." Saya tarik tangannya dan dia langsung tersentak untuk kembali menghadap ke saya.

"Aku tahu bahwa aku bukan lagi istri Mas. Mas bisa lakukan apapun, jangan pedulikan aku. Kita sudah bercerai dan jangan ungkit masalah ini lagi, kalau Mas tidak terima dengan apa yang saya lakukan dengan Danu, seharunya lakukan sebelum kita bercerai. Karena yang pasti apa yang Mas lakukan nanti tidak akan ada yang berubah. Saya bukan lagi istri Mas lagi." Riani menyentak tangan saya untuk meloloskan diri.

Yang Riani katakan bahkan sudah bukan Riani yang saya kenal dulu. Semasa kami menikah Riani kerap berusaha menghindari perdebatan, tapi kamu tidak mendebatkan sesuatu. Ini hanyalah tentang perasaan yang seandainya bisa direkatkan.

(BERSAMBUNG)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top