Episode 10

Menjalani hubungan tidak seperti prajurit ketika berperang. Mengatur strategi dan bertindak. Tapi ini tentang bagaimana rasa itu berkembang dan hingga tak sadar waktu dan jarak.

***

Saya mulanya ingin mengajak Riani ke galeri lukisan dari Malik Budi Darsono, salah satu dari beberapa pelukis kesukaan Papa. Setelah ditelaah saya bukan lagi orang yang bisa berleluasa mengajaknya ke mana pun itu, sebab dia bukan lagi istri saya apalagi orang terdekat. Ada sekat yang terlihat antara saya dan Riani, untuk beberapa bulan terakhir.

Saya melihat jam dan menyajadari jika hari sudah tengah siang. Saya menghabiskan waktu untuk berpikir dengan siapa saya akan pergi ke sana. Lalu sekilas terpikirkan untuk mengajak Mama. Saya segera bergerak dan menuju dapur. Firasat saya benar jika Mama mungkin di dapur. Dia sedang asik memotong cabai dan bawang di konter dapur.

"Ma, saya mau pergi ke galerinya Pak Malik." Saya mengambil posisi duduk pada kursi tinggi di depan konter. "Mama mau ikut?"

"Malik mana?" Mama menghentikan gerakannya dan meletakkan pisau. Lalu dia memindahkan hasil potongannya ke wadah. "Malik yang punya butik?"

"Bukan. Pak Malik Budi Darsono, pelukisa kesukaan Papa," seru saya. "Mama pasti ingat lukisan kaleng susu?"

"Astaga pak Budi Darsono?" Mama memberikan wadah bersikan hasil potongannya ke Mbak Dani yang sedang sibuk di atas di depan kompor. "Sudah delapan tahun Beliau tidak membuka galerinya lagi."

"Jadi? Mama mau ikut?" tanya saya sekadar memastikan. Saya menunggu Mama menjawab tetapi dia tersibukkan di depan lemari es yang terbuka. Dia berjongkok dan dari depan konter aku tidak bisa melihat apa yang sedang dilakukan Mama di sana. "Mama?"

"Kamu ajak Riani, kan?" tanya Mama. Saya memahami maksud Mama. Dia juga tahu jika Raini menyukai lukisan. "Harusanya kamu ajak dia juga. Mama sudah lama tidak berjumpa dengan Riani."

"Saya rasa bukan ide yang baik," seru saya.

"Baiklah Mama akan temani kamu ke sana." Mama meletakkan kanton keresek hitam berisikan sesuatu yang lonjong. "Mbak, kalau sudah matang tolong kupaskan wortel ini, ya?"

"Iya, Nyonya," sahut Mbak Dian.

"Wortel memang dikupas," tanya saya. Seperteiga detik akhirnya saya menyadari bahwa pertanyaan omong kosong keluar dari mulut. "Jam satu kita berangkat."

"Oke Mama akan siap-siap," kata Mama. "Kamu sudah pesankan karangan bunga ucapan selamat, kan?"

"Saya sudah minta sekertaris perusahaan untuk mengaturnya." Saya berdiri dan Mama sudah berjalan mengitari konter.

Kemudian kami sama-sama memasuki kamar dan bersiap.

Pukul dua siang kami tiba di galeri. Tidak banyak orang bergelumbul di depan gedung. Spanduk-spanduk pendukung berkibar di tengah terik matahari. Hari sudah menjelang sore tapi panasnya membuat mercu kepala hendak meledak. Dari area parkir saya berlari menuju lobi depan, di sana ada Mama sedang mengibaskan kipas dari katalog galeri.

"Panas banget," keluh Mama. "Sepertinya kita telat acara utamanya."

"Memang telat, Ma," jawab saya. "Galeri baru dibuka kemarin sore."

Kami berdua akhirnya masuk. Baru sampai di koridor depan saya sudah merasa janggal dengan katalog yang baru saja buka. Lukisan yang bulan lalu saya bilang "Memalarkan" hadir dan menjadi salah satu dari deretan lukisan.

"Itu Pak Budi Darsono?" Mama menunjuk ke suautu arah, di sana ada seorang pria paruh baya sedang menjelaskan ke pengunjung tentang suatu lukisan. Galeri kali ini tidak terlalu ramai jadi semua orang terasa bisa cepat dikenali.

Kami beruda berjalan menuju ke Pak Malik Budi Darsono. Belum juga Mama menyapa, Beliau sudah menyadari kedatangan kami. Dia pun segera berpamitan dengan pengunjung untuk menjamu kami.

"Selamat datang di galeri saya," seru pak Malik. "Sudah lama sekali kami tidak berjumpa semenjak hari pemakaman Pak Gastya." Kami berjabatan tangan.

"Tim marketing kami merekut pelukis baru yang bergabung untuk galeri saya, mungkin kalian akan menyukai mereka."

Kami akhirnya di halu menuju ke pelukis-pelukis yang beliau maksud. Sempat saya merasa menunggu kapan Pak Malik akan memperkenalkan Riani, tapi setelah mata saya berkeliling ke segara penjuru ruangan tidak sekali melihat Riani.

"Ada satu pelukis baru, memang tidak terlalu bagus, tapi dia mengisahkan lukisannya dengan apik." Pak Malik berhenti di depan lukisan...

"Memalarkan," usap saya sambil menatap lukisan kursi di depan kelambu.

"Saya setuju dengan kamu Agastya. Tetapi pelukisnya menamai dengan Menyerah." Pak Malik menumpu dagunya dengan tangan dan sikunya ditumbu dengan lengan. "Seperti yang saya bilang sebelumnya. Memang tidak bagus, tapi dia mengisahkan lukisannyua dengan apik."

"Bagaimana kisahnya?" tanya saya penasaran. Seharunya di dalam kisah itu pelukisnya menyinggung diri saya.

Tapi Pak Malik menjawab. "Lebih baik, kamu tanya ke pelukisnya langsung namanya Riani Aridiyanti dari Banyuwangi." Beliau sempat terbatuk kemudian menambahkan kalimatnya. "Dia sempat berguru dengan pelukis dari Bali. Tapi saat dia menawarkan lukisannya kepada saya, saya langsung setuju. Ditambah kisah di balik itu."

Sebenarnya saya hampir tidak memperdulikan apa yang ditambahkan oleh Pak Malik. Mama yang terlihat menyimak dengan benar. Saya hanya memperhatikan sekitar di mana Raini berada. Tidak satupun tanda yang menunjukan keberadaan Riani.

Hingga sepasang kekasih baru saja memasuki galeri. Setelah beberapa menit mungkin saya tidak akan menyadari jika wanita itu tampak familiar. Mereka bukan sepasang kekasih, si wanita memang menggandeng lengan si pria, tapi mereka adalah Riani dan Adrian.

"Itu pelukisnya baru saja datang," seru Pak Malik menunjuk ke koridor depan.

Mama memandang saya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya. "Apa kamu kenal pria itu."

"Dia temannya Riani," jawab saya saat Pak Malik memanggil Riani untuk bergabung dengan kami.

Dari sana memang Riani tampak terpaku untuk beberapa detik, kemudian Adrian yang menyelamatkan dari kebekuan tubuhnya. Mereka berjalan mendekat, saya tidak tahu itu justru membuat saya merasa terancam. Ini tidak baik.

"Mbak Riani, Ibu ini ingin membeli lukisan kamu," kata Pak Malik. Saya segera menloh ke mama. Dia mengangguk.

"Sungguh?" tanya saya dalam bisikkan dan nada yang dalam.

Mama menjawab dengan anggukkan. "Kalau dia saya kenal Pak," kata Mama sambil tertawa. "Dia kan teman anak saya."

"Hai!" sapa saya. Lidah mati rasa. "Boleh kami mendengar bagaimana ceritanya?"

Riani menoleh ke Adrian. Lelaki itu menggangguk meyakinkan. Dia mendekatkan bibir ke telinga. Saya tidak bisa mdengar apa yang dikatakan Adrian tetapi perkataannya membuat Riani bergerak. Dia berjalan menuju depan lukisan.

"Kalau begitu saya tinggal dulu," ucap Pak Malik disusul gerak langakh menjauh setelah kamu mengiakan.

"Saya sebenarnya tidak tahu kenapa Pak Malik Budi Darsono memilih tiga lukisan termasuk yang ini," dia menunjuk lukisan menyerah, "dari 15 lukisan yang saya ajukan. Dua diantaranya Anda bisa melihat di katalog."

Saya tidak menyadari jika Mama melanjutkan tur galeri, sedangkan saya dan Adrian menyimak Riani menjelaskan mengenai lukisannya. Saya sempat melirik Adrian sekadar memastikan apakah semua berjalan dengan yang saya minta. Tapi sikapnya menunjukan bahwa dia tidak menceritakan bahwa saya pernah melihat lukisan Menyerah atau Memalarkan.

"Lukisan ini adalah ketika seseorang berhenti berlari untuk menyerah melainkan menghadapi dan memikirkan seandainya bisa direkatkan, namun faktanya memaksakan sebuah cinta yang semestinya berakhir tidaklah mudah."

Saya memikirkan bahwa yang Riani katakan adalah bukan dari isi hatinya melainkan apa yang saya rasakan untuk Riani—pada mulanya sebelum saya memutuskan untuk mencerikannya—dan saat Riani mengatakannya lukisan itu justru membuatnya merasa hancur selayaknya bunga yang menjadi latarnya.

"Jadi, dia menunggu. Mungkin sesuatu akan berubah, tapi yang telah rusak tak akan pernah kembali seperti semua. Dan di sinilah saya menyadari perpisahan yang terindah adalah ketika pikiran ingin mengatakan sesuatu tetapi hati ingin melakukan hal lain. Dia pun berdiri dari kursinya dan berhenti menunggu."

Adrian menoleh ke arah saya. "Saya masih menepati janji saya untuk Anda. Tapi saya ingin Anda mendengarnya sendiri dari Riani." Adrian berbisik saat Riani menatap lukisannya sekali lagi.

"Kami akan membelinya."

"Terima kasih," jawab Adrian. Sedangkan Riani melamun.

Saya akhirnyat tahu bahwa percerian itu baginya terdengar tidak masuk akal. Dan sulit bagi menerima kenyataan. Kisah kami telah berakhir.

(BERSAMBUNG)


() 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top