Bonus 02 - Ulang Tahun Si Bocil

Tiga tahun setelah penangkapan Albert.

Gadis yang baru menginjak usia remaja itu kini tengah berbaring di ranjang pesakitan. Di tangannya ada selembar foto yang sedari tadi dia tatap. Foto seorang anak serupa dirinya dengan seragam SMA yang membalut raga.

(Picture by Clouchi)

Bunyi pintu yang dibuka membuatnya buru-buru menyimpan foto tadi di bawah selimut. Menatap si pelaku, dia menyunggingkan senyum ramahnya.

"Kakak, Bang Alvand, Kak Sheila. Kalian datang lagi?" tanya gadis itu riang.

"Yep. Gimana keadaan lo, Frey? Udah enakan?" tanya si pria, Alvand.

Freya mengangguk semangat, membuat ketiga sosok yang mengunjunginya agak lega. Menaruh makanan ringan di nakas samping tempat tidur, Sheila memilih untuk duduk di samping bankar. Tangannya menggenggam erat tangan Freya, sementara matanya memberikan tatapan bersalah—seperti biasa.

"Frey, aku minta maaf, ya? Gara-gara kami, kamu jad—,"

"Sudahlah, Kak. Aku sedang hilang ingatan, lho. Jangan perburuk kondisiku dengan meminta maaf terus menerus, dong. Nanti aku tidak selesai-selesai rawat inapnya, padahal kata Kakak sebentar lagi kuliah masuk," potong Freya marah. Ah, ralat. Pura-pura marah maksudnya.

Alvand geleng-geleng tidak habis pikir. Meski ingatannya hilang, karakter dan sifat gadis mungil yang beranjak remaja ini sama sekali tidak berubah—tetap gila belajar.

"Gak, gak, gak. Gak ada kuliah-kuliahan. Semester depan, lo cuti lagi," tegas Nabila tidak mau dibantah.

Freya cemberut tidak suka. Dirinya sudah dua semester mengambil cuti. Jelas saja bagi maniak belajar ini, cuti lagi satu semester bukanlah kabar baik. Oleh karena itu, Freya mengeluarkan jurus andalannya; menatap sang kakak dengan tatapan memohon dan raut menyedihkan.

"Ayolah, Kak. Aku sudah cuti dua semester, lho. Kapan aku lulus kalau tidak kuliah?" mohonnya.

"Umur lo masih 14, nambah cuti 8 semester, pun, lo masih kekecilan buat kerja."

Jawaban Nabila membuat Freya uring-uringan. Gadis itu mencak-mencak di ranjang, membuat selimut dan gulingnya terjatuh berantakan.

Tanpa dia sadari, selembar kertas terjatuh di dekat kaki Alvand. Pria itu mengambilnya, dan menemukan foto Freya dalam balutan seragam SMA.

Hal tersebut memunculkan sebuah ide yang tanpa pikir panjang langsung dijalankan oleh si empunya.

"Guys, gue keluar dulu. Ada urusan bentar."

Usai berpamitan, Alvand segera pergi dari rumah sakit, menuju banyak sekali tempat tujuan menggunakan mobilnya.

=•/🗝️\•=

"Assalamu'alaikum, Cil!"

Suara orang asing—bukan salah satu dari mereka bertiga—tiba-tiba saja terdengar, membuat penghuni ruangan ini sedikit kaget. Mereka semua kontan menoleh ke arah pintu, mendapati sekelompok remaja—yang beranjak dewasa—berdiri memblokir jalan.

Melihat siapa yang datang, raut bingung terpampang di wajah Freya. Dia menarik selimutnya agak tinggi, menyembunyikan tubuhnya sambil melontarkan pertanyaan penuh kewaspadaan. "Maaf, Kakak-kakak semua siapa, ya?"

Salah seorang dari mereka—si pemuda bersarung—angkat bicara, memperkenalkan diri. "Kita temen sekelas lo, Frey."

Freya mengerjap. Ditatapnya Alvand—satu-satunya teman sekelas yang dia tahu. Mendapat anggukan dari pria itu membuat raut bersalah tercetak di wajah pucatnya. "Ah, maaf, Kak. Aku hil—,"

"Tidak apa. Kami semua sudah tahu, kok," potong gadis yang bergamis diakhiri senyum tulus.

Hening tercipta sejenak. Melihat situasi, Nabila—selaku kakak pemilik ruangan—segera bersuara.

"Masuk gih, jangan berdiri di pintu."

"Permisi, ya."

Ucapan si gadis bergamis membawa mereka semua masuk, duduk lesehan di karpet yang baru saja digelar Alvand. Freya—setelah memaksa dan beradu argumen—ikut duduk di sana, di pangkuan Alvand.

"Gimana keadaanmu, Frey? Sudah baikan?"

Freya tidak menjawab. Dia hanya menatap bingung si penanya, membuat sosok itu kembali bersuara—memperkenalkan diri.

"Aku Nadira, Frey."

Freya manggut-manggut, baru mau menjawab. "Freya sudah sehat dari lama, kok, Kak Nadira. Kakak saja yang lebay. Masa ya, Freya sudah sadar sejak tujuh bulan lalu, tapi gak boleh keluar dari rumah sakit."

Semua kontan tertawa. Bahkan, gadis yang sepertinya paling muda di rombongan bersuara, meledek Freya.

"Gue jadi curiga, deh. Jangan-jangan lo cuma pura-pura hilang ingatan lagi. Sifat lo gak berubah sama sekali soalnya."

"Halza, mulut lo, ya. Balik dari Jepang bukannya tambah sopan, lo malah makin bar-bar."

Freya tersentak kaget. Sejak para remaja ini datang, menyapanya, bahkan sampai saat ini mereka duduk di satu kursi yang sama, gadis itu sama sekali tidak menyadari keberadaan pemuda berwajah pucat dengan kantung mata super tebal yang ternyata duduk di depannya.

Menangkap kekagetan Freya, gadis lain yang memakai pakaian kantor bersuara, menjelaskan. "Gak usah kaget, Frey. Kak Jun emang kayak jelangkung."

Ini siapa lagi yang bicara? Astaga, ingatanku benar-benar menyebalkan, batin Freya kesal.

"Anu, Kak."

"Ada apa, Dek?" balas Nabilla cepat—agak khawatir.

"Itu ... kalau semisal kakak-kakak semua perkenalan lagi, keberatan, gak? Aku sama sekali gak ingat," pintanya lirih.

"Iya juga, ya. Kita main nyelonong masuk terus ngajak nih anak ngobrol tapi gak ngenalin diri," kata gadis lain yang berhijab.

"Oke, oke. Gue kenalin yang cowoknya, ya. Gue Thariq—mantan ketua kelas. Ini Jun—si jelangkung agen FBI, Aze—hacker tukang rusuh, terakhir Revan—preman pasar tobat dadakan."

Freya manggut-manggut mendengar penjelasan Thariq. "Lalu, yang perempuan?"

"Aku Nadira—sepupunya Mas Ibrahim, ini Violla, Halza, terakhir Kak Hasna."

"Oke. Nah, kalau begini kan, aku tidak bingung."

Mereka terkekeh pelan. Obrolan berlanjut untuk beberapa waktu, terhenti akibat bunyi adzan.

Nadira, Thariq, Hasna, Violla, dan Alvand langsung berdiri, pamit ke musholla. Tersisalah Jun, Aze, Halza, Freya, Sheila, dan Nabilla yang kini diam tanpa kegiatan.

"Dek, gue sholat dulu. Jangan keluyuran."

"Aku akan cari makan siang."

Perginya Sheila dan Nabilla semakin menambah kecanggungan. Freya hanya menunduk, duduk di bankar sambil memilin-milin selimut.

"Oh ya, Frey."

"Ada apa, Kak Halza?"

Halza menyenggol Jun dan Aze, mengode kedua pemuda itu untuk melakukan sesuatu. Seakan baru teringat, Jun berdiri, mendekat sambil membawa sebuah kardus ukuran sedang.

"Selamat ulang tahun, ya."

"Well, kita yakin lo gak bakal ingat, tapi dulu lo pernah minta dikado pas ultah ke-14," jelas Aze yang ikut mendekat dengan kue kecil di tangannya.

Tak lama setelahnya, yang lain masuk sambil menyanyikan lagu ulang tahun bersama-sama. Freya—yang diberi kejutan mendadak—terbengong dengan wajah haru.

"Mau makan kue dulu apa buka kado dulu?" tanya Hasna yang membawa pisau.

"Buka kadonya dulu, boleh? Aku penasaran."

Jun segera mendekat, menyerahkan kotak kardus yang tadi ia bawa. Gadis kecil itu buru-buru membukanya. Raut haru yang tersisa berubah total menjadi raut tidak percaya kala melihat isinya.

"Kalian semua, kok bisa tahu kalau aku ingin laptop 2 in 1?" tanya gadis itu entah pada siapa.

Thariq tertawa, lalu menepuk kepala gadis itu lembut. "Lo dulu selalu antusias setiap ke rumah Revan cuma buat main laptop flip. Sekali lihat pun, kita semua tahu kalau lo pengen laptop itu."

Freya mengerjap. "Oke, anggap saja begitu karena aku tidak mengingat apapun. Tapi Kak, laptop ini mahal. Bagaimana bisa kalian dengan mudahnya memberiku kado seperti ini?"

"Astaga Frey, di kelas kita tuh banyak sultan. Jangankan laptop, beli pulau aja sanggup," seloroh Hasna.

"Heh! Mulut lo, Kak. Gak ikut nyumbang juga," balas Halza kesal.

"Kayaknya lo gak pantes bilang gitu deh, Za. Kan, yang beli semuanya gue."

Celetukan akhir dari Violla itu menciptakan tawa bahagia menggema di seluruh ruangan.

1137 kata
23 Feb 2022

____________________________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top