Episode 3
Mencoba merangkai bersama semua kenangan bukan untuk mengulang kisah itu tapi untuk memperbaiki bagian yang rusak
***
Pernikahan Danu mengingatkan saya pada pernikahan saya dengan Riani. Saya saat itu benar-benar yakin jika Riani adalah satu-satunya wanita yang akan saya nikahi. Dan satya tidak ingin menikah dengan wanita lain sealian Riani, kala sejenak mungkin saya terlalu dini menyimpulkan. Saya tidak pernah menyangka jika memang pada akhirnya saya dan Riani tidak bersama lagi.
"Kami sudah bercerai!" kata saya dengan yakin kepada Danu di sebuah ruangan tempat dia berganti baju sekaligus mempersiapkan diri menuju altar penikahan. "Kami baru menandatangi kira-kira saat udangn pernikahan kamu tibna di Bali."
Danu mengangkat tangan kanannya. Dia ingin saya berhenti berbicara karena ada barusaja datang ayahnya bergabung dengan kami di ruangan itu. Ayahnya merogoh cearik kertas dan memberikan kepada Danu. Tanpa disertai kalimat apapun pria itu langsung meninggalkan ruangan. Alis Danu terangkat melihat saya setalah Ayahnya berhasil kerluar dari ruangan.
"Apa?" tanya saya.
"Saya tidak tahu harus menanggapi bagaimana?" Danu berdiri dari sofa dan menyeret sebuah kursi di sudut ruangan untuk duduk di sebelah saya. "Tapi kenapa?"
"Kamu seharusnya sudah tahu apa penyebabnya!" Terlalu naif apabila saya tidak mengakui bahwa pertanyaan Danu sangat menyinggung perasaan saya. "Saya minta maaf harus memberi kabar ini sebelum pernikahan kamu berlangsung. Karena bagi saya kamu tidak perlu mendengar berita buruk ini."
"Pak Agastya. Kejadian itu sudah satu tahun berlalu. Saya kira Anda dengan Riani baik-baik saja!" Danu mengusap mulutnya dengan matanya yang mulai memerah. "Kemarin Anda datang kerumah saya bersama dengan Riani kalian tampak baik-baik saja."
"Kamu kira kami tokoh di novel roman picisan?" Saya mengusap punggung Danu. Dari tatapan matanya saya tahu jika dia sangat merasa kurang baik. "Kami tahu dan kami yakin dengan keputusan ini."
Danu menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. "Saya bingung harus bagaimana!"
"Kamu tahu jika saya menikah dengan Riani itu adalah keputusan besar yang pernah saya ambil." Saya melihat ke arah dekorasi ruangan yang penuh dengan bunga dan cahaya-cahaya terang. Sebuah sofa berwarna krem selaras dengan dekorasi dinding.
Saya tidak bisa mengira bagaimana perasaan Danu saat ini, kurang beberapa menit lagi dia akan berjalan menuju altar pernikahan. Sedang yang saya lihat sekarang dia tidak dalam kondisi baik. Dia masih mengakupkan tangannya ke wajahnya, sikunya bertumpu pada lutut dan duduk membungkuk. Bagaimana juga saya tidak mendengar isakan tapi mata Danu terlihat memerah diujung kubu-kubu jarinya. Seharusnya saya tidak menceritakan berita ini, atau setidaknya setelah acara pernikahannya selesai digelar.
"Danu, saya tidak bermaksud merusak suasana di hari pernikahan kamu." Danu menegakkan badan. "Kami sepakat menjadi groomsmen kami ingin yang terbaik untuk pernikahan kamu."
"Saya tahu," kata Danu. Suaranya terdengar lemah. "Anda belum menjawabnya kenapa kalian melakukan itu. Saya sangat berharap lebih kalian akan baik-baik saja saat Anda tahu bagaimana isi sebenarnya senandika yang saya buat untuk Anda."
"Saya kira juga sperti itu. Tapi saya benar tidak bisa melanjutkan ini." Saya menghela napas mempertimbangkan kalimat yang jauh lebih bijak untuk meyakinkan Danu bahwa hubungan saya dengan Riani tidak bisa dilanjutkan. "Senandika itu cukup berarti bagi kami, kamu pasti tahu itu. kami telah membicarakan banyak hal yang telah kami lewatkan. Kami sepakat bahwa sampai bulan April kami akan memutar kembali waktu untuk mengingat apa yang telah kami lewati, hingga kami berbalik seolah tidak terjadi apa-apa."
Danu mengusap tengkuknya. Saat itu pikiran saya berkelana pada kejadian setelah Danu menelepon saya bulan Oktober tahun lalu. Setelah saya mengembalikan ponsel kepada Riani saya masuk ke dalam kamar. Di sana saya berpikir apakah saya yakin harus mempertimbangkan keputusan padahal sudah jelas Rani mengkhianati pernikahan kami. Sangat jelas siapa pria yang tidur dengannya, sangat jelas bahwa hubungan kami tidak baik-baik setalah tiga bulan bahterah rumah tangga berjalan.
Kemudian saya keluar menuju kamar tamu. Riani tidak ada di sana. Barangkali dia kembali ke Banyuwangi tetapi mobilnya masih terpakir di depan rumah, dan barang-barang masih ada di kamar. Saya menanyakan kepada asisten rumah tangga dan juga satpam rumah mereka menjawab bahwa Riani keluar. Mereka menjelaskan bahwa Riani jalan kaki. Saya sangat yakin jika Riani tidak jauh. Karena baru lima menit saya masuk kamar.
Saya sengaja tidak meneruiaki namanya atau jika dia tahu saya datang dia pasti akan pergi lebih jauh lagi. Saya susuri tepian jalan yang menagarah pada jejak perjalanan Rainai dari hasil petunjuk satpam rumah. Hingga akhirnya di sebuah lapangan di dekat taman bermain terlihat seorang wanita masih mengenakan kebaya duduk di tepian jalan.
Jalanan sangat sepi jadi tidak sulit menengani bahwa itu adalah Riani. Biarpun dia membenamkan wajahnya duduk dengan merangkul kaki.
"Riani... Riani... Riani...," panggil saya berkali-kali, dia tetap bergeming. Semakin dekat langkah saya terdengar jelas suara isakan. "Riani," saya pegang bahunya dan dia tersentak.
Riani mengangkat wajah menatap saya. "Mas."
Saya duduk di sampingnya tanpa bicara. Saya juga tidak memulai berbicara karena jauh lebih baik menikmati kesunyian ini dengan isi kepala yang meledak-ledak. Saya lirik Riani, dia menatap saya dengan air mata yang sudah merusak tata riasnya.
"Danu bilang kamu tidak boleh menangis duduk di pinggir jalan," kata saya sambil mengulas senyum.
Riani menatapku dengan cara memohon agar aku tidak mengatakan itu. Mungkin mulutnya terlalu penat untuk mengatakannya. Hingga kalimat ini keluar dari mulutnya. "Aku merasa jauh lenih aik melihat Mas Agastya berada di sini."
"Lapar?"
Raini menggeleng. "Aku tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Aku bingung."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Saya juga tidak ingin kamu menyalahkan diri kamu." Saya menghela napas. Saya sangat bersikap naif harus mengatakan yang berbalik dengan isi hari saya.
Riani mengusap lengan saya. angin sepoi-sepi menyelimuti kami. "Mas, lihat saya."
Saya melakukan apa yang dia inginkan.
"Apa Mas akan menceraikan aku?"
"Saya tidak berpikir begitu, tapi kalau kamu ingin membicarakan tentang perpisahan kita silakan saja."
"Apa Mas yakin kita akan baik-baik saja walau kita sudah bercerai." Riani menatap saya dengan sesuatu yang harusnya saya terima tapi saya melawanya dengan menatap ayuanan yang bergoyang karena angin.
Sa aterdian sejenak. Ketika Riani mengatakan tentang perceraian yang saya tangkap adalah jauh lebih buruk daripada sekadar perpisahan. Tiba-tiba saya ingin melakukan hal besar dengan mengatakan sesuatu tentang selamat tinggal.
"Jika ada saatnya untuk melakukan hal untuk mencoba sekeras apapun itu untuk mempertahankannya akan saya lakukan. Tapi pernikahan bukalan percobaan. Keputusan saya menikaho kamu adalah hal luarbiasa yang pernah saya lakukan. Orang tua saya sangat bangga dengan saya, bahkan saya pribadi mampu melewati itu setelah banyak hal yang saya rasa pernikahan untuk saya tidak akan pernah ada. Tapi kehadiran kamu, peretemuan pertama kita saat kamu sedang hamil, dan pertemuan kedua kita di Banyuwangi, semua seperti takdir yang membawa saya." Terlalu banyak kalimat yang saya katakan waktu itu, hingga saya tidak tahu bagaimana menyembunyikan rasa kekecawaan saya terhadap Raini.
Suara ketukan pintu menelan memori itu. Saya telah dibawa kembali pada realitas penikahan Danu. Mas Haris berdiri di ambang pintu dia mengatakan bahwa acara segera dimulai. Saya bertukar pandang dengan Danu. Dia masih dalam kondidi yang sama.
Saya mengangguk untuk meyakinkan Danu bahwa pernikahannya harus terus berjalan dengan baik. Berita buruk tentang pernikahan saya dengan Riani harusnya tidak merubah suasana bahagiannya. "Semua akan lebih baik," hibur saya kepada Danu. "Jika kamu ingin saya akan menceritakan semuanya kepada kamu nanti setelah pernikahan kamu selesai digelar. Mungkin tentang bagaimana kami melawati ini semuanya."
Danu mengangguk. "Mungkin juga tentang Anda kenapa bisa bersikap ramah. Saya tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu."
Saya tertawa santai dan kami sama-sama berdiri lalu berpelukan seperti kerabat lama yang tidak pernah berjumpa puluhan tahun. Sebenarnya saya berusaha sebaik mungkin untuk tidak berpikir keras bagaimana lepas dari situasi ini. Saya masih tidak bisa menerima kekecewaan ini bahkan tentang semua kejujuran-kejujuran itu mengudara. Sulit bagi saya untuk memandang kekecewaan itu dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Saya bisa menahan tapi bukan ini yang saya rencanakan.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top