44 - Fakta dalam Pertemuan
"Takdir itu lucu ya. Suka mempermainkan manusia hingga merasa tidak ingin ada di dunia."
<Re-Search>
=/•🗝️• \=
"Seharusnya kau berpikir dua kali sebelum membodohiku dengan otak minimmu, Daniel Calpha."
Galaxy berjengit samar sebelum mendesis marah. Wajahnya tampak agak memerah, menunjukkan betapa emosinya pemuda itu. Sesaat kemudian, dia mulai tenang tanpa alasan, membuat Master Fantasy menunjukkan raut waspadanya.
"Ah, sepertinya aku sudah ketahuan, ya? L benar, mengelabuhimu dengan skill payahku memanglah mustahil. Berhubung sudah ketahuan—,"
Tangan Galaxy bergerak melepaskan eyepatch dan rambut silvernya yang ternyata adalah sebuah rambut palsu. Wajah tenangnya menampilkan senyuman yang menenangkan.
"Sekalian saja aku membongkar penyamaran."
Ada jeda sejenak. Kedua lelaki itu terdiam dengan benak penuh pikiran. Mata mereka saling tatap, seakan berniat membunuh lawan bicaranya lewat sorot mata.
"Kau mungkin berhasil memergokiku, walah terlambat, tapi aku yakin kau tidak menyadari dua orang rekanku yang lain, Tuan."
Master Fantasy segera menoleh pada layar. Matanya melotot kaget melihat tayangan di sana. Semua anak buahnya menepi begitu Infinity masuk ke dalam pertarungan. Di saat yang sama, tembok rumput imitasi yang menutup perempatan terbuka, membuat para penjelajah labirin memekik kegirangan.
"Bagaimana, Tuan? Kau menyukai hadiah dari kami?"
"Anak sialan! Kalian men—,"
"Jangan mengumpatiku, setidaknya untuk sekarang. Salahmu sendiri tidak bisa menemukan penyusup dalam rencanamu."
=/•🗝️• \=
"Tidak perlu, Luna. Biar aku saja yang pergi membantu mereka."
Beralih ke labirin lagi. Baik Faza, Hasna, Violla, maupun Freya tengah dilanda perasaan bimbang. Sekilas, kalimat Infinity memang seakan bermakna baik, tetapi tetap saja mereka curiga mengingat Infinity yang merupakan bagian dari empat penguasa.
"Gue gak akan kasih lo pergi. Bisa aja itu cuma alibi lo buat ngehajar mereka," sergah Hasna yang tersadar kali pertama dari lamunannya.
Sudah kuduga, batin Infinity pasrah.
"Aku serius."
"Mencegah lebih baik dari pada memgobati. Kita gak akan berubah pikiran." Violla ikut bersuara.
"Dengar,"
Mata Infinity menatap Faza serius, melontarkan sebuah kalimat sebagai jaminan kemudian langsung melengos pergi tanpa sempat dicegah lagi.
"Bunuh aku jika sampai luka yang di dapat kawan-kawan kalian semakin banyak."
Gadis itu berlari ke tengah pertarungan, memberikan sebuah pukulan di tengkuk salah satu dari pasukan pria misterius. Menoleh ke belakang, pria tersebut langsung memberikan isyarat pada teman-temannya untuk berhenti, menatap Infinity penuh tanya.
"Perintah langsung dari Master. Biarkan mereka lewat," katanya tegas tanpa keraguan.
Para pria berjas itu saling tatap, kemudian menepi sebelum hilang ditelan jarak. Kepergian mereka menyisakan suara berdesing lirih yang berasal dari pergerakan tembok rumput imitasi yang menutup jalur perempatan.
"Kalian, oke?" tanyanya ragu.
Gadis itu meringis ngilu saat mendengar suara gemeretak tulang dari peregangan kecil yang dilakukan oleh Kirana dan Farley. Tubuhnya ikut bergidik saat tahu Revan dengan entengnya menyiram lututnya yang luka cukup dalam dengan air lalu mengikatnya kuat menggunakan sapu tangan tanpa kesakitan.
Mereka mengerikan, batinnya.
"Kita gak apa. Thanks, udah nolongin kita. Rev, panggilin yang lain, kita gerak sekarang sebelum labirinnya berubah lagi," perintah Jun cepat.
Perjalanan berlanjut. Meski tidak bisa bergerak secepat sebelumnya, akibat banyak dari mereka yang terluka, setidaknya mereka tidak menemui hambatan yang cukup berarti. Keberadaan Infinity selaku empat penguasa cukup mempermudah perjalanan mereka.
"Ini tikungan terakhir," kata Hasna ngos-ngosan.
Jun mengangguk. Mereka berjalan cepat berbelok ke kanan, mengikuti arahan Hasna.
Berhasil!
Mereka berhasil mencapai pusat labirin, menemukan jeruji besi yang mengurung rekan-rekan mereka. Raut lega tampak jelas di wajah 18 remaja itu.
"Lo pada, oke kan? Kok itu muka bonyok semua?" tanya Alvand.
"Habis latihan boxing, Bang," jawab Revan enteng.
Dia mendekat, berniat membuka jerujinya. Sayang, pemuda itu justru terkurung jeruji lain yang mendadak jatuh dari langit.
Tap ... tap ... tap ....
"Kerja bagus, kids."
Dua sosok, pria dan wanita, muncul dari sudut gelap ruangan. Tanpa diberitahu, kita tentu sudah bisa mengetahui, siapa mereka. Ya, Master Fantasy dan Miss Dream.
"Harus kuakui, kalian cukup hebat hingga sanggup melewati labirin ini. Sayang, kalian terlalu naif. Terutama kau, Revano Ruden Grada."
Seringai tercipta di wajah keduanya. Perlahan tapi pasti, tangan Master Fantasy terangkat, mengacungkan sebuah pistol yang mengarah tepat pada kepala Revan.
"Sebaiknya kau mengaku, Nona Penyusup. Atau, kau ingin kepala pemuda ini berlubang?" ancamnya enteng.
Infinity maju perlahan, melepaskan atribut penyamaran serupa Galaxy tadi. Rambut hitam sebahu serta mata coklat terang, nyaris serupa kuningan, langsung terpampang. Suara lantangnya menginterupsi pria gila yang hendak melubangi kepala Revan tersebut.
"Daniella Aluna. Seharusnya aku sudah menduga keberadanmu sejak menyadari keberadaan Daniel Calpha," desis Master Fantasy kesal.
"Long time no see, Master. Atau, harus kupanggil Anda, Profesor Albert?"
"P-Profesor Albert?"
Mendengar nama itu, otak Freya seakan menjelajah ke negeri entah berantah. Dirinya yakin pernah mendengar nama itu. Sayang, kapasitas otaknya sangatlah penuh, sehingga butuh waktu yang tidak sedikit untuk mencarinya.
"Frey?"
Menyadari perubahan raut Freya membuat Violla dan Revan khawatir tidak karuan. Violla menyentuh bahu gadis itu, berusaha menyadarkannya dari lamunan.
"Frey! Woy! Sadar Frey!"
Bentakan Revan dari dalam jeruji besi seperti angin lalu bagi Freya. Otaknya benar-benar telah menjelajah terlalu dalam, mengabaikan lingkungan sekitarnya.
"Sialan! Lo apain si Freya, hah?!"
Bugh.
Bugh.
Tak.
Seakan kesetanan, Revan memukul dan menendang pilar-pilar logam yang mengurungnya. Emosi pemuda itu mencapai puncak saat melihat tatapan kosong Freya.
Yang lain juga tidak kalah emosinya dari Revan. Jika saja pria sialan itu tidak menodongkan pistolnya ke kepala Revan, sudah pasti dia akan dikeroyok masal.
"Ketemu. Profesor Ariendra Liam Berto. Ilmuwan yang telah terjerat 7 kasus. Kasus terakhirnya, dugaan pembumihangusan gedung apartemennya sendiri di wilayah Jakarta Timur. Dalam tragedi tersebut, hanya ada tiga korban selamat, yang masing-masing mengalami cidera serius."
Semua semakin khawatir. Mata mereka menatap Freya dengan pandangan tidak terdefinisikan.
"Frey, lo ke—,"
"Daftar nama korban selamat; Gina Lestari—istri pelaku, Aqilla Putri Nabila—anak tiri pelaku, dan Frey—,"
Nafas Freya tercekat. Seringai Master Fantasy, atau mungkin Profesor Albert, terlihat jelas. Matanya menatap remeh pada Freya yang kini gemetar.
"Ada apa? Apa kau tidak mau meneruskannya?"
"Gak usah didengerin, Frey," desis Violla yang sudah menangkap maksud Freya tadi.
Gadis itu menarik Freya perlahan, berusaha melindungi siswi termuda itu di balik punggung mungilnya. Matanya menatap pria di hadapannya dengan tatapan nyalang. Cengkramannya di lengan Freya semakin kuat, menandakan seberapa emosinya gadis ini.
"Cukup basa-basinya, Profesor. Lebih baik serahkan dirimu secara sukarela agar tidak ada korban jiwa," kata Infinity tenang, tapi penuh penekanan.
"Baiklah, biar aku saja yang teruskan kalau begitu. Korban selamat ketiga, Freya Xaquila Ariendra—putri kandung pelaku."
1030 kata
13 Agustus 2021
____________________________________________________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top