Episode 2
Bertahanlah jika dia pantas untuk dipertahankan. Jika tidak maka berpindah adalah tempat paling aman.
***
Banyak hal yang seharusnya saya telaah dari perjalan hidup setahun yang lalu. awal tahun saya melakukan perjalanan bisnis ke Banyuwangi, perjalanan yang sia-sia—saya rasa. Karena yang terjadi cabang hotel yang ada Banyuwangi seharusnya milik Ayah sekarang sudah diambil alih oleh Paman. Meski proyek saya di Bali jauh melampaui pendapatan karena hotel itu.
Juga perjalanan di Banyuwangi tidak terlalu merugikam karena di pertangahan tahun aku menikah dengan seorang wanita, dia menerima tanpa peduli umur saya yang sudah 32 tahun. Wanita itu yang kini berjalan menghampiri saya di lobi hotel dengan gaun terbaik yang dia pernah kenakan. Saya cukup tercengang menatap lekuk tubuhnya yang serasi dengan potongan gaunnya. Berwarna biru tua dipadukaan dengan sepatu berhak tinggi berwarna putih dengan tas tangan berkelap.
Saya langsung berdiri sambil mengancingkan jas abu-abu yang kukenakan. “Sudah siap?” tanyaku.
Mengingat dia yang membangunkan saya pagi ini. Dan justru saya yang lebih awal siap. Dia menggedor pintu kamar hotel saya. Di samping juga dia berusaha menelepon ponsel saya. Hingga akhirnya petugas pelayanan kamar yang mengantarkan sarapan membantu membuka kamar dan mendapati saya masih tertidur terbalut selimut. Dia menarik selimut saya. Saya mengerjap lalu mencari remot AC.
Setelah saya berhasil mematikan AC, lantas saya berkata, "Jam berapa berangkat?"
"Cepat mandi terus sarapan." Saya memeriksa waktu di ponsel ketika Riani mengatakan itu. "Kita berangkat jam tujuh."
"Masih pukul lima." Saya mengeliat sambil duduk di tepian tempat tidur.
Petugas pelayanan kamar telah meninggalkan sarapan di nakas kanan tempat tidurdan dia berpamitan keluar.
"Apa kamu tidak keberatan?" Saya menunduk sambil mengatur posisi duduk dengan menutupi bagian bawah tubuh karena saat itu saya masih mengenakam celana dalam.
Riani memahami maksud saya tapi dia tidak keberatan. Jadi saya langsung menyikap selimut dan berjalan menuju kamar mandi. Sedangkan dia menyiapkan pakaian ganti.
"Tidak perlu repot menyiapkan baju untuk saya," kata saya saat menyambar handuk di sampiran pintu kamar mandi.
"Aku tidak kebaratan," ketika mengatakan itu Riani sedang berjongkok di depan koper. "Baju kiriman dari Danu kamu simpan di mana?"
Saat itu saya sudah menyalakan keran sedang mengatur suhu air panas dan dingin. "Ada di lemari."
Setelah saya mandi saya membalut tubuh nagian bawah saya dengan handuk dan berjalan keluar. Kamar sudah rapi, sarapan tersaji di meja, setelan baju yang dimaksudkan Riani telah tersetrika, dan pakian dalam yang sudah ada di atas tempat tidur. Saya tinggal bersiap dan segera mengambil sarapan.
Mata saya hampir terpesona dengan penampilan Riani kali ini. Dia mengusap pelipisnya bermaksud menyingkirkan rambut halus yang mengganggu tulang pipinya. “Apa aku terlihat berlebihan? Kaliasta sangat hebat mengatur hal semacam ini.”
“Tidak,” jawab saya. Maksudnya saya dia akan menghadiri acara pernikahan sahabatnya. Alangkah lebih baik tampil dengan maksimal. “Lebih baik dari pesta makan malam waktu itu.”
“Kebaya yang aku pakai di acara ulang tahun tante Hella atau yang malam tahun baru?” Ekspresinya panik. Dan saya pun tertawa. “Mas Agastya jawab?”
“Dua-duanya kurasa?!” jawab saya santai. “Yang terpenting kamu tampil sempurna pagi ini. Yang pasti Danu juga akan terpukau lihat kamu.”
“Astaga jangan bilang seperti itu. Hari ini pernikahan Danu dan Kalista jangan sampai aku mengacaukan pernikahan mereka.” Riani mengambil ponselnya dari dalam tas.
“Dan Danu merusak pernikahan kita kan?” tukas saya.
“Apa kamu berniat untuk mengacaukan pernikahan mereka?” Dia mengetikkan sesuatu dan lalu menelepon. “Sudah pesan taksi?”
Saya menggeleng menjawab pertanyaannya. “Tidak terpikirkan, dan belum memesan taksi sampai kamu datang ke lobi.”
“Danu bilang temannya yang akan menjemput kita ke tempat lokasi. Dari pada kita tersesat tidak tahu alamat pastinya.” Kemudian Riani berjalan menuju halaman depan gedung hotel. “Harusnya dia sudah datang.”
Saya mengikuti gerak langkahnya. Kami menunggu beberapa saat hingga ada seorang pria berkemeja cokelat berumur kira-kira 25 tahun atau seumuran dengan Danu datang menghampiri.
Pria itu berkata. “Bu Riani dan Pak Agastya?”
Saya mengangguk. Saya pandangi pria itu yangmengenakan setelan sama dengan yang saya kenakan.
Sedangkan Riani menyahut. “Mas Haris?”
“Iya, saya,” pria itu berdeham ditengah kalimatnya.
"Mobilnya ada di sana, Pak, Bu," kata pria itu menunjuk ke suatu arah tapi tidak mengarah ke mobil manapun yang terparkir.
Mas Haris bercerita bahwa tidak mendapatkan parkir di depan lobi dan tidak bisa menuju lobi, jadi kami harus mendatangi mobil itu.Tidak berselang lama kami dituntun menuju mobil yang dimaksud.
"Saya masih tidak habis pikir kenapa kita termasuk dalam daftar Bridesmaid dan Groomsmen?" tanya saya dengan sedikit memelan suara agar Mas Haris tidak mendengarnya. "Kita bahkan bukan keluarganya, atau kerabat dekat, atau teman biasa saja bukan."
"Karena dia tahu bahwa pengiring pengantin tidak akan mengacaukan pernikahan." Riani sedang berusaha menelepon seseorang. Awalnya saya ingin menanggapi tapi ketika Riani memulai kalimatnya menyahut suara panggilan, saya langsung terdiam.
"Hallo Kalista, ini aku sudah sama Mas Haris."
"Aku sangat tidak sabar,yang pasti sangat-sangat bersemangat." Kemudian Riani tertawa. Saya tidak bisa mendengar suara balasan dari Kalista.
Tidak berselang lama panggilan itu berakhir saya melirik Riani ketika dia memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan kemerlapnya. Saya baru mengingat bahwa itu tas yang saya beri saat Natal kemarin.
"Kenapa kamu senyum-senyum?" Dia mengernyit. "Aku harap ini bukan senyum jahatmu yang merencanakan mengagalkan pernikahan Danu.
"Tidak, saya tidak akan mempermalukan diri saya seperti yang Danu lakukan terhadap saya." Kami tiba di mobil yang dimaksud. Segera saya masuk ke kursi penumpang dan Riani masih terpaku di luar. Mas Haris juga sudah duduk di kursi kemudi.
Saya menurunkan kaca mobil. "Kenapa bengong?"
"Aku teringat kalau kamu dan Danu sepakat bahwa dia mempersilahkan kamu menghajar wajahnya." Riani menoleh saat tangannya hendap membuka pintu mobil.
"Bagimana kamu bisa tahu? Padahal kamu tidak ada saat saya bertelepon dengan Danu waktu itu?"
Saya menoleh ke belakang. Saat itu Mas Haris sudah menyalakan mesin mobil.
"Aku merekamnya." Saya hanya menggelengkan kepala. Ternyata dia merencanakan hal licik ini dan merahasiakan selama setahun belakang
"Oh jadi ini yang membuat kamu duduk di pinggir jalan setelah saya mengembalikan ponsel kamu?"
"Sudahlah, jangan bahas masalah itu lagi." Rianu mengalihkan pandangan ke luar mobil.
Mobil sudah melaju. Kemudian saya sedikit berbincang dengan Mas Haris mengenai banyak hal. Bagimana dia bisa mengenal Danu dan pembicaraan merembet ke mana-mana termasuk pekerjaan.
BERSAMBUNG
I KADEK AGASTYA
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top