Chapter 9
"When it gets hard, I get a little stronger now I get a little braver now."
-New Empire-
"Ayah?" panggilku kala berdiri di hamparan rumput belakang rumah saat melihat George tengah menerbangkan sebuah layangan. Lelaki itu menoleh ke arahku lalu menyunggingkan senyum lebar.
Aku berlari menghampiri George, berkejaran dengan angin yang menerbangkan layangan yang selalu kami mainkan selama musim panas.
"Ayah, aku sayang padamu," kataku sambil memeluk tubuhnya.
"Benarkah?" tanyanya sambil menarik benang layangan itu lalu mengulurnya kembali mengikuti arah pergerakan angin. Lalu dia menancapkan kayu pemberat benang ke tanah dan berjongkok di hadapanku. "Jika Ayah pergi ..."
"Don't go!" seruku. "Aku akan mengikuti Ayah pergi ke mana pun."
George tertawa renyah seperti bunga-bunga yang bersemi dan menerbangkan sebagian putik mereka. Senyum yang selalu menghangatkan orang-orang di sekitarnya. Dia membelai rambutku yang mewarisi warna rambutnya. Hampir semua orang mengatakan bahwa George menurunkan hampir 90% kemiripannya denganku.
"My little girl," panggilnya lembut. "jika Ayah sudah tua dan Lizzie menemukan pria yang menyayangimu seperti Ayah, maka ikutlah dia, Sweetheart."
"Jika tidak?"
"Ayah akan memukul mereka untuk melindungimu. Tapi, Lizzie adalah gadis yang kuat, kan? Kau akan menemukannya walau kadang harus mengorbankan dirimu sendiri, Nak."
"Lizzie tidak paham," kataku.
"Kau akan paham pada waktunya. Berjanjilah Lizzie akan menjadi kuat meski sebesar apa pun badai ingin menghancurkanmu. Promise me?"
Dengan senyum, aku mengangguk menuruti perkataan George yang sebenarnya tak kumengerti. Kami saling mengaitkan kelingking sebagai tanda bahwa janji harus dipegang dan ditepati. Kemudian, dia merangkulku erat seperti hangatnya mentari menyentuh kulit. George adalah cinta pertamaku yang tidak akan tergantikan oleh siapa pun, bahkan pangeran berkuda putih.
Kelopak mataku perlahan terbuka dan setelah bisikan George semakin lama semakin lirih. Kurasa dia masih enggan mengajakku ke surga bersama Tuhan. Pupilku sedikit sakit kalau cahaya nan silau berusaha menerobos ke mata. Setelah nyawa terkumpul sepenuhnya, aku tercengang mendapati tubuhku berada di atas kasur. Mataku mengelilingi sekitar dan ternyata masih di tempat yang sama. Bedanya, ada selang infus yang tertancap di punggung tangan kiri entah sejak kapan. Bahkan wajahku tertutup oleh masker oksigen yang mengalirkan udara lembap.
Apa yang terjadi?
Pikiranku terlintas pada terakhir kali berdiam diri di bath up di bawah guyuran air dingin. Kuhela napas, harusnya aku mati bukan terbaring di atas kasur seperti ini. Kenapa mereka tidak membiarkanku tewas kedinginan saja?
Lalu kudengar pintu terbuka, dari ekor mata bisa kulihat seorang wanita berambut hitam legam dengan setelan jas putihnya menghampiri.
"Oh, astaga!" serunya terkejut, "kau sudah sadar."
Dia berlari keluar kamar dan aku yakin dia pasti memanggil pria itu. Mr. Jhonson. Mengembuskan napas sekali lagi dengan air mata yang kembali menetes jika mengingat bahwa pria itu merusak apa yang telah rusak dari diri ini. Aku adalah perempuan yang tidak bisa diperbaiki kembali sebesar apa pun usahanya.
Tak berapa lama dugaanku benar, pria itu datang tergopoh-gopoh menghampiriku dengan raut wajah yang begitu cemas. Dokter yang menghampiriku tadi pun langsung memeriksa dengan stetoskopnya.
"Ms. Khan ..."panggil Andre dengan suara seraknya menahan tangis sambil meraih tangan kanan namun kutepis. "Maafkan aku."
Bibirku bungkam seribu bahasa entah harus berkata dan berbuat apa sekarang. Tubuhku lemah setelah tak sadarkan diri di kamar mandi pria itu.
"Bisakah kau tinggalkan kami berdua, Tuan?" pinta sang dokter.
Dari raut wajahnya, Mr. Jhonson seperti ingin protes tapi dia tidak membantah selain pergi meninggalkan kami berdua di ruangan ini. Aku berpikir, kenapa tidak di rumah sakit saja? Kenapa harus di rumahnya? Apakah dia masih ingin menyombongkan diri dengan kekayaannya agar aku berlutut setelah apa yang dilakukannya padaku?
"Aku senang kau sudah sadar, Ms. Khan," kata dokter itu, "kau tak sadarkan diri hampir empat hari."
Apa? Empat hari? Sungguh? Bukankah aku sama saja dengan mati?
"Aku dokter Stephani," katanya memperkenalkan diri, "Aku sungguh sedih atas apa yang menimpamu, Elizabeth."
Aku tersenyum tipis atas simpatinya. Apakah dia juga psikiater? Dia pun duduk di sofa coklat di samping kiri ranjang.
"Jadi ... bagaimana perasaanmu saat ini?" tanyanya.
Inginku mengatakan banyak hal pada wanita di depanku ini tapi ragu. Bukan hal yang mudah untuk menaruh rasa percaya terlebih setelah kejadian kemarin yang berlangsung begitu cepat. Tidak semua orang bisa dipercaya atau bisa memberi saran, kebanyakan dari mereka hanyalah sekadar simpati atau justru hanya ingin tahu.
"Tidak apa-apa jika kau belum bisa mempercayai diriku. Tapi, di sini aku bisa menyimpan semua rahasiamu, Ms. Khan. Dan diriku tidak bekerja dengan tuan Jhonson," katanya seolah bisa membaca pikiran. "Sebagai psikiater, aku wajib melindungi pasienku apa pun yang terjadi. Anggap saja aku adalah teman barumu, oke?"
"Bisakah aku bertemu dengan temanku, Emilia Hall?" pintaku dengan suara serak.
"Baiklah."
###
Emilia datang sekitar satu jam setelah aku meminta dokter itu untuk menghubungi sahabatku. Dia menangis tersedu-sedu sambil merutuki dirinya telah membuat teman sekamarnya seperti ini. Kami berdua menangis seperti anak-anak, dia memelukku dengan perasaannya yang begitu hangat sebagai seorang sahabat sekaligus saudara. Aku mengelus punggung Emilia mencoba menguatkan dirinya bahwa aku kuat seperti yang dikatakan George.
".....Berjanjilah Lizzie akan menjadi kuat meski sebesar apa pun badai ingin menghancurkanmu."
"Sudahlah jangan kau menangis terus, Em."
"Kau hampir mati karena aku, Elizabeth Khan!" serunya dengan nada sedikit kesal. "Sungguh, ampuni aku ... sungguh aku bukan sahabat terbaikmu."
Aku mendorong tubuhnya, lalu mencoba bangkit dari posisi tidur sambil melepas masker oksigen membuat Emilia terhenyak kaget.
"See? I'm here and alive, Emilia. Jangan menyalahkan dirimu hanya karena masalah kecil ini."
"Jangan berbohong padaku, Lizzie! Aku tahu kau mempunyai trauma besar yang kau alami sejak kecil. Kasus itu ... dan luka itu, kan? Dan mungkin aku memperburuknya dengan alkohol sampai seseorang ... seseorang ..."
Dia kembali terisak, menutupi wajahnya seperti baru saja melakukan dosa besar yang tidak akan diampuni sekali pun membuat pengakuan.
"Aku baik-baik saja. Jangan menganggap diriku lemah karena itu membuatku semakin terlihat lemah, Em," kataku merasa bersalah.
"Hei, kau adalah gadis terkuat yang pernah kukenal, Elizabeth Khan. Jangan pernah menganggap dirimu lemah, kau sudah banyak melalui hal sulit yang tidak bisa aku bayangankan." Emilia memelukku lagi. "Oh, dokter tadi―"
"Dia psikiater, bukan?" selaku melepas pelukannya.
Emy mengangguk. "Dia mungkin lebih paham untuk menyelesaikan masalahmu daripada aku, Elisa. Apa kau percaya padanya?"
Aku terdiam sejenak karena ragu jika memulai mempercayai satu orang asing lagi dalam hidupku.
"Aku takut, meski..."
"Kau harus positif thinking, Lisa. Di dunia ini masih banyak orang baik di sekitarmu, percayalah."
"Haruskah?"
Emy mengangguk. "Demi dirimu sendiri, kau harus belajar mempercayai orang lain."
Dengan ragu aku menganggukkan kepala, Emy tersenyum tipis.
"Aku harus kembali ke kantor," kata Emy, "jika kau benar-benar baik, aku akan jemput dirimu." Lalu dia mencium keningku dengan sayang. "Oh, astaga! Bukankah ini terlihat seperti lesbian?" katanya monolog sambil tertawa kemudian melangkah pergi.
Tak berapa lama dokter cantik itu masuk ke dalam kamar, melangkah dengan anggun mendekati diriku. "Kenapa tidak memakai masker?" tanyanya.
"Aku sudah merasa baikan, Dokter."
Dokter itu pun kembali duduk di sofa di sisi ranjang lalu mematikan alat di tabung oksigen itu dan merapikan alat masker milikku di atas nakas.
"Aku sudah laporan kepada dokter Albert mengenai kondisimu, dia bilang akan datang ke sini nanti sore. Apa boleh?" tanyanya. Aku pun mengangguk. "Apa kau siap untuk menceritakan sesuatu?"
"Apa menurutmu aku ini aneh? Anda pasti tahu jika aku memiliki gangguan jiwa bukan?"
Dokter itu mengerutkan kedua alisnya. "Tidak seharusnya kau mengatakan hal itu, Ms. Khan. Semua orang juga memiliki masalah yang berbeda-beda. Tapi kau beruntung bisa mendapatkan hidup yang jauh lebih baik."
Kali ini aku mengerutkan kedua alis tak mengerti. Hidup lebih baik? Bukankah aku hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam? Bahkan setelah aku berhasil melupakannya kini ada orang yang berusaha mengingatkan kembali kenangan buruk itu.
"Kau cantik, pintar, dan bekerja di tempat Jhonson's Corp adalah pencapaian yang sangat baik. Kau juga dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu yang tidak ingin melihatmu menderita seperti ini," jelas dokter Stephani. "Di dunia ini ada hitam dan putih, Ms. Khan. Apa kau pernah memakai baju putih dan tak sengaja mengotori bajumu dengan sesuatu?'
Aku mengangguk.
"Mana yang dominan?"
"Putih."
"Walau noda itu banyak?"
"Ya, kecuali jika luntur," kataku sambil tersenyum.
"Tapi kau tetap melihat warna putih kan?"
Aku mengangguk
"Itu analogi dirimu, seberapa berat masalah yang kau hadapi sekalipun itu adalah setitik noda, kau kuat seperti warna putih. Kau bertahan meski harus mengorbankan hal yang kau sayangi. Dan satu hal yang sebaiknya kau tanam dalam benakmu," kata dokter itu sambil memegang tangan kiriku. "Percayalah pada orang yang menurutmu bisa menghilangkan rasa traumamu, percayalah pada orang-orang di sekelilingmu, dan percaya pada dirimu bahwa kau adalah gadis kuat."
"Termasuk menghadapi sumber mimpi burukku? Mr. Jhonson misalnya?" aku gelisah saat menyebut namanya, rasa takut itu mulai muncul lagi. Aku menundukkan wajah, memilin selimut sampai kusut. "Tapi ketika dia ... ehm ... kau tahu saat wanita pingsan dan paginya kau menemukan dirimu telanjang, kau pasti mengira dia mengambil kesempatan bukan? Aku sangat marah padanya dan aku membencinya."
"Tidak apa-apa, aku juga akan mengatakan hal yang sama denganmu, Ms. Khan. Tapi, ingatlah ... seburuk apa pun masa lalu yang dimiliki perempuan, mereka tetaplah berharga di mata orang yang tepat.
"Hanya George maksudnya ayah kandungku yang bisa melihat diri ini sempurna, Dok. Selain itu ... aku tidak pernah mempercayai pria lagi."
"Tidak perlu terburu-buru untuk menaruh kepercayaan, Ms. Khan, kau bisa melakukannya ketika hatimu siap. Selain itu, Tidak ada obat terbaik di dunia selain kemauanmu untuk sembuh dan menghadapi masalah itu tanpa takut."
Aku tersenyum sambil menghela napas panjang sedikit lega kala bisa menceritakan masalah pada orang lain selain dokter Margaretha. Menganggukkan kepala sambil memeluk dokter muda itu kemudian tak terasa air mataku mengalir lagi.
"Kuharap ada seseorang yang membantuku untuk sembuh, dokter."
Baca lebih cepat di Karyakarsa. Sudah update sampai bab 16.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top