TRAGEDI MEMBAWA BERKAH

Pekikan para penumpang ramai memenuhi kapal itu, semua penumpang menjadi takut dan suasana di sana pun tegang. Wajah tampannya tampak cemas dan derap kaki berat melangkah lebar. Teriakan wanita itu membuatnya kalang kabut saat kapal bersandar terlalu keras sehingga kapal mental karena dapra bantalan yang dipasang pada lambung kapal terbentur kencang dengan tembok dermaga. Di galley Lyana tersungkur sedangkan kuah sayur tumpah mengguyurnya hingga air berbumbu itu beserta sayurannya memenuhi lantai.

"Lyana!!!" pekik Syahrul yang kebetulan sedang membersihkan ruang makan.

Lyana memegangi kakinya meringis kesakitan. Al tiba di galley dan dengan sigap mengangkat tubuhnya.

"Bereskan yang tumpah, Syahrul!!!" titah Al. "Didik!!! Lihat keadaan lambung yang terbentur!!!" pekik Al mengeraskan rahangnya seraya membopong Lyana yang sudah menangis sesenggukan.

"Siap, Kap!!!" Didik berlari ke sisi kapal yang terbentur dengan tembok dermaga.

"Kap, kenapa dia?" tanya Galuh kebetulan saja baru naik dari kamar mesin.

"Luh, tolong singkirkan penumpang yang di sana!" pinta Al menunjuk dengan dagunya orang-orang yang berdiri di depan tangga jalan menuju kabin.

"Periiiih...," rengek Lyana menangis sesenggukan mendekap leher Al erat.

"Iya, sabar."

Galuh mencarikan jalan agar Al dapat mudah lewat menggendong Lyana. Galuh melihat celana Lyana basah dan kakinya memerah. Sudah dapat Galuh pastikan, Lyana tersiram air panas, mengingat benturan tadi cukup keras.

"Kap, aku ambilkan P3K dulu," ujar Galuh setelah membantu Al membuka pintu galley.

Galuh berlari ke anjungan mencari kotak P3K. Di sana ada Fajar dengan wajahnya yang sudah mengeras dan Indah yang sedang tegang menundukkan kepalanya. Farid duduk di depan roda kemudi dan Fai duduk di depan alat pengendali mesin.

"Cari apa kamu, Luh?" tanya Fajar datar.

"Kotak P3K, Chief. Si koki kecelakaan," jelas Galuh mengambil kotak P3K-nya.

"Kecelakaan bagaimana?" tanya Fai terkejut menegakkan tubuhnya.

"Nggak tahu juga sih bagaimana kejadiannya. Tapi pas aku naik dari kamar masin, sudah lihat Kapten menggendong koki. Celananya basah, terus kakinya merah, sepertinya ketumpahan air panas deh," jelas Galuh, semua yang ada di sana menatap Indah.

Fajar menghela napas dalam, sudah dapat dipastikan setelah ini semua akan disidang nahkoda. Belum lagi jika ada kerusakan dengan dermaga, bisa-bisa kantor harus ganti rugi.

"Ya sudah, sana buruan diobati!" titah Fajar.

"Baik, Chief."

Galuh pun melangkah lebar ke kamar Lyana. Dia melihat Lyana berbaring di tempat tidur menangis memeluk Al yang duduk di sampingnya.

"Jangan pergi, nggak mau sendiri," rengek Lyana manja.

"Iya."

"Permisi, Kap." Galuh mengetuk pintunya.

"Masuk, Luh," sahut Al.

Galuh masuk, meletakkan kotak P3K-nya di samping Lyana.

"Luh, tolong temani di---"

"Nggak mau!!!!" sentak Lyana sebelum Al menyelesaikan ucapannya.

"Sebentar, aku lihat keadaan di anjungan dulu," ujar Al berusaha melepaskan tangan Lyana dari lehernya, namun Lyana enggan melepaskannya. "Jangan manja, aku lagi tugas." Al berbisik kecil di telinga Lyana.

"Iya Ly, biar Kapten lihat keadaan di anjungan dulu. Aku bantu kamu bersihin ini dulu ya?" Galuh duduk di samping Lyana mengambil sayuran yang masih menempel di celananya.

"Sebentar ya?" Al melepas tangan Lyana, meski tak rela namun dia tetap melepaskan Al.

Lyana masih terisak-isak, apalagi dia merasa paha sampai di kakinya panas dan perih. Al mengelus kepalanya, sedih melihat gadis yang dia cintai sampai menahan sakit seperti itu.

"Luh, aku tinggal dulu ya? Nanti aku kembali lagi," pamit Al menepuk bahu Galuh.

"Iya, Kap."

Al keluar dari kamar Lyana, matanya menajam dan wajahnya mengeras.

"Kamu tahu nggak, biarpun kamu yang menabrakkan kapal ini ke dermaga, tetap saja yang bertanggung jawab nanti Kapten. Kita itu di sini membantu Kapten bekerja, apa pun yang terjadi di atas kapal ini semua menjadi tanggung jawab Kapten. Mau departemen deck, mesin, semuanya Kapten yang menanggung. Biarpun bukan dia yang melakukannya!!!" bentak Fajar menunjuk-nunjuk Indah yang hanya menunduk.

"Chief, sandarkan saja dulu kapalnya," sela Fai mengingat harusnya kapal ini sudah sandar dari beberapa menit yang lalu.

Al masuk ke anjungan tanpa berucap apa pun. Dia langsung mengambil HT dan mengambil alih tugas perwira untuk mengomando kapal sandar.

Meskipun dalam hati dia emosi dan dongkol, namun Al tetap harus profesional. Suasana di anjungan tegang, apalagi awak kapal yang sudah lama bekerja dengan Al. Pasti sudah dapat menghafal, kalau Al diam tidak menyapa mereka itu tandanya nahkodanya itu sedang marah. Semua tak berani bertanya dan hanya diam melakukan tugasnya. Indah yang menciptakan keadaan itu, hanya dapat meratapi kesalahannya. Akhirnya dengan hitungan menit, kapal pun sandar.

"Kap," cegah Fajar ketika Al keluar dari anjungan begitu saja tanpa berucap apa pun.

Fajar menghela napas dalam dan menggelengkan kepalanya. Setelah beberapa menit, dari anjungan dia melihat Al sudah di bawah mengobrol dengan petugas pelabuhan dan orang kantor. Al benar-benar pemimpin yang bertanggung jawab dan kerjanya pun cepat. Semua masalah dia hadapi sendiri walaupun memang itu sudah tanggung jawabnya.

"Lain kali kamu harus lebih hati-hati. Aku bisa memakluminya, karena ini kali pertama kamu mengomando sandar di pelabuhan Padang Bai. Tapi lain kali kalau memang kamu tidak bisa, tolong minta bantuan ke perwira deck yang lain. Kamu bisa memanggilku atau Lukman," nasihat Fajar meredakan emosinya supaya kejadian ini tak terulang kembali.

"Baik, Chief. Maaf," ucapnya menyesal.

"Ya sudah, memang setiap pelabuhan dan laut itu tidak sama. Kamu harus pintar-pintar membaca arah angin dan kenali ombak sebelum menyadarkan kapal. Kasihan tuh Kapten Al!" tunjuk Fajar agar Indah dapat melihat ke bawah.

"Iya Chief."

Setelah menyelesaikan urusannya, Al pun kembali ke anjungan.

"Bagaimana, Kap?" tanya Fajar yang langsung menyambut kedatangannya dengan pertanyaan.

"Sudahlah, nggak ada kerusakan di dermaga maupun kapal. Hanya Lyana yang jadi korban," ujar Al mengusap wajahnya lelah.

Biarpun Al berucap seperti itu, Fajar tak akan percaya begitu saja. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan, namun dia diam menghormati Al yang tak pernah mengeluh dengan masalah yang sedang dia hadapi, meski itu menyangkut keadaan kapal.

"Ya sudah Chief, kamu bisa ke car deck. Tolong awasi muatannya ya?" titah Al.

"Baik, Kap."

Semua pun keluar dari anjungan kecuali Firman yang bergantian dengan Farid bertugas dinas jaga. Dia memegangi HT dan mengawasi klino meter. Klino meter adalah suatu alat yang digunakan untuk mengetahui keseimbangan atau kemiringan kapal saat muat bongkar kapal. Sedangkan Al pergi melihat keadaan Lyana.

"Kok belum ganti celananya?" tanya Al melihat kondisi Lyana masih basah.

"Masa iya Kap, aku yang gantiin," ujar Galuh masih setia menemani Lyana.

"Bukan begitu, Luh. Kalau basah begitu dia bisa sakit nanti."

Al membuka lemari Lyana, dia melihat pakaian dalam Lyana, bibirnya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Dia menarik satu stel pakaian untuk Lyana ganti.

"Ganti baju sendiri bisa kan? Pelan-pelan saja." Al memberikan pakaiannya.

"Tapi paha aku, sama kaki aku perih," rengek Lyana meringis kesakitan.

"Ditahan sebentar, Ly. Aku ambilkan air dingin dulu, terus kamu bersihin deh kulit kamu yang kena air panas itu. Iya kan, Kap?" tanya Galuh meminta persetujuan Al.

Al mengangguk, lantas Galuh keluar mengambil air untuk Lyana.

"Ayo, bangun." Al membantunya duduk dan menutup tubuhnya dengan selimut. "Buka baju kamu," titah Al.

"Nggak mau! Masa buka baju di depan kamu," tolak Lyana mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya.

"Nggak akan lihat juga, kan ketutupan selimut."

"Nggak mau!!! Sudah sana!!! Keluar dulu!!!" usir Lyana.

"Iya." Al pun keluar menunggu di depan kamar.

"Loh ini airnya bagaimana?" tanya Galuh datang membawa ember berukuran sedang berisi air bersih.

"Tunggu sebentar, lagi ganti baju."

Mereka berdua menunggu di depan kamar, Galuh tersenyum bangga melihat Al. Walaupun dia masih muda, tapi tanggung jawabnya kepada awak kapal tinggi. Tak pernah dia beda-bedakan, hanya saja, Galuh menaruh curiga ketika Lyana tadi tak mau melepas pelukannya dari Al. Tapi dia menepisnya jauh-jauh, tak ingin berburuk sangka dengan nahkodanya. Mungkin saja, jika Galuh di posisi Al, dia juga akan melakukan hal yang sama sepertinya.

"Sudah!!!" pekik Lyana.

Al membuka pintunya, galuh masuk lebih dulu dan meletakkan embernya di lantai.

"Ly, nih!" Galuh memberikan handuk kecil yang sudah dibasahi agar Lyana membersihkan lukanya sendiri.

Al memerhatikan Lyana yang meringis seraya mengelap kakinya yang merah.

"Dari tadi belum kamu olesi salep, Luh?" tanya Al heran karena dia melihat kulit kaki Lyana masih merah dan kering. Al membuka selimut yang menutupi paha Lyana. Celana pendek di atas lutut mengekspose pahanya yang merah.

Galuh menyengir dan menggeleng seraya menjawab, "Belum, Kap. Soalnya bingung mau mengobati dia bagaimana."

Al menghela napasnya dalam, dan kembali menutup paha Lyana dengan selimut. Dia duduk di samping Lyana, membuka kotak P3K dan mencari salep untuk luka bakar.

"Yaaaah..., tinggal dikit Luh," keluh Al.

"Sebentar, telepon orang kantor biar dibelikan." Galuh langsung merogoh ponselnya dan keluar dari kamar menelepon seseorang.

Lyana memerhatikan wajah Al yang serius mengoleskan salep di kakinya.

"Yang di paha olesi sendiri ya? Takut khilaf," ujar Al.

Lyana terkekeh. "Iya, makasih," ucapnya bahagia. "Kap, bagaimana makan malamnya nanti? Kuahnya tumpah semua," tanya Lyana sedih.

"Jangan pikirkan itu dulu, sudahlah. Pasti semua bakalan mengerti kok," jawab Al mengelap tangannya dengan tisu.

Tuk tuk tuk

Ketukan pintu terdengar, Al menoleh.

"Masuk Rul," perintah Al melihat Syahrul datang.

"Ly, gimana keadaanmu?" tanya Syahrul berlutut di samping tempat tidur Lyana.

"Masih panas dan perih, Peng. Gimana buat makan malamnya? Aku jadi kepikiran."

"Kamu jangan pikiran itu dulu, Ly. Tadi kan kamu sudah bikin ayam bumbu bali, jadi kalau dimakan nggak sama sayur pun masih bisa. Benar kan, Kap?"

Al mengangguk menyetujui ucapan Syahrul.

"Bukan begitu, Peng. Kan kasihan kalau makan cuma sama itu saja. Seharian lelah bekerja, masa sih cuma makan sama ayam bumbu bali?" ujar Lyana merasa bersalah.

Belum juga Syahrul menjawab, Fajar masuk bersama Fai.

"Gimana, Ly?" tanya Fajar.

Al beranjak dari tempat tidur, dia mundur berdiri di belakang Syahrul.

"Masih panas, Chief. Rasanya perih."

Lyana mengipas-ngipaskan tangannya di kakinya dan meniup-niup, agar rasa panas dan perihnya dapat sedikit reda.

"Tadi harusnya langsung dibawa turun, Kap. Biar langsung dibawa ke klinik," ujar Fai tak tega melihat luka di kaki Lyana.

"Mau langsung bawa turun bagaimana, Bass? Posisi kapal kan belum sandar, kita juga sibuk semua," sahut Fajar menoleh ke belakangnya.

"Oh iya ya? Lupa." Fai meringis mengangkat dua jarinya membentuk huruf V tanda berdamai.

"Besok saja kalau kapal sudah angker, biar orang kantor mengajaknya berobat ke klinik Lembar. Sekarang kita rawat seadanya dulu," sela Al.

"Iya, Kap," jawab mereka serentak.

Indah masuk ke dalam kamar, dia mendekat dan melihat keadaan Lyana. Hatinya merasa bersalah, ini terjadi atas kecerobohannya.

"Oh iya Chief, Bass, kalau nanti ada yang komplen gara-gara makan malam nggak ada sayur, jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi ya," pesan Al melirik Indah yang sedari tadi menatap Lyana.

Lyana melirik Al dan mencebikkan bibirnya. Dia menggandeng tangan Al, seolah dia berkomunikasi melalui sentuhan itu.

"Kenapa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Al agar tak menimbulkan kecurigaan.

"Boleh nggak pinjam kipas angin yang dulu pernah aku pinjam? Cape ngipas-ngipas begini terus," ujar Lyana polos menciptakan tawa di kamar itu.

Semua sudah tak heran lagi jika Lyana berani manja dan meminta kepada Al. Bagi mereka, itu sudah menjadi rahasia umum.

"Ya Allah, Ly. Bisa-bisanya kamu begitu sama Kapten," cibir Syahrul diiringi kikihannya.

"Cape tahu, Peng. Coba kamu yang gantian kipas-kipas di kakiku."

"Emoh!" tolak Syahrul langsung berdiri.

Al hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Tolong ambilkan kipas di kamarku, Rul," titah Al.

"Siap, Kap!" tanpa membantah Syahrul pun keluar.

"Ya sudah, Kap, aku keluar dulu ya? Habis jaga cape," pamit Fai.

"Ya," jawab Al datar.

"Aku juga ya, Kap," timpal Fajar diangguki kepala oleh Al.

Indah beralih berdiri di sebelah tempat tidur. Sedangkan Al duduk di samping Lyana.

"Kamu tidur saja dulu. Istirahat," perintah Al.

Lyana menahan tangannya dan menatapnya nanar.

"Kamu nggak jadi pergi kan?" Suara Lyana parau.

Al menghela napas dalam dan melirik Indah. Lyana paham maksud Al, dia lantas melepaskan tangannya.

"Third, tolong temani dia. Aku keluar dulu." Al mengelus kening Lyana sebentar lalu berdiri meninggalkan kamar itu.

Tak berapa lama Syahrul datang membawa kipas dan Galuh datang membawa salep. Meskipun banyak yang memerhatikannya, tapi hati Lyana tetap saja sedih. Meskipun semua ABK merawatnya, tak akan ada pengaruhnya jika Al tetap akan pergi.

***

Perasaan Lyana risau tak tenang, sampai malam tiba, Al tak lagi masuk ke kamarnya. Indah juga sudah kembali berdinas jaga, tinggallah Lyana sendiri di kamar itu. Hingga larut malam, dia tak bisa tidur. Kapal sudah kembali lagi ke Padang Bai, namun Al tak terlihat batang hidungnya. Ketika dia sedang menangis meratapi kesendiriannya, sebuah WhatsAap masuk. Lyana membukanya meski matanya berderai air mata. Matanya menyipit dan dahinya berkerut saat membaca pesan masuk.

Jangan bergadang, tidurlah. Aku sedang sibuk, jangan menunggku. Ada yang harus aku selesaikan dan urus.

Senyum terukir di bibirnya ketika dia menyadari nama pengirim pesan itu.

"My Captain," gumam Lyana tersenyum lebar. "Perasaan aku nggak pernah menyimpan nomor dia deh. Kenapa tiba-tiba ada nomor dia dan namanya my captain?" Lyana heran lantas membalas pesan kepada Al.

Nggak bisa tidur sebelum lihat kamu.

Lyana terkekeh kecil. Tak ada lagi balasan, namun pesan terbaca. Dia menunggu, tetap tak ada balasan. Pintu kamar terbuka, Lyana menoleh, ternyata Al yang membuka. Tanpa dia masuk, Al tersenyum.

"Tidurlah, ini sudah jam 3, hampir subuh," perintah Al.

"Kamu sibuk apa sih?" bukannya menghiraukan perintah Al, Lyana malah balik bertanya.

"Masalah tadi sore yang menyebabkan kaki kamu seperti itu. Sudah, bobo ya? Good night. Kapal sebentar lagi berangkat ke Lembar."

"Iya," jawab Lyana tersenyum manis, lantas berbaring nyaman. Al kembali menutup pintunya.

Hanya dengan begitu saja perasaan Lyana sudah dapat tenang dan kini dia dapat tertidur lelap.

Begitulah jika sedang jatuh cinta, sebelum mengetahui kabarnya, hati akan terus gelisah. Namun, ketika sudah mendengar dia baik-baik saja, hati akan terasa damai, apalagi dapat menatap wajahnya, hati berasa plong tanpa merasa ada beban.

########

Memang, kalau lagi jatuh cinta maunya melihatnya terus. Iya nggak? Wkwkkwkwkwk lol

Terima kasih ya untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top