Chapter 22
'It's so clear now that you are all that I have. I have no fear cause you are all that I have.'
-Snow Patrol-
Setelah puas bercengkerama di Central Park, kini lelaki itu mengajakku ke Meatpacking District untuk makan siang di salah satu restoran seafood. Andre bilang kalau dia sering kesini bersama kedua adiknya saat mereka memiliki waktu senggang. Namun, sekarang tidak, kata lelaki itu Jessica disibukkan dengan kegiatan di Universitas Harvard yang membuatnya lebih memilih tenggelam dalam tumpukan buku daripada keluar bersama dua kakak lelakinya.
Kami berjalan memasuki pasar Chelsea dan berhenti di depan sebuah restoran Cull & Pistoll. Ruangannya cukup kecil tapi terlihat sangat bersih juga nyaman. Kami duduk di kursi yang ada di sisi kiri restoran berhadapan langsung dengan beberapa pelayan yang terlihat sibuk melayani pelanggan lain. Aroma makanan memenuhi ruangan ini ditambah dentingan gelas berisi kola yang menjadi pendamping terbaik, walau sebenarnya jangan terlalu banyak meneguk soda yang bisa membunuh ginjal.
"Kau mau makan apa?" tanya Andre. "Biar kurekomendasikan." Dia mengetuk-ngetukkan jemari kanan ke dagunya sambil membaca deretan menu di restoran ini.
"Pilihkan aku yang menurutmu terbaik," pintaku.
"Two lobster roll," titahnya pada pelayan. "Key lime pie dan Harney & Sons ice tea, please."
"Sekarang sedang happy hour , Sir, tidak memesan tiram kami juga?" pelayan itu menawarkan tiram. Apakah tiram yang dia promosikan enak? Aku penasaran.
"Ah itu juga, aku pesan tiram, terima kasih."
Aku menganga mendengar pesanan Andre yang menurutku cukup banyak. Oh astaga apakah dia sedang ingin membuatku gendut? Tidakkah dia sadar kalau kami menghabiskan semua yang ada di tas pikniknya itu. Dia menoleh sambil menaikkan sebelah alis tebalnya seolah bisa membaca apa yang ada di dalam kepalaku.
"Kau itu kurus kering makanya kau harus makan yang banyak. Sudah kubilang, kau gendut itu lebih cantik, Lizzie," candanya. "Aku yakin kau sangat suka makanan di sini. Semuanya lezat, apalagi tiram di saat happy hour begini sangat murah."
"Berapa?"
"Hanya satu dolar," jawabnya terkekeh. "Jangan menganga seperti itu, kau belum tahu rasanya kan?"
Aku mencibir, Andre suka sekali membuatku jengkel. Lalu mengitari sekeliling saat restoran semakin ramai. Ada rasa tak nyaman yang mulai menggerayangi diri sampai aku menggeser tempat dudukku lebih dekat dengan meja.
"Kau tak apa? apa kita pindah tempat?" Andre menangkap gelagatku.
Aku menggeleng. "Aku tak apa, jangan membuatku terlihat lemah oke?" Aku harus belajar menghadapi keramaian ini sesulit apa pun itu kan?
Tak lama kemudian, pelayan berkepala plontos menghampiri kami sambil membawa pesanan yang membuat kedua mataku membelalak. Hidangan utamanya lobster roll bergaya connecticut dipadu irisan kentang goreng. Aku sudah mencium butter meleleh dan tumisan bawang putih membuat air liurku ingin menetes. Lalu sajian tiram di atas piring besar dihiasi serutan es batu dan potongan tipis lemon. Tak lupa pula dua gelas minuman soda.
"Ayo makan," ajak Andre,"melihatnya saja tak kan membuatmu kenyang."
Pertama, kami mencoba lobster roll, membuka cangkang kemerahan nan keras dengan tang food cracker. Daging keputihan melambai-lambai ingin segera masuk ke lambung ini membuat mulut tak sabar. Saat dia menyentuh lidah, seketika mataku membeliak merasakan betapa enaknya rekomendasi yang diberikan Andre.
Jangan lupakan mayones yang sudah berperan besar membuat cita rasa seafood ini makin juara. Perasan lemon segar dan tidak membuat saus terasa kental, seledri yang dicincang untuk sensasi renyah, sampai potongan tipis daun kucai. Semua itu pecah di lidah dalam sekali santap.
"Lezat kan?" tebak Andre yang tersenyum ke arahku seraya menopang dagunya. "Sampai kau tak bisa berkata-kata lagi."
Kali ini aku setuju, nafsu makanku seketika naik belum lagi melihat Andre yang lahap makan tiram. Jujur saja musim panas seperti ini sangat cocok menghabiskan waktu dengan sederet seafood sambil duduk menikmati angin laut. Sayangnya, kami terjebak dalam restoran kecil.
"Coba ini." Andre menyuapiku dengan satu tiram yang sudah diberi perasan lemon.
"Hm, ini sungguh lezat!" pujiku lalu mengambil tiram kedua membuat Andre tertawa.
"Apa kau mau tambah tiram lagi?" tawarnya.
Aku menggeleng sambil terkekeh. "Perjalanan kita masih panjang, Mr. Jhonson. Aku yakin kau tidak membuatku berhenti di restoran ini saja."
"Ya, apalagi bisa makan berdua denganmu," katanya tersipu.
###
Mobil Andre menyusuri jalanan di 11th Ave lalu belok kiri menuju jalan keluar Battery Park lalu lurus begitu saja sampai kami disambut oleh gedung pencakar langit. Di ujung jalan, aku lihat patung Liberty yang disinari matahari tanpa rasa takut kepanasan. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah Andre akan mengajakku ke sana? Apa yang direncanakannya?
Sesuai dugaan, kami berhenti di dermaga Battery di Lower Manhattan. Banyak pengunjung yang tengah antri untuk naik kapal yang akan mengajak mereka mengelilingi patung kebanggaan Amerika.
"Kita akan naik cruise," kata Andre berjalan cepat menuju salah satu kapal.
Wow, apakah dia menyewa atau memiliki kapal bercat putih dengan bendera Amerika yang bergerak mengikuti arah angin itu? Oke, aku tidak akan terkejut karena dia sialan kaya. Hanya saja, seberapa banyak properti yang dimiliki oleh si bos?
"Hei, apa semua sudah siap?" tanya Andre pada lelaki berambut pirang nan gondrong tengah berdiri di pintu masuk dek kapal.
"Sudah, Mr. Jhonson, kita bisa berangkat sekarang."
Andre mengangguk, menarik lenganku memasuki lebih dalam badan kapal. Lantas menaiki satu persatu anak tangga kecil untuk menuju dek atas tanpa atap dan menikmati cerahnya hari ini. Aku terdiam tenggelam dalam pikiran, mengagumi suasana dermaga kala angin membelai rambut dan kulit. Terpesona pula betapa dia bisa memiliki semua ini dengan mudah.
"Kita duduk di sini saja, kau akan melihat New York dari sisi lain," lanjut Andre sambil mendaratkan pantat di atas bangku panjang di sisi kanan atas kapal.
Mendudukkan diri di sampingnya lalu mengambil ponsel sekadar mengabadikan beberapa sudut kapal yang mulai bergerak menjauhi dermaga. Angin makin berhembus kencang mengikuti kecepatan kapal ini sampai rambutku tak beraturan. Akhirnya kuikat asal dengan karet pink dari pergelangan tangan kanan. Beruntung berkencan ehm maksudku jalan-jalan dengannya mengenakan setelan jeans dan blouse putih dan tidak perlu ketakutan angin menerbangkan bajuku. Ah, aroma laut begitu menenangkan jiwa memenuhi relung dadaku.
"Kau suka?" tanya Andre sambil menarik tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
"Akan kunilai sampai akhir perjalanan kita," jawabku mengulum senyum. "Tapi, sejauh ini lumayan."
"Lumayan?" dia mengulang itu lalu tertawa dan merengkuh bahuku serta mencium puncak kepalaku dengan sayang. "Sepertinya aku harus bekerja lebih giat lagi untuk membuatmu terkesan."
Mendadak gelenyar aneh itu muncul lagi, meningkatkan aliran darah setiap nadiku. Kali ini sensasi yang muncul bukanlah sesuatu yang akan membuatku pingsan di tempat. Ya, memang tubuhku merinding saat Andre mengelus lenganku, mendekap erat hingga mungkin aroma tubuh kami berbaur menjadi satu. Sampai aliran darah yang berdesir cepat berhenti di pipi, menimbulkan rona merah yang dirasa mengalahi warna blush on yang ada di meja rias.
Untuk kali ini, kubiarkan semburat merah itu berada di pipi seraya berpikir ulang tentang dirinya dan perasaannya padaku. Apakah sekarang saatnya aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki? Apakah aku bisa?
"Andre," panggilku.
"Ya?"
Aku terdiam menatap mata biru samudranya itu sambil menggigit bibir bawah sangat ragu untuk mengatakan bahwa hati ini mulai menyukainya. Bahkan untuk merangkai kata saja rasanya sangat susah ketika wajahnya semakin dekat denganku. Dia memiringkan kepala memandangi bibirku sampai tanpa sadar mataku terpejam untuk merasakan kembali lembut dan manis bibir itu.
Satu detik
Dua detik
Cekrek!!
Suara jepretan foto langsung membuat mataku terbuka lebar. Andre dengan tawa jahilnya, memotret wajahku dengan ponsel sialannya itu.
"K-kau?"
"Wajahmu lucu, Ms. Khan. Lihatlah pipimu merah seperti lobster tadi."
"Andre!" pekikku tak terima. Aku malu dan kesal, teganya dia sudah menghancurkan ekspektasi bahwa kami akan berciuman di atas kapal.
Perlahan kapal ini mendarat di Liberty Island di mana ikon itu sudah menjulang begitu tinggi menggapai langit tak terbatas. Karena kesal, kutingalkan dirinya menuruni anak tangga dan keluar dari area kapal. Andre memanggil, namun tak hiraukan.
"Jangan marah." Andre menggandeng tanganku setelah berpamitan kepada si kapten kapal yang bernama Robin.
Bibirku bungkam, dia perlu mendapatkan silent treatment agar tidak sembarangan mempermainkan perempuan. Kami memasuki area patung Liberty dengan beberapa burung merpati yang terbang rendah bahkan ada yang hinggap di atas rerumputan. Dia meraih ponselnya dan menyuruhku berpose diantara merpati-merpati itu. Karena sudah tidak mood, aku hanya melirik sekilas ke arahnya.
Andre menaikkan sebelah alis, kemudian menangkup wajah dan mengecup bibirku. Debaran di dada mendadak menggema dan berbunga-bunga seperti pelangi yang menyinari setelah hujan lebat. "Kau merajuk karena aku tidak menciummu?"
"Bukan!"
"Nyatanya begitu," bisiknya. "Berdiri di sana, aku akan memfotomu."
Sial! Kenapa kekesalanku mendadak hilang seperti uap? Malah bibirku mengembang tanpa diperintah. Kakiku pun sama, seperti takluk dengan ucapan si pria kopi setelah bibir ini mendapat kecupan singkat. Aku berdiri di antara puluhan merpati, berpose malu-malu di depannya. Setelah mengambil beberapa sudut untuk difoto, dia berlari ke arahku lalu kami selfie berdua dengan merpati yang berterbangan membuatku berteriak.
Setelah puas selfie, kami membeli tiket untuk bisa naik ke menara Liberti kemudian masuk ke dalam lift yang cukup ramai. Seketika tubuhku tegang jika melihat kotak besi itu, rasanya seperti udara di sana tidak akan tersisa sedikit pun. Aku bergerak mundur, apalagi mereka yang berdiri di sana menatapku aneh.
"Jangan takut," bisik Andre menahan tubuhku dari belakang. "Aku akan bersamamu."
Dia kembali menggenggam tanganku, masuk ke dalam lift. orang-orang di sana memberi kami sedikit ruang saat lelaki di sampingku ini memilih sudut belakang sisi kiri lift. Dia membentengi diriku dengan kedua lengan kokohnya agar aku merasa aman. Tapi, di posisi ini aku sama sekali tidak berani mendongak. Embusan napas Andre sangat dekat menerpa kulit wajahku, kalau aku menengadah otomatis kami...
Dia menarik daguku dengan sebelah tangannya, iris mata kami bertemu dan bisa kulihat pantulan wajahku yang tersipu di sana. Aku menelan ludah karena detak jantung sudah berpacu begitu cepat sampai tak sadar meremas tas selempang. Detik berikutnya, bibirnya menyapu bibirku kembali, meledakkan getaran dalam dada sampai tangan kiriku memukul dada bidangnya.
"Jangan mengambil kesempatan," cetusku salah tingkah.
Andre tak sempat menjawab kala pintu lift terbuka. Kami berdua keluar paling terakhir setelah orang-orang yang saling berdesakan ini berhamburan. Tak banyak kata yang bisa diucapkan ketika aku berdiri di atas menara ikonik Amerika dengan pemandangan yang sangat menakjubkan.
"Bagaimana?" tanya Andre merangkul dari belakang.
"Lumayan."
####
Pendar sang surya mulai memudar berganti dengn sinar rembulan yang bercahaya walau suhu udara tidak akan turun selama musim panas. Di akhir perjalanan yang menyenangkan ini, kami berdua duduk di sebuah bangku Brooklyn Park seraya menikmati indahnya jembatan terkenal yang melintasi sungai East. Cahaya lampu yang menghiasi jembatan Brooklyn berlatar langit biru keunguan membuat suasana makin romantis meskipun deru mesin mobil yang melintas di atas jembatan cukup berisik.
"Ini." Andre datang dari belakang sambil menyerahkan latte panas lalu dia duduk di sampingku. "Aku tidak pernah jalan-jalan seperti ini."
"Benarkah?" selidikku menyesap kuat aroma latte yang bisa merilekskan pikiran.
Dia mengangguk. "Tidak pernah sebahagia dan sebebas ini selama ... mungkin 23 tahun hidupku," tambahnya.
"Sebenarnya berapa usiamu sekarang hingga kau mengatakan 23 tahun hidupmu tidak merasa bebas seperti sekarang?"
"Haruskah? Nanti kau terkejut."
Aku mendengkus kesal seraya menyesap pelan latte.
"36 tahun sebenarnya," katanya santai namun hal itu membuatku berhasil menyemburkan latte.
"Kau tua?" pekikku lalu menggeser tubuh agak menjauh darinya. "Aku merasa jalan berdua dengan pamanku sendiri."
"Hahahaha ... apakah aku setua itu bagimu?"
Aku meringis, tentu saja benar bukan? Usiaku saja baru menginjak 22 tahun lebih enam bulan. Sementara dia 36 tahun, bisa kau bayangkan saat aku lahir Andre sudah SMA. Perbedaan sangat mencolok antara kami dan kusadari kerutan di keningnya bukan karena dia pemikir keras melainkan usia yang akan menginjak 40 tahun. Selama ini aku bersikap terlalu kasar padanya, haruskah aku meminta maaf sekarang?
Sayang, otakku mendadak lumpuh kala dia mendekat, mengunci iris matanya kepadaku dengan seringai tipis nan menggoda.
"Kau tahu Ms. Khan? Pria tua ini sedang jatuh cinta padamu," bisiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top