Lima


Kegiatan pentas seni yang menampilkan kebudayaan masing-masing daerah tengah berlangsung malam ini.

Kampus Tifa mendapat urutan pada hari keenam yang artinya, ia dan anggotanya masih santai wara-wiri menikmati malam dengan saling berkunjung ke tenda-tenda, menikmati acara pentas seni di lapangan utama atau mengunjungi pameran yang telah disediakan oleh panitia seperti yang ia lakukan saat ini bersama Bela.

Pameran malam ini selalu ramai seperti hari kemarin. Banyak yang menjual pernak-pernik khas Sumatra, aneka makanan serta jajanan khas, juga yang paling ramai tentu saja merchandise event seperti gantungan kunci, kaus, dompet, gelas dengan logo kegiatan perkemahan saat ini. Tentu saja ramai, karena kebanyakan orang akan membelinya sebagai kenang-kenangan atau oleh-oleh teman di rumah.

"Tif, bikin nama sekalian mau nggak?" tanya Bela yang sedang asyik memilih gantungan gunci dari lempengan besi yang ujungnya dibuat anyaman menjuntai.

"Boleh, aku mau satu aja. Yang buat temen lain aku beli besok, lagi nggak bawa uang." Bela mengangguk. Tifa menulis nama yang akan diukir begitu pun Bela.

"Habis ini ada kegiatan apa lagi?" tanya Tifa begitu keduanya berjalan menyusuri beberapa stand makanan.

"Nggak ada, kalau malem emang cuma pentas aja. Kenapa?" Bela melirik ke arah stand penjual jam tangan.

"Aku belum mandi, gerah badanku," adu Tifa.

"Kenapa nggak dari sore tadi?" Tifa menggeleng mengingat kamar mandi yang tanpa atap. Sebenarnya ia bisa saja mandi bersama bahkan puluhan orang berdiri mengelilingi bak mandi buatan dari semen yang disediakan panitia. Namun karena atapnya terbuka dan ia hanya memakai kemben sarung otomatis rasa was-was selalu membayangi.

"Tif, ada jam tangan murah. Ayo ke sana!" ajak Bela yang langsung menarik tangan Tifa.

Stand jam tangan yang dimaksud Bela memang terlihat ramai. Baik Bela maupun Tifa pada akhirnya larut menikmati jam tangan yang tersedia. Jam tangan dengan rantai anyaman ini memang banyak peminatnya. Untuk ukuran Tifa, jam ini sangat menyita perhatiannya. Tidak mewah sebenarnya tapi kesan unik itulah yang membuatnya tertarik

"Kalo yang ini bagus nggak?" tanya Iko pada teman di sampingnya sambil menunjukkan sebuah jam tangan.

"Buat Emil?" tanya teman Iko. Memperhatikan sejenak kemudian mengangguk. "Bagus. Emil emangnya suka barang beginian?" Iko tersenyum sambil memilih motif lain. "Dia, mau dikasih tali rafia juga suka. Yang penting dibawain oleh-oleh. Lagian aku udah tahu luar dalam kalau masalah Emil," jelas Iko membuat teman di sampingnya terkekeh.

"Iya iya, tuh cewek dari orok juga udah nempel terus sama kamu." Iko pun ikut terkekeh mengingat tetangga sekaligus sahabatnya yang tengah hamil muda dan merengek minta dibelikan oleh-oleh.

Tifa dapat mendengar dengan jelas percakapan kedua orang yang berdiri tak jauh dari tempatnya dan Bela berdiri.

Emil?

Sudah tahu luar dalam?

Penggalan kata dan kalimat itu entah kenapa meredupkan senyum antusias Tifa untuk memilih jam kesukaannya.

"Balik ke tenda yuk Bel, aku mau ke kamar mandi." Bela yang masih asyik memperhatikan pun akhirnya memilih meninggalkan stand karena Tifa sudah menarik tangannya menjauh.

*********

Iko dapat melihat gadis celana dalam itu berjalam menjauh meninggalkan stand penjual jam tangan. Sebenarnya ia ingin menyapa. Tapi, karena Tifa keburu pergi, Iko pun mengurungkan niatnya. Selesai mendapatkan jam tangan untuk Emil, ia segera kembali ke tenda.

"Ya, Mbak?" jawab Iko begitu ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ternyata panggilan dari kakaknya.

"Ko, kamu telpon masmu dong, bilangin malam ini nggak usah tidur di rumah kalau telat pulang lagi." Nada geram terdengar di telinga Iko.

"Kenapa lagi?" tanya Iko yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Apalagi kalau bukan kakak iparnya lembur kerja.

"Biasa, lupa bini di rumah. Padahal mbak udah bikin ramuan anti loyo, udah dandan ala Princes Elsa buat menyambut kepulangan masmu yang udah mirip Bang Toyib. Tapi malam ini dia nggak nepatin janji," kesal Sila di seberang sana.

"Iya, ntar aku telepon Mas." Iko mematikan ponselnya. Seperti itulah dirinya yang selalu menjadi penengah masalah keluarga kakaknya. Mungkin karena dia adalah saudara satu-satunya yang bisa menjadi tempat kakaknya berkeluh kesah.

"Kak, besok kita kebagian kegiatan di luar." Romi yang membaca kertas jadwal untuk besok pagi dengan bantuan sinar dari ponselnya, membuat Iko menoleh. Iko melongok ke arah kertas milik Romi.

Benar, besok Iko dan dua orang dari kelompoknya akan menjalani kegiatan bina desa selama tiga hari di salah satu desa yang sudah ditentukan pihak penyelenggara.

"Hem, berarti sekarang kita mulai berkemas," ujar Iko yang diangguki Romi.

Selesai berkemas, Iko keluar dari tenda karena merasa perutnya mulas. Dengan membawa timba ia sedikit berlari. Begitu sampai di WC umum, nyali untuk sabar menunggu antrian sudah hilang karena keringat sudah membanjiri keningnya

Iko mengingat sungai yang ada di dalam hutan. Seketika ia berlari memasuki hutan agar segera sampai di tepi sungai.

Karena keringat sudah membanjiri tubuhnya, Iko melepas kaus pendek warna putih yang dikenakannya dan segera mengambil posisi.

Belum sampai hajatnya keluar, suara berisik yang terdengar kemudian membuat Iko menyipitkan mata dan seketika terbelalak sempurna.

NGUK ... NGUK!

Iko segera mengambil kerikil untuk mengusir sekawanan babi yang tiba-tiba datang. Masih untung kemarin dia diganggu seekor monyet dan sekarang, tiga ekor babi mulai berjalan mendekatinya.

Rasa mulas yang mendera tiba-tiba sirna berganti rasa panik. Ia sedikit memiliki kisah tak menyenangkan dengan babi terkait dengan masa lalunya.

"Hush ... Hush ...."

Iko berusaha menghalau kawanan babi tersebut namun, tak juga mereka mundur.

"Tolong!" Iko sedikit berteriak siapa tahu ada orang yang lewat meski pun kemungkinannya kecil.

DUGH. BUGH.

NGUK ... NGUK ... NGUK ....

Iko bernapas lega melihat kawanan babi berlari, begitu mendapati sebuah timba melayang ke arah babi-babi tersebut.

Iko mengarahkan pandangan pada timba yang menggelinding dan melirik siapa gerangan yang melemparkannya.

Di keremangan malam, Iko dapat melihat sosok itu berjalan mendekat ke arahnya.

"Lain kali teriak pakai toa biar kedengaran sampe tenda." Iko mengangguk sambil tersenyum mendengar omelan si gadis.

"Makasih."

"Hem, tidak masalah. Anggap saja itu balas budiku kemarin kamu udah nolongin aku," balas Tifa.

"Kamu mau mandi lagi di sini?" Tifa mengangguk. "Disana antri, jadi aku ke sini lagi. Kamu?" tanya Tifa balik.

"Panggilan alam dari perutku yang mulas," terang Iko.

"Ya sudah, lanjutkan aja. Aku pergi dulu." Tifa hendak pamit namun tanggannya segera dicekal Iko. "Tunggu dulu, kita kembali ke tenda sama-sama." Tifa mengernyit.

"Pakai dulu bajumu. Bulu dada itu sangat mengganggu." Iko melirik dadanya yang ditumbuhi bulu halus.

"Aku nggak punya bulu dada, enak aja!" sergah Iko. Bulu dadanya halus bahkan tidak terlihat apalagi dalam keremangan malam seperti saat ini.

"Hem, ya sudah terserah. Cuma saran aja, tuh badan ditutupin biar nggak mengundang perhatian babi buat nerkam kamu," saran Tifa sedikit salah tingkah.

Tadi padi saat kurve ia sempat melihat Iko berganti baju di dapur tenda putri yang tepat di sampingnya. Dan tanpa sengaja ia melihat bulu halus memanjang lurus di bawah pusar ke bawah mengarah ke ... ah sudahlah tidak usah dijelaskan. Mengingatnya saja Tifa langsung merasa wajahnya memanas.

"Bukan babi yang mau nerkam, bilang aja kamu yang tergoda sama tubuh liatku." Iko menggoda Tifa yang terlihat memalingkan wajahnya jengah. Mendengar tuduhan itu membuat Tifa melotot tajam pada Iko yang terkekeh.

"Udah ini aku pakai." Tifa melihat sekilas lalu berjalan mendahului Iko. Merasa ditinggal, Iko segera mensejajarkan langkahnya dengan Tifa.

"Sama babi kamu takut, tapi sama monyet kemarin nggak." Iko menatap kakinya yang memakai sandal sambil menerawang pada kenangan dengan sosok seekor babi di masa SMA nya.

"Ada kenangan buruk dengan babi. Ya ... semacam trauma gara-gara aku pernah menyukai perempuan yang suka dengan babi," jelas Iko menerawang.

"Ck, laki macam apa kamu sampai trauma karena cewek suka babi," cibir Tifa.

"Rumit kalau diceritakan. Kapan-kapan saja akan kudongengi." Tifa mengangguk.

"Besok aku dapat kegiatan bina desa. Kalau kamu?" Iko mengalihkan perhatian.

"Aku juga dapat kegiatan itu."  Tifa sedikit girang entah kenapa begitu mendengar kegiatan mereka ternyata sama.

"Semoga kita satu desa," harap Iko yang entah kenapa diangguki Tifa dengan antusias. Iko tersenyum.

"Kalau kita satu desa, aku bisa panggil kamu kalau sewaktu-waktu ada babi lagi. Kan, kamu induknya, awwww!" Iko meringis karena lengannya dicubit oleh Tifa yang melotot tajam.

"Duh panas bener cubitanmu!" Iko mengusap lengannya yang terasa dibakat karena cubitan Tifa.

"Enak aja bilang aku induk babi!" Tifa berkacak pinggang.

"Nggak mungkin. Mana ada induk babi secantik ini," goda Iko yang berhasil membuat pipi Tifa merona. Untung saja keadaan sedang gelap jadi, tidak kentara sangat oleh Tifa sendiri atau Iko.

Sesampai di belakang tenda Tifa, keduanya berhenti sejenak. "Sampai ketemu besok, aku balik ke tenda dulu," pamit Iko. Tifa mengangguk dan berjalan lebih dulu masuk ke tenda.

"Cie cie Bu KDR habis kencan ...." sorak sorai terdengar di dalam dapur tenda yang dipelopori oleh Bela. Tifa memilih ngeloyor masuk ke tenda agar terbebas dari interogasi teman-temannya di dapur. Begitu masuk ke dalam tenda, ia segera mengeluarkan ponsel dari dalam saku tasnya.

Dua belas panggilan tak terjawab serta lima pesan singkat terpampang di layar yang semuanya dari nama Mr. Mahar.

Segera ia menekan panggilan dan langsung terdengar suara teriakan di seberang.

"Mau dicium atau dicubit, sudah bikin aku bolak-balik telepon nggak dijawab?" geram pemilik nama Mr. Mahar begitu Tifa selesai mengucapkan Hallo.

"Sorry tadi aku masih mandi," alasan Tifa sambil meringis.

"Mandi atau cari cowok?" Tifa memejamkan mata takut jika Mr. Mahar mencium bau laki-laki lain.

"Beneran mandi, udah ah males diinterogasi mulu."

Tidak apa-apa kan, jika dia dekat dengan laki-laki saat kesempatan itu ada?

--------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top