KEBAHAGIAAN TIADA TARA
Lyana hingga malam tiba tak mau ke luar kamar. Keluarga Al sudah berdiskusi dengan keluarganya mengenai pernikahan mereka. Namun yang dilamar masih enggan untuk membuka pintu. Hingga mencapai kesepakatan bersama, Al pun menanyakan keadaan Lyana.
"Masih ngambek, Om?" tanya Al ketika mereka sudah berbincang santai.
"Iya, masih mengira orang lain yang datang. Bujuk dia gih!" titah Jaya.
Al merogoh ponselnya di saku celana berniat akan menelepon Lyana.
"Mau ngapain kamu?" tanya Jaya.
"Mau bujuk dia keluar, Om," jawab Al.
"Satu atap begini teleponan. Di sini rumah, bukan kapal. Sana naik ke atas! Kalau denger suara kamu, sudah pasti dibuka pintunya," titah Jaya seraya mengangkat cangkir tehnya.
Al tersenyum sungkan dan menggaruk tengkuknya.
"Awas!!! Tahan dulu!" sela Frank ketika Al beranjak dari sofa.
Semua terkekeh apalagi Jaya, dia menepuk punggung Al pelan.
"Makanya besok langsung bawa ke sini data diri kamu. Biar Om langsung daftar ke KUA. Was-was juga, anak zaman sekarang kan suka main kucing-kucingan," ujar Jaya.
Al langsung melirik Frank, yang dilirik hanya mengulum bibir seolah mengoloknya.
'Mampus kau, Al!!! Semoga nggak ketahuan,' batin Frank menyeringai ke arah Al.
Al hanya tersenyum lantas pergi ke kamar Lyana. Dia naik ke lantai dua dan berhenti di pintu bercat putih, ada stiker jangkar serta nama di sana. Sudah dapat Al pastikan itu adalah kamarnya.
Tuk tuk tuk
Al mengetuk pintunya.
"Ma!!! Ana nggak mau keluar kalau yang ngelamar orang lain. Ana nunggu Kak Al!!!" pekik Lyana dari dalam, dia kira yang mengetuk pintu adalah Wulan.
Tuk tuk tuk
Lagi-lagi Al mengetuk pintunya tanpa bersuara.
"MAMA!!! BILANGIN SAMA MEREKA SURUH PULANG! AKU MENOLAK LAMARANNYA!!!" pekik Lyana, Al mengulum bibirnya.
"Yakin? Menolak lamaranku?" tanya Al disertai kikihannya.
Lyana langsung beranjak dari tempat tidurnya lantas tergesa-gesa berlari membuka pintu kamar. Melihat Al yang berdiri di depan kamarnya, Lyana langsung memeluk dan mencium bibirnya serta memanggutnya. Al menarik tubuh Lyana dan menoleh ke bawah, takut jika Jaya atau yang lain melihatnya.
"Jangan asal, ini di rumah kamu," tegur Al.
"Biarin!" ucap Lyana memeluk Al. "Bawa aku pergi," pintanya manja dan lirih di dalam pelukan Al.
"Ke mana?" Al membalas pelukannya dan mengelus rambut Lyana.
"Ke mana saja, asal sama kamu."
"Yakin?"
"Heem. Yakin!"
"Sabar, setelah kita menikah," ujar Al menegakkan wajah Lyana. "Kita akan segera menikah," ucap Al lembut.
Lyana melongo dan bergeming. Tangannya yang melingkar di pinggang Al perlahan lemas.
"Kamu nggak bohong kan?" tanya Lyana.
"Nggak Cimut, dari awal memang aku yang akan melamar kamu. Maaf sempat ragu karena aku takut kamu akan ikut hidup susah sebelum urusanku selesai," ucap Al mengelus bibirnya lembut menggunakan ibu jarinya.
Lyana kembali memeluk Al dan menumpahkan tangis bahagianya.
"Kenapa nggak bilang dari awal? Kamu ngeselin!" Lyana memukul-mukul dada Al seraya menelungkupkan wajahnya di dadanya.
Al menahan tangan Lyana agar berhenti memukulnya.
"Maaf, sejak kita masih di Lombok dulu, aku sudah sering berkomunikasi sama papa kamu. Dia memantau kamu melalui aku, sejak aku merasa jatuh hati sama kamu, aku beranikan diri meminta kamu langsung kepada papamu. Walaupun kami belum pernah bertemu, tapi papa kamu langsung menerimaku sebelum kamu menjawab cintaku," jelas Al mengejutkan Lyana.
Lyana mendongakkan wajahnya yang bahas air mata.
"Jadi yang dimaksud Papa ada cowok yang mau melamar aku, itu kamu? Dan bodohnya lagi waktu di kapal aku sering cerita ke kamu dan sebenarnya kamu sudah tahu masalah itu?"
"Iya," jawab Al mengangguk dan tersenyum sangat manis.
"Aaaaaa... kamu ngeselin banget sih jadi orang." Lyana merengek manja menghentakkan kakinya di lantai. "Penuh kejutan! Jadi makin cinta sama kamu," ucap Lyana malu-malu menyembunyikan wajahnya di dada Al.
Al tertawa terbahak membalas pelukannya.
"Jadi nggak takut hamil lagi kan?" tanya Al pelan.
"Nggak," jawab Lyana.
"Keluar yuk!"
"Ke mana?"
"Hotel."
Lyana mencubit perut Al dan mengerling malu.
"Apaan sih?" cibir Lyana.
"Mau nggak?" tawar Al mendesak.
"Izinnya sama Papa gimana?"
Al berpikir keras, mencari alasan agar malam ini diizinkan mengajak Lyana keluar.
"Sudah makan belum?" tanya Al setelah mendapat ide.
"Belum, dari tadi siang setelah kamu pulang aku nggak keluar kamar."
"Ganti baju sana! Kita keluar," titah Al. "Aku izin dulu sama papa kamu ya?" timpal Al mengecup keningnya singkat.
"Iya."
Al pun kembali ke ruang tamu, kedua keluarga masih asyik mengobrol dan saling mendekatkan diri. Sari begitu akrab berbincang dengan Wulan, sepertinya mereka sudah cocok.
"Gimana Al? Mau keluar dia?" tanya Jaya ketika Al sudah kembali duduk.
"Iya, Om sudah. Oh iya, Al boleh ajak dia makan malam di luar? Soalnya kata Lyana, dia dari tadi siang belum makan," izin Al dengan debaran jantung yang berdetak tak teratur.
"Nah benar itu Al, giliran sudah punya cowok bujukan mamanya tak mempan lagi. Tante sudah berapa kali gedor pintu kamar dia, bujuk makan, tapi nggak didengerin," cerita Wulan menciptakan gelak di ruang tamu itu.
"Halah, kayak dirinya dulu nggak begitu!" cibir Jaya menimpali ucapan istrinya.
Suasana di ruang tamu malam itu terasa hangat dan keakraban kedua keluarga pun terjalin cepat. Lyana datang ke ruang tamu dan langsung menyalami calon mertua dan juga Frank serta Karin.
"Nah, yang dibicarakan sudah datang. Mau makan di mana kalian?" tanya Jaya.
"Belum tahu, Om. Terserah dia nanti," ucap Al melirik Lyana.
"Ooooh, ya sudah berangkat saja sekarang," perintah Jaya. "Eh, mau pakai mobil siapa?" cegah Jaya ketika Al dan Lyana berpamitan.
Al menyapu pandangannya, dia baru sadar jika mereka datang ke sini hanya menaiki satu mobil.
"Sudah, kasih kunci mobil kamu ke Frank. Pakai saja mobil Ana kalian perginya," sela Jaya mengerti maksud tatapan bingung Al.
Al tersenyum manis dan mengangguk, dia memberikan kunci mobilnya kepada Frank.
"Kami pergi dulu, assalamualaikum," pamit Al.
"Waalaikumsalam," jawab mereka serentak.
Al menggandeng Lyana keluar dari rumah. Bahagia mereka malam ini belumlah sempurna sebelum ikrar pernikahan terucap.
***
Suasana di ruang KUA hening, tegang dan hikmat. Walaupun ada AC, namun suhu ruangan tetap saja panas karena diselimuti kegugupan. Debaran jantungnya sangat cepat, peluh di dahinya bercucuran. Lebih mudah mengendalikan kapal di laut lepas ketimbang mengucapkan kabul. Al menjabat tangan Jaya erat dan tubuhnya pun menegang.
"BISMILLAAHIRROHMAANIRROOHIIM
ASTAGHFIRULLOOHAL’ADZIIM, ASTAGHFIRULLOOHAL’ADZIIM, ASTAGHFIRULLOOHAL’ADZIIM. ASYHADUALLAA ILAAHAILLALLOOH, WAASYHADUANNA MUHAMMADARROSUULULLOOH. ANANDA ALMAHESA WONGATELENG BIN MAHARDIKA SAYA NIKAHKAN DAN SAYA KAWINKAN ENGKAU DENGAN ANAK KANDUNG SAYA YANG BERNAMA ILYANA DENGAN MASKAWINNYA BERUPA UANG 10 JUTA RUPIAH TUNAI!!!" Jaya mengucapkan ijab sangat tegas, lantang dan jelas.
Al menarik napas dalam dan menjawab kabulnya, "SAYA TERIMA NIKAHNYA DAN KAWINNYA
ILYANA BINTI WIJAYA DENGAN MASKAWINNYA YANG TERSEBUT TUNAI."
Dengan sekali tarikan napas Al lancar mengucap kabulnya.
"Bagaimana saksi?" tanya penghulu yang mendampingi ijab kabul tersebut.
Frank yang menjadi saksi pihak Al dan paman Lyana dari pihaknya lantas mengangguk.
"SAH!" jawab mereka serentak.
"Barakallah fii umrik," ucap semuanya serentak mendoakan semoga
mendapatkan berkah dari Allah.
Al melepas napasnya lega, begitupun yang lain. Beban yang ada di pundaknya terasa lepas ketika mendengar kata 'SAH' dari saksi dan sahutan 'Barakallah fii umrik' dari semua keluarga yang menyaksikan ijab kabul tersebut. Mereka semua melemaskan tubuh yang tadi terasa kaku hingga urat-utatnya tertarik. Doa pun dipimpin oleh seorang penghulu. Setelah itu Lyana disandingkan dengan Al dan mereka menandatangani surat-surat dan buku nikah.
"Ciyeeeee... sudah dapat SIM, halal!" gurau Frank setelah mereka menandatangi buku nikahnya.
"Sudah bebas kan mau ngapain aja?" sahut Al disusul tawa semua orang yang ada di ruang itu.
"Sudah!" sahut Jaya. "Selamat mengarungi bahtera kehidupan bersama putriku, Kapten Almahesa," sambung Jaya menyalami Al dan memeluknya.
"Terima kasih Om," ucap Al membalas pelukannya.
"Kok masih Om? Papa," pembenaran Wulan.
Al tersenyum dan menggaruk tengkuknya kikuk.
"Iya, Papa." Meskipun masih canggung dan aneh diucapkan tapi memang seharusnya begitu kan?
"Terus, setelah ini kita mau ke mana?" pekik Frank.
"Pulang ke rumah dulu, kita makan bersama. Sambil membicarakan konsep resepsinya. Yang penting halal dulu," jawab Jaya tampak bahagia.
"Boleh, boleh, boleh," sahut Dika menyetujuinya.
"Ayo Jeng," ajak Wulan menggandeng tangan Sari.
Semua keluar dari ruangan itu, Al membantu Lyana berjalan karena dia memakai kebaya sehingga sulit melangkah. Senyum tak pernah pudar sedikit pun dari bibir mereka. Kini dua keluarga sudah dipersatukan dalam ikatan pernikahan.
***
Selepas semua tamu pulang, Al ditinggal keluarganya di rumah Jaya. Untuk beberapa waktu, dia akan tinggal di rumah mertuanya sebelum memboyong Lyana ke rumah orang tuanya. Saat malam tiba, usai membersihkan diri Al langsung menarik Lyana berbaring di tempat tidur.
"Yuk!" ajak Al menyeringai genit.
"Maaf," ucap Lyana sedih dan memanyunkan bibirnya.
"Kenapa?" tanya Al mengerutkan dahi.
"Yang, nggak tahu kenapa tadi aku flek kecolkatan gitu. Kayak mau dapat tapi seharusnya ini belum waktunya aku haid. Masa sih maju banyak banget haidnya?" jelas Lyana mengecewakan Al.
Al menghela napasnya dalam dan badannya seketika lemas. Dia menjatuhkan tubuhnya berbaring terlentang di tempat tidur. Lyana merasa tak enak.
"Halah! Toh juga malam pertamanya sudah dicicil jauh hari. Malah sudah bobol duluan," cibir Lyana mengajak Al bercanda.
"Tapi kan beda, Cimut. Malam pertama setelah ijab kabul itu rasanya lebih tenang dan adem. Nggak seperti dikejar-kejar dosa. Kalau kemarin-kemarin kan saat berhubungan, perasaannya ada yang mengganjal dan bawaannya buru-buru, takut kalau ketahuan," terang Al sedikit kecewa karena mereka tidak dapat berhubungan intim setelah menikah.
Lyana menyandarkan kepalanya di dada Al.
"Aku bantu oral mau nggak?" tawar Lyana. "Daripada nggak sama sekali," rayunya agar Al tak ngambek.
Al hanya diam, dalam hatinya dongkol menahan kesal karena tak bisa berhubungan badan. Padahal sudah dua minggu mereka tak melakukannya, itu dikarenakan jarak rumah yang cukup jauh dan masa pingit sebelum menikah.
"Yaaaang." Lyana mengarahkan kepala Al agar menghadapnya. "Maaf, aku juga nggak tahu kalau bakalan begini. Ini juga sebenarnya belum waktunya aku haid," jelas Lyana memelas.
Al menghela napas berat dan memeluk Lyana. Dia mencium kening wanita yang kini sudah menjadi istrinya.
"Ya sudah, memang itu kodrat wanita dan seorang pria harus memakluminya kan? Biasanya berapa hari kalau kamu dapat?" tanya Al masih memeluk Lyana dan mengelus punggungnya sayang.
"Sekitar satu mingguan. Sabar dulu ya?" pinta Lyana memeluknya.
"Iya, toh juga sudah merasakan sebelum menikah," ucap Al terkekeh geli.
"Iya, gara-gara kamu nggak tahan!" cerca Lyana.
"Bukannya nggak tahan, tapi karena kamu terlalu curiga dan nggak yakin sama aku. Biar kamu percaya, ya sudah bobol saja perawan kamu. Baru kamu percaya sama aku kan?" jelas Al mengingat saat dirinya merenggut kesucian Lyana di atas tempat tidurnya.
"Untung kita jadi nikah, kalau nggak, rugi badar aku!" Lyana mencubit pinggang Al yang polos karena dia hanya mengenakan boxer saja.
"Ya nggak dong, memang niat dari awal sudah mau menikahi kamu. Walaupun sempat ragu karena keadaanku yang masih kluntang-klantung, tapi papa kamu keburu gerak cepat. Aku dulu berpikir, papa kamu mau bersabar menungguku sampai mendapat pekerjaan lagi. Nggak tahunya, dia memotong jalan pintas."
"Kamu nyesel?"
"Ya nggaklah! Sudah diniati kok nyesel," elak Al cepat.
"Memangnya apa sih Yang, yang membuat kamu sempat ragu mau melamar aku?" tanya Lyana penasaran meregangkan pelukan mereka.
Al menatap wajah istrinya yang terlihat lelah.
"Aku punya janji sama Ibu dan Bapak akan menaikkan mereka haji. Tapi malah tabunganku habis buat ambil ijazah kejuruan, sama mengurus sertifikat-sertifikat. Awalnya aku berencana setelah ijazah keluar, akan mendaftar di kapal migas. Baru nanti akan melamar kamu, sambil mengumpulkan uang lagi buat tabungan haji Ibu dan Bapak. Eh, malah kemarin Papa minta aku segera melamar kamu.
"Aku bingung dan semakin stres mikirin kamu yang ngambekan, pelajaran dan ujian, sampai masuk rumah sakit kamu cuekin aku. Bener-benar aku stres berat. Eh, nggak tahunya kamu tiba-tiba nongol dan Papa menawari agar aku bergabung di perusahaan Asia Petroleum. Memang rencana Tuhan tidak dapat diprediksi. Rencana kita begini, tapi Tuhan mengaturnya begitu. Yaaa... kita hanya bisa menjalaninya."
Lyana tersenyum hatinya bahagia bercampur sedih. Bahagia karena Al menepati janjinya dan sedih mendengar rencana Al yang ingin menaikkan haji orang tuanya harus tertunda.
"Yang, Insya Allah kita pasti bisa kalau berusaha bersama. Aku akan bantu kamu," ujar Lyana.
"Jangan. Kamu sekarang sudah menjadi istriku, jadi kamu sudah sepenuhnya tanggung jawabku. Aku nggak mengizinkan kamu bekerja lagi di kapal." Al mengelus pipinya lembut penuh kasih sayang.
"Emang kerja harus ya di kapal? Aku kan juga punya ijazah tata boga."
"Terus?"
"Aku akan melamar kerja di restoran kalau nggak di hotel berbintang 5."
"Nggak!!! Aku nggak mengizinkan kamu kerja. Kecuali buka usaha sendiri," larang Al.
"Tapi Yang...."
"Mau membantah? Aku sudah menjadi suami kamu sekarang." Al menatapnya tegas.
"Iya sudah, terus apa yang bisa aku lakukan untuk membantu kamu?" tanya Lyana mengalah.
"Cukup mengatur uang hasil yang aku dapatkan sementara ini. Mungkin beberapa bulan ke depan aku nggak bisa mencukupi kebutuhan kita. Soalnya bayaranku saja cuma 2 juta, belum lagi aku masih mengurus perpanjangan sertifikat. Maaf, aku harus jujur masalah ini." Al menggelengkan kepalanya, dia harus memutar otak bagaimana caranya mendapat uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Jika waktu lalu dia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, tapi kali ini ada satu beban lagi yang harus dia pikirkan. Al tak lagi sendiri, ada Lyana yang sudah menjadi bagian kebutuhannya.
"Aku kan masih punya tabungan hasil kerja di kapal. Cukuplah Yang, untuk kebutuhan kita selama kamu belum berlayar lagi."
"Jangan, itu uang kamu. Aku nggak mau kamu memakainya untuk kebutuhan rumah tangga kita. Biar aku yang kerja mencari uang, simpan saja uang kamu itu ya? Sudah tugas dan kewajibanku menafkahi kamu."
Lyana terdiam, begitu dewasa dan bijaksananya Al. Dalam situasi terdesak dan kekurangan begini, dia tak ingin mencampurkan hasil keringat Lyana dalam rumah tangga mereka. Entah bagaimana nanti cara Al menghidupi Lyana, namun dia percaya Al bisa melakukannya.
##########
Aaaaaa... Kapten Al😳😳😳
Aku juga mau dong dinafkahi.😆
Lahir batin juga boleh😜
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top