Orang-Orang Tinggi Edan
Pemerintah itu gila. Ditambah dengan orang-orang pintar yang menyebut diri mereka ilmuwan. Kalau digabungkan, wah sekali, namanya edan kuadrat itu.
Aku Athea, istri dari salah seorang ilmuwan gila itu. Mulai memasuki usia tiga puluhan dan punya anak satu hasil percobaan si edan itu.
Astaga, setiap melihat anakku, rasanya aku ingin menangis. Seluruh tubuhnya berwarna merah muda, rambutnya bergelombang, bola matanya berwarna hitam di seluruh bagian.
Ada yang salah dengan percobaan ini, katanya. Harusnya anak ini punya kekuatan super untuk membantu negara melawan alien di dunia lain. Ujung-ujungnya gagal, bukannya meniru kekuatan, anak ini malah meniru rupa para alien itu.
Mengetahui percobaannya gagal, kami dibuang ke dunia setelah. Hidup berdampingan dengan mereka yang menyebut diri mereka Shunia.
Hatiku semakin hancur setelah sekian tahun hidup di tempat ini. Mereka sama seperti manusia. Punya perasaan, keluarga, dan hal-hal yang berharga. Mereka lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri. Mereka menerimaku, merawat aku dan anakku dengan sepenuh hati. Tidak mendiskriminiasi.
Apa yang akan terjadi pada mereka jika manusia memulai rencana untuk menjajah dunia ini?
“Bibi Athea?” Seorang bocah laki-laki menghampiriku. Mata birunya menatapku lurus. “Kenapa bibi menangis?”
“Shura?” Aku menyentuh pipiku sendiri. Basah. “Bibi ... takut.”
“Kenapa?”
Aku tersenyum. “Bibi takut siapa yang akan melindungi Cepresia setelah bibi pergi.”
“Memang bibi akan pergi ke mana?”
Aku tidak membalas. Pergi ke mana? Tidak tahu. Surga atau neraka, aku tidak peduli nantinya akan berakhir di mana.
Waktuku memang tidak banyak lagi. Aku telah merasakannya sejak satu tahun lalu, setelah mendengar orang-orang pemerintah berencana menjatuhkan bom di tempat ini.
“Shura.”
“Iya, kenapa?”
“Tolong lindungi Cepresia.”
“Dari apa?”
“Tolong berjanjilah terlebih dahulu padaku.”
Shura membuka mulutnya lantas menutupnya lagi. Ia memiringkan kepala. Bibirnya akhirnya terangkat, membentuk senyuman. “Baiklah.”
Detik berikutnya terjadi begitu cepat.
Tempat ini meledak.
Aku mendongak, menatap rudal yang dijatuhkan dari langit.
Aku berdiri, menenteng Shura dan berlari. Tak henti-hentinya mulutku meneriakkan nama anakku di tengah-tengah gempuran rudal.
“Bibi!”
Shura sudah tidak ada lagi di tanganku.
Kakiku mati rasa.
Mataku pedih, pandanganku buram.
“Bibi! Bibi baik-baik saja?”
Aku mendongak, tidak bisa menatap wajah Shura dengan jelas.
Inikah akhirnya?
“Shura, pergilah. Tolong selamatkan Cepresia. Kamu sudah berjanji ‘kan?”
Wajahku basah. Anak ini sepertinya menangis. Ia memeluk kepalaku. “Aku tidak mau meninggalkan bibi.”
Aku terdiam. Tanganku juga mati rasa. Mungkin sudah hancur. “Shura, kamu ingat kan kala aku sudah pernah menyelamatkan kamu dari tangan orang-orang gila itu?” Shura tidak menjawab. Pelukannya mengerat. “Saat ini adalah saat yang tepat untuk membalas budi. Jadi, pergilah. Selamatkan anakku.”
“Balas budiku adalah dengan menyelamatkan bibi!”
“Diam!” Aku berteriak. Shura berjengit, ia melepaskan pelukannya. “Bagaimana kau bisa menyelamatkan aku yang sudah hancur seperti ini?!”
Shura sepetinya menatapku. Sayang sekali aku tidak bisa lagi melihat ekspresi wajahnya.
Maaf, maafkan aku yang seperti ini, Shura.
Aku berusaha tersenyum. “Maaf, Shura, tapi hanya kamu yang bisa aku percaya. Tolong, selamatkan Cepresia.”
Aku bisa mendengar isakan tangisnya. Ia kemudian berdiri. Kedua kakinya membawa anak itu pergi. Dengan telinga yang mulai berdenging, aku masih dapat mendengar Shura memanggil Cepresia.
“Ah, dasar orang-orang tinggi edan,” lirihku.
Mataku tertutup, napasku terhenti.
________
Cermin by Nec285_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top