Chapter 1
"You never know when you gonna meet someone" –Daughtry-
Gainesville, Florida
June, 2016
Tarik napas ... embuskan ... tarik napas ... embuskan ...
Apa kalian memiliki ritual khusus di pagi hari? Jika ya, apakah kita memiliki hal yang sama? Kata orang, ini salah satu hal efektif yang bisa membangkitkan aura positif terutama menyambut hari yang paling dibenci orang sedunia. Senin. Yeah, hari di mana aku bukanlah seorang mahasiswa yang bergelut dengan segudang jurnal dan harus berlama-lama di perpustakaan.
Selain itu, senang rasanya perjalanan hidupku kini berubah lebih baik daripada 14 tahun lalu. Walau harus melewati berbagai duri yang bisa menginfeksi kaki, nyatanya atas usaha ibu dan psikiater kepercayaannya, aku bisa keluar dari lubang hitam itu. Tak perlu memiliki banyak teman untuk bisa menjadi diri sendiri, dikala ada satu perempuan gila yang kini menjadi roommate abadi.
"Aku Emilia Hall," sapa seorang gadis berambut blonde sambil mengulurkan sebelah tangannya, mendapatiku duduk menyendiri di sudut gedung aula penerimaan mahasiswa baru."Kenapa kau sendirian? Kenapa tidak bergabung dengan mereka?"
Aku mengangkat kedua bahu tanpa membalas uluran tangan dengan cat kuku merah menyala.
"Kau daftar jurusan apa? Oh ... salah ... siapa namamu?" tanya Emilia antusias tanpa merasa tersinggung atas sikap dinginku padanya.
"Elizabeth Khan, jurusan manajemen administrasi bisnis."
"Aku jurusan jurnalistik, hebat bukan? Kau akan melihatku di televisi empat tahun lagi, teman," ucap Emilia bangga seperti api unggun yang berkorbar di tengah gelapnya hutan. "Bagaimana jika kita menjadi roommate? Aku sudah mendapatkan kamar bagus dan cocok untuk kita berdua. Kau pasti belum mendapatkan kamar 'kan?
Aku menganga bahkan sebelum membalas kalimatnya, gadis penuh semangat itu sudah menarikku menuju apartemen dekat kampus.
Aku tersenyum sambil memandangi apartemen yang kami tinggali hampir empat tahun lamanya. Meski beda jurusan, dia selalu menghampiriku di kelas saat jam makan siang hanya untuk menanyakan bagaimana kabar atau apakah aku sudah menyelesaikan essai bak kekasih yang menaruh perhatian lebih. Padahal, selama ini aku selalu menanggapinya judes untuk membatasi jarak dengan banyak orang. Namun, perlahan tapi pasti Emilia tak pernah menyerah untuk menunjukkan bahwa dirinya pantas untuk disebut sebagai seorang teman.
"Kau teman yang baik, Em," pujiku ketika dia mengerjakan tugas akhirku yang tertunda akibat demam menyebalkan selama empat hari.
"Itu gunanya memiliki seorang teman, Lizzie. Jika kau butuh apa pun kau bisa panggil wonder woman-mu ini. Tidurlah dan mimpikan aku bersama Robert Pattinson."
"Sinting!"
Jika ditilik, banyak orang yang memanggil kami sebagai pasangan lesbian terromantis. Hell! Walau memiliki trauma masa kecil, aku juga tidak akan menyalahi kodrat yang diberi Tuhan. Hakikatnya perempuan adalah untuk laki-laki, begitu juga sebaliknya. Ibarat kutub negatif bertemu dengan kutub negatif, mereka akan tolak-menolak bukan? Tapi, aku juga tidak ingin menjustifikasi manusia yang memilih untuk menyukai sesama jenis. Kita hidup di negara liberal yang menjunjung kebebasan termasuk masalah seksual walau kadang masalah agama masih menjadi hal yang rasis.
Sebaik-baiknya persahabatan kami, ada satu hal yang tidak bisa kuceritakan pada gadis itu. Entah mengapa, rasanya memalukan jika ada orang lain yang tahu bahwa aku adalah korban pelecehan seksual yang mengalami PTSD. Terutama luka sayatan yang berubah menjadi keloid tipis di tulang selangka kiri. Kadang ada ketakutan sendiri, bahwa Emilia akan meninggalkanku dan melabeli diri ini sebagai perempuan pelacur.
Ah! Kenapa kau berkata seperti itu, Lizzie!
Hari yang sibuk untuk mengemasi barang-barang sebelum pindah ke apartemen baru yang letaknya dekat dengan kantor. Tak afdal jika mengepak barang tanpa mendengarkan alunan musik milik Daughtry yang menjadi favorit semenjak high school. Ciri khas suara Chris sang vokalis dan petikan gitarnya membuatku jatuh cinta pada setiap lagu yang dinyayikan. Tak berapa lama, gawai yang sedang asyik memutar musik itu berhenti sejenak kala sebuah pesan teks masuk. Kuraih benda kotak yang dibalut case biru, mendapati nama Emilia mengirimi pesan yang cukup panjang.
From : Emilia
Minggu pagi aku akan pulang subuh dan langsung ke apartemen baru kita. Bisakah kau mengemasi barangku juga? Tidak banyak yang dikemas, hanya baju di lemari saja yang kau masukkan ke kardus. Sisanya sudah aku kemasi sejak wisuda kemarin. Hehehe...big thanks sista
Setelah membalas pesannya dengan kata 'Ók', giliran panggilan masuk dari ibu. Ah, hariku akan begitu sibuk seperti presiden.
"Hei, Lizzie. Apa kau sibuk?"
"Well ... lumayan untuk seorang yang akan menjadi karyawan. Apa Mom benar-benar tidak bisa datang ke apartemen baru di New York? Makan malam misalnya?"
Aku sungguh berharap bahwa ibuku yang super sibuk dengan keluarga barunya bisa menyisihkan waktu sejenak. Bahkan saat wisuda kemarin, dia langsung kembali ke Jacksonville setelah mendapat kabar adik tiriku--Lily--mengalami patah tulang di kaki kanan setelah jatuh dari pohon. Entah alasan apalagi jika ibu menolak permintaan anak tertuanya.
"Maafkan aku, Sayang."
Sudah kuduga!
"Kau tahu, bahwa adikmu masih perlu menjalani perawatan pasca operasi patah tulang, bukan?Bagaimana jika Daddy-mu yang datang? Aku akan memasak makanan kesukaan kalian seperti hari Natal tahun kemarin."
Yang kuingat hari Natal tahun kemarin adalah ibu terlalu banyak memasak La Vigilia--hidangan dari tujuh jenis ikan dari Italia. Akibatnya, aku menderita gatal-gatal karena terlalu banyak mengomsumsi udang dan cumi bersamaan. Jika ibu memasak itu lagi, dipastikan ruam itu akan datang tanpa permisi.
"Lizzie?" panggil ibu membuyarkan bayanganku tentang tujuh jenis ikan yang melambai-lambai di depan mata. "Kau masih di sana, Sayang? Kau mau kan diantar oleh Daddy-mu?" tanyanya sekali lagi.
"Will?" Aku berpikir sebentar. "Baiklah."
"Apakah tidak apa -apa? Aku tahu dari nada bicaramu kau terlihat kesal."
Tentu saja!
Jika ibu tahu aku enggan dengan laki-laki, kenapa dia masih saja menyuruh Will untuk hadir jika kedatangannya menjadi beban? Demi Tuhan, kenapa juga ibu suka sekali mengikat lelaki dalam pernikahan sampai ketiga kalinya? Tidak kapokkah dia dengan suami kedua yang lebih cocok disebut bajingan?
"Aku bilang tidak apa-apa, jangan membuatku berubah pikiran."
"Baiklah, jam berapa kau akan berangkat? Aku akan menyampaikannya pada Daddy."
"Jam sepuluh."
####
Pukul sembilan pagi, petugas pengangkut barang sudah memindahkan tumpukan kardus berisi untuk dikirim langsung ke New York. Dad maksudku William sudah datang sejak dua jam lalu dan memilih berdiri seperti manusia tak berguna. Aku tak banyak bicara pada William jika dia tidak mengajak bicara dulu. Mungkin kalian akan mengejekku 'betapa tidak sopannya dirimu Lizzie!'
Oh come on... Lelaki mana yang bisa dipercaya di dunia ini? Coba sebutkan satu saja. Tidak ada bukan? Mereka hanyalah manusia yang sangat suka menghancurkan hati perempuan tanpa ampun. Kalau pun ada, aku akan mencium kakinya dan bertekuk lutut seperti seorang budak.
Ketika dalam posisi canggung ini, berarti tugas jemariku harus sibuk membuka aplikasi ponsel sekadar mengalihkan pikiran. Sesekali melirik lelaki paruh baya dengan kemeja flanel tua yang melihat lalu lalang petugas pengangkut barang. Setelah barang terakhir diangkut, barulah aku merasa dia memberanikan diri mendekatiku.
"Jadi mulai kapan kau akan bekerja di New York ?" tanya William.
"Kukira mom sudah menjelaskannya padamu, Will," jawabku ketus seraya memasukkan ponsel ke saku celana belakang.
William hanya mengangguk, menggaruk tengkuknya seperti kena skakmat.
"Ah, antarkan aku ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan nanti. Selain itu, mom belum mengirimkan uang ke kartu debitku. Kau bawa kartu kreditmu, kan?"
"Apapun untukmu akan kulakukan. Aku bisa membelikan semuanya untukmu, tapi bisakah kau menghilangkan suasana yang canggung ini? Dan jangan jaga jarak kepadaku, please! Aku tetap Daddy-mu, Elizabeth!" tegas Willian terdengar kesal.
Mendengar perkataan William,seketika mood-ku berubah. Aku sungguh tidak menyukai suasana seperti ini. Dia selalu saja memulai segalanya dengan menegaskan bahwa dialah ayahku yang harusnya disayangi seperti George. Tidak! Tidak ada yang bisa menggantikan dirinya di dunia ini.
"Jangan memulai Will, kau memang Daddy-ku setidaknya bisa disebut seperti itu," sambarku tak takut. "Asal kau tahu, aku tidak suka pada semua laki-laki yang menjadi suami ibuku selain ayah kandungku sendiri!"
Aku menghentikan langkah saat berada di ujung pintu lalu membalikkan badan menatap William sinis, "Dan terima kasih atas uang yang nanti kau keluarkan untukku. Aku akan membayarnya kembali."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top