Chapter 8
'He'd give me anything I still want to run away. If this is all I'm dreaming of, then why am I so afraid of your love?'
–Aviva-
Mataku terbuka saat mimpi itu hadir dan langsung bertatapan dengan langit-langit kamar bercat gading. Napas beradu dengan irama jantung yang tak normal seolah kepingan bunga tidur semalam adalah hal paling buruk yang pernah ada. Entah ini khayalan atau bukan, seseorang yang mencumbu di dalam mimpi terasa nyata. Suara dan sentuhannya seketika membuat tubuh bergidik ngeri. Apakah aku sedang mengalami mimpi basah seperti laki-laki? Rasanya mustahil.
Wait!
Sontak aku bangun dari tidur lalu mengedarkan pandangan sambil mengumpulkan segenap nyawa yang masih enggan beranjak. Bola mataku rasanya ingin menggelinding saat ini juga kala berada di atas kasur asing di sebuah kamar bercat hitam bernuansa maskulin. Saat menunduk, mulutku terbuka lebar mendapati diri ini tidak tertutupi satu helai benang pun. Tunggu, tunggu! Tidak, tidak! Apa yang terjadi semalam? Mana mungkin aku tiba-tiba tidak sadarkan diri saat di acara penggalangan dana kemarin. Apakah ada yang kulewatkan bersama Emilia? Ah, di mana gadis itu?
Jutaan spekulasi buruk langsung menghampiri tanpa jeda. Aku kebingungan atas apa yang menimpa. Jika tubuhku masih terbalut gaun ... Shit! Gaun sialan itu ternyata teronggok begitu saja di depanku. Lantas? Apakah aku telah melalui one night stand dengan lelaki asing?
Mr. Jhonson?
"Kau sudah bangun rupanya." Suara sedikit berat itu terdengar dari balik pintu. Cepat-cepat, kukumpulkan selimut ini untuk menutupi tubuh telanjang. Dia masuk dengan santai seraya membawakan nampan berisi sepiring sandwich dengan segelas susu.
"Bisa kau jelaskan padaku apa yang telah terjadi, Mr.Jhonson?" tanyaku sambil menahan amarah.
"Menurutmu?" Dia menaruh nampan itu di atas nakas, duduk di pinggiran kasur menatap iris mataku penuh arti.
"How dare you!" sungutku menampar pipinya. "Kau pria tak tahu diri, sialan!"
Siapa yang tidak murka saat bangun di tempat asing dalam kondisi tidak mengenakan pakaian? Apalagi lelaki yang kau kira sebagai tempat untuk menyembuhkan trauma nyatanya semakin memperburuk keadaan. Dadaku naik turun, begitu juga dengan air mata yang meluncur deras di pipi. Kutampar dirinya lagi namun saat ingin memukul untuk ketiga kalinya, dia menahan tanganku di udara seraya berkilah,
"Kau yang memaksaku untuk bercinta denganmu!"
"You must be kidding me! God!" teriakku frustasi. "Fuck you, Alexandre! Fuck you, how ... how dare you!"
Aku semakin menggila. Serangan kenangan buruk itu langsung menerjang menimbulkan efek hebat di tubuh. Aku menggigil, mual, sekaligus panik dengan diri sendiri. Aku butuh obatku, aku butuh menenangkan diri. Aku tidak ingin di sini. Aku butuh ibuku! Aku--
"Silakan kau mengataiku seperti itu," ketus Mr. Jhonson dengan alis yang bertaut. "Tapi kau harus tahu bahwa minumanmu dicampur obat perangsang seksual, Ms. Khan!"
"Itu hanya alasanmu untuk memperkosaku kan!" pekikku. "Kau jahat! Aku ... aku ... Ibu ... Ibu ... please ..." Memeluk erat tubuhku sendiri tapi nyatanya cara ini tidak berhasil saat rasa penyesalan dan hina itu membekap membuat pikiran kembali tak waras.
"Hei ... hei ... kau kenapa?"
Aku menggeleng tanpa memandang dirinya. "Ibu ... aku ingin pulang ... please, aku takut."
"Ms. Khan?"
"Stop!" teriakku ketika Mr. Jhonson membelai rambut. "Don't touch my fucking hair!"
Dia tergelak tak percaya. Aku tidak peduli jika dia menilaiku perempuan gila. Nyatanya aku seperti itu.
"Aku tak tahu jika seperti ini jadinya, Ms. Khan. Dan, ada penyusup semalam. Tidak sadarkah kau hampir diperkosa?" jelas Mr. Jhonson.
"Kau bohong," lirihku.
"Aku tidak bohong padamu," tegasnya. "Apa kau sudah gila? Kau tahu tubuhmu tidak toleran terhadap minuman beralkohol, kenapa? Kenapa kau masih meminumnya? Kenapa kau tidak bilang padaku, hah!"
"You're fucking liar, Alexandre Jhonson!" teriakku berusaha mengelak bahwa semalam adalah sebuah malapetaka besar.
Serpihan kejadian semalam mulai mengintip, menyadarkanku akan satu hal yang selama ini semua orang mengira dia menghilang. Aku mengacak rambutku kemudian menangis histeris. Bagaimana jika dia benar-benar kembali? Bagaimana jika dia mengejarku lagi seperti dulu.
"Ini aku, Sayang..."
Jeritanku semakin menjadi-jadi sampai urat nadi hampir putus. Aku tersadar bahwa dia telah kembali, menyusup di antara pelayan-pelayan yang menawarkan minuman kepada tamu. Dan salahku ... salahku mau meneguk minuman itu. Dia kembali, aku harus pergi. Tapi, ke mana? Ke mana lagi aku harus lari kala dia bisa saja menyamar jadi orang lain.
"Ms. Khan ... Ms. Khan tenanglah," ucap Mr. Jhonson meraih kedua tanganku, "Hei, Elizabeth!" tegasnya menghentikan tangisanku. "Kau aman denganku, oke."
Aku mendorongnya hingga dia hampir terjungkal. Aku menutup kedua telinga, menyembunyikan wajah di antara lutut. Wajah orang itu semakin lama semakin jelas, dan bodohnya aku, tubuh ini berhasil dia kuasai lagi.
"Aku takut. Bunuh aku, please..."
"Elizabeth..."
"Jangan sentuh aku, sialan!" pekikku menatap dirinya nyalang. "Kau adalah bencana, Mr. Jhonson ... kau adalah bencana... aku hanya ingin hidup damai, dan kau ... kau datang dan dia ... dia ..."
"What's wrong with you?" Lelaki itu mengerutkan kening. "Kau kacau, Ms. Khan. Aku akan memanggil psikiater untukmu."
Aku terdiam menahan isak tangis menatap kedua matanya. Aku yakin setelah dia memanggil psikiater, dia akan tahu bahwa aku gadis aneh dengan PTSD. Aku juga yakin setelah ini dia akan memecatku lalu mengolok di depan semua orang. Aku memang begitu menyedihkan bukan?
"Setelah kau tahu diriku, apa kau masih menyukaiku?" tanyaku padanya.
###
Aku masih meringkuk di kamar Mr. Jhonson walau pria itu sudah pergi hampir dua jam lamanya. Air mataku masih tidak mau berhenti mengetahui bahwa pria itu telah mengambil apa yang seharusnya tak diambil. Menangisi diri sendiri bahwa aku akan jatuh dalam lubang yang sama. Kenapa harus aku? Apa yang membuat mereka menginginkan tubuh kotor ini? Tidak cukupkah bahwa dulu aku sudah mendapatkan trauma seksual dan sekarang ... dia melakukannya di saat aku tidak sadarkan diri.
Menjambak rambutku sendiri, ingin rasanya bunuh diri jika tubuh ini terus-menerus dilecehkan. Aku tak pantas hidup dengan semua yang telah mereka lakukan padaku. Aku gadis paling kotor dan hina! Aku jalang!
Tok ! tok! Tok !
Suara ketukan pintu terdengar dan semakin memeluk erat kedua lututku sendiri dan merapatkan selimut yang menutupi tubuh.
"Nona?" suara lembut terdengar dari luar pintu kamar, "apa Anda baik-baik saja?"
Aku menggeleng tidak menjawab pertanyaan dan tetap pada posisiku. Kemudian pintu itu terbuka memperlihatkan seorang wanita berusia sekitar 55 tahun dengan pakaian abu-abunya yang terlihat seperti nanny . Dia tersenyum melihatku sambil melangkahkan kedua kakinya.
"Jangan mendekat!" seruku, "aku kotor. Aku hina, Nyonya!"
Wanita itu terkejut mendengar perkataanku namun dia tetap melangkah mendekatiku lalu ia berjongkok di samping kananku dengan wajah ibanya.
"Saya pengurus rumah Mr. Jhonson, Nona," katanya, "Anda sebaiknya membersihkan diri." Dia menyodorkan setelan baju kepadaku.
Aku menggeleng. "Aku hina, Nyonya. Aku ini kotor. Aku tak pantas dengan semua ini. Dia telah merusak hidupku..." racauku dengan tersedu- sedu, "aku ... arghh!!!!"
Kembali berteriak kencang sambil menjambak rambut lagi tak peduli jika pita suara putus atau rambutku rontok sekalipun. Wanita itu berusaha menghentikan kegilaan sampai kudorong tubuhnya sampai terjatuh. Kemudian, kutinggalkan dirinya ke kamar mandi dan mengunci rapat.
"Nona! Nona!" teriak wanita itu berusaha menggedor pintu.
Tak memedulikan teriakan itu seraya meringkuk di bath up milik tuan rumah lantas menyalakan shower untuk menyirami tubuh dengan air dingin. Hingga kelima kali aku tetap mengabaikan suara wanita itu hingga pada akhirnya tidak ada ketukan dan suara lagi. Kupikir mungkin dia telah pergi. Aku menelungkupkan kepala di atas kedua lutut dengan perasaan yang teramat kecewa.
"Ibu ..." lirihku, "Aku benci hidupku ..."
Baca bab lebih cepat hanya di Karyakarsa.
Tengkyuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top