Episode 11
Langit tidak akan runtuh biarpun kamu menunggunya untuk kembali
***
Saya sudah sampai di wilayah dekat dengan Monumen Bom Bali, tapi saya masih belum menemukan lokasi cafe yang dituju Danu dan Kalista. Saya sudah tidak tahu kabar apakah Riani sudah sampai ke sana atau belum. Hingga akhirnya Google Maps Voice mengatakan telah sampai di lokasi tujuan. Saya mencari tempat parkir dan itu bukan perkara gampang di daerah ini. Setelah akhirnya beres memakirkan saya segera masuk ke area kafe.
Sejak dari rumah saya sudah memperkirakan bahwa akan ada Adrian yang menemani Riani. Jadi saya tidak terlalu terkejut melihat mereka bergabung dengan Danu dan Kalista. Dari awal saya datang mereka tidak terlihat asik dan bahkan cenderung canggung. Saat saya datang suasana mungkin sedikit mencair.
"Selamat pagi," saya mengengo jam tangan. "Oh, selamat siang. Apa saya terlalu lam?" tanya saya kepada siapapun yang berkenan menjawabnya.
"Selamat siang, Mas," sahut Riani. "Kebetulan aku sama Adrian lagi ada urusan di sekitar sini, terus mas kasih kabar kalau Danu ajak sarapan bareng. Aku langsung ke sini. Eh, malah duluan aku daripada Danu."
"Apakabar Danu?" tanya saya mengusap bahunya lalu mengambil posisi duduk. Danu hanya tersenyum. "Astaga, ternyata saya paling tua di sini." Saya menoleh ke Adrian. "Lagi free?" Adrian mengangguk lalu saya menoleh ke Kalista. Kami bertos di atas kepala.
"Lukisan yang waktu itu Mas pajang di mana?" tanya Riani,
"Lukisan apa?" Danu menyela sebelum saya menjawab.
"Mas Agastya beli lukisan aku kemarin, yang kapan hari aku cerita dapat kesempoatan di galerinya Malik Budi Darsono."
"Oalah, yang mana? 'memalarkan'?" Saya terkejut saat Danu bilang tentang memalarkan.
"Menyerah." Riani mengoreksi. "Kenapa kalian bilang lukisan itu 'memalrkan'. Maksud aku, agstaga dari mana kalian dapat kata seperti itu?"
"Yang jelas dari membaca," timpal Adrian. Saya tertawa juga Kalista.
"Malam pertamaku dengan Danu dia juga menghabiskan malam dengan membaca," ungkap Kalista. "Parah gak sih?"
Kami semua tertawa.
"Jadi memalarkan itu apa?" Kalista mengambil minum.
"Adrian tahu?" tanya Danu sambil menoleh ke Adrian, duduk di samping Kalista. Posisi duduk saya beradapan dengan Adrian sedangkan kanan kiri saya ada Riani dan Danu.
"Wakti aku bertemu Pak Agastya waktu itu." Adrian menoleh pada saya. "Pak Agastya menyebut lukisan Riani dengan memalarkan, saat pak Agastya pulang saya langsung mencarinya di Google. Dan menurut saya memang benar kata memalarkan jauh lebih tepat daripada menyerah."
"Hallo, bapak-bapak penggila sastra, aku ini orang awam jadi bisa tolong pakai bahasa Indonesia yang lazimnya dipakai sehari-hari?" Kalista mambuka tangannya dan dengan ekspresi acuh tak acuh. "Memangnya kita perlu mendebatkan kata apa yang cocok untuk lukisan Mbak Riani? Kan pelukisnya sudah mengatakkan kalau lukisan dengan judul menyerah, pertanyaannya terus kenapa kalau kuran tepat?"
Saya tertawa. "Hanya memberikan kesan, dan tentunya kembali ke pelukisnya lagi."
Danu dan Adrian menganggukkan kepala. Mereka menyortkan pandangan ke arah Riani seolah menanti respon dari Riani. Saya dan Kalista juga ikut mengarahkan pandangan ke Riani.
"Apa?" katanya sambil mengernyit. "Aku sampai bosen jelasin di galeri kemarin. Apa kalian menginginkan aku menjelaskan ulang, bukannya Mas kemarin sudah tahu yah?" Riani malah menunjuk saya membuat mereka semua mengarahkan pandang ke saya.
"Kalian bertanya alasan saya mengatakan memalarkan?" Saya mengernyit dan menepelkan punggung pada sandaran.
Danu mengangguk.
Saya berdeham. "Saya berpikir jika seseorang yang sedang menunggu adalah duduk di samping jendela. Dan menunggu bisa saya artikan mengharapkan atau mendambakan sesuatu."
"Memang benar," sahut Riani. "Tapi orang itu sudah menjauhi kursinya. Jadi?"
"Menyerah jauh lebih masuk akal," sahut Kalista.
"Baiklah dua kubu mari saling berargumen. Aku di pihak netral saja," timpal Adrian. Dan kami langsung tertawa. Dari sini memang Adrian orang yang sederhana dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.
"Bagaimana dengan kamu Danu?" Saya menepuk paha Danu. "Bisa jelaskan sedikit."
Danu bergumam beberapa saat. Kemudian dia malah bergeming. Saya mengernyit dengan perubahan ekspresinya. Saya jadi penasaran dengan apa yang dia pikirkan sekarang. Lalu kemudian dia bergerak dan mengelurkan buku kecil dan bolpoin dari dalam weist-bag.
"Serius kamu bawa itu ke mana-mana?" tanya Kalista dengan wajah terheran-heran. "Jadi karena ini kamu menolak aku menitipkan dompet?"
"Seniman sastra membutuhkan ini, kalau tidak kapalanya meledak," tukas Danu. Kemudian dia mendesah saat meletakkan dua benda itu di meja. "Sebaiknya aku susun menjadi senandika."
"Sambil menunggu Danu, sebaiknya kita pesan makanan." Kalista memanggil pelayan kafe. "Kita datang ke sini untuk makan, ya!"
Saat pelayan kafe datang dengan membawa buku menu. Kami bergantian memesan makanan dan minuman.
(BERSAMBUNG)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top