27 - Strategi (part 1)

"Segala sesuatu di dunia, pastilah memiliki tugas dan perannya masing-masing. Jangan merasa tidak berguna, karena sikap itu sama saja dengan kau menyalahkan Tuhan Yang Maha Agung atas penciptaanmu."

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

Berhubung tiga belas remaja terpilih ini sedang bekerja dalam empat kelompok terpisah, mari kita ikuti satu persatu. Sebagai permulaan, kita ikuti tim dengan jumlah anggota paling sedikit, pasangan Violla-Revan.

Mereka sedang mengobrol ringan sambil menyusuri jalanan sore yang lengang. Sekilas, keduanya seperti sepasang kakak beradik yang sedang jalan-jalan sore menuju taman, padahal mereka adalah teman sekelas yang sedang bermain bersama.

"Btw Vi, lo kesambet apa hari ini? Tumben-tumbenan ngajak main basket," tanya Revan sambil berjalan.

Seperti rencana awal, mereka menuju lapangan basket yang ada di taman kompleks tempat tinggal Halza. Sambil sesekali memainkan bola, keduanya mulai terlibat percakapan yang serius.

"Emangnya gak boleh, Kak?"

Revan menggaruk pelipisnya canggung, bingung harus menjawab seperti apa.

"Yha ... bukan gitu sih. Maksud gue, lo kan gak suka kegiatan fisik, kok tumben ngajak basket."

"Gue ahli beladiri kalau lo gak lupa, Kak. Gue sebenernya suka kegiatan fisik, tapi mager aja kalau di sekolah."

"Dasar an—"

Bugh!

"Sial*n lo! Gue nyungsep kan jadinya!? Ngapain sih nendang-nendang?!"

"Cuma mastiin kalau lo beneran tahan banting."

"Ya gak gini juga, Violla!!"

Kekesalan Revan terlihat jelas. Sambil membersihkan debu yang menempel, pemuda itu berdiri, menatap tajam tepat di maniknya.

Violla tidak gemetar, tidak pula takut. Justru, dia berjongkok, membersihkan luka di lutut Revan dengan air minumnya. Setelah selesai, saputangan merah muda bergambar beruang kutub menutup apik luka itu, mencegah infeksi.

Hati Revan menghangat. Meski dia tidak merasakan sakit akibat luka itu, tapi tetap saja perhatian kecil Violla membuatnya senang. Emosinya tadi menguap perlahan, membuatnya lupa jika gadis yang sama dengan yang mengobati lukanya adalah penyebab dari lukanya sendiri.

Begitu sampai, mereka langsung bermain karena kebetulan lapangan sedang lengang tanpa pemakai. Permainan berlangsung berat sebelah. Revan berulang kali mencetak angka sementara Violla terlihat malas untuk mengejar.

Ini aneh, bukankah tadi Violla yang mengajak? Mengapa jadi Revan yang bersemangat?

Setelah mencetak angka untuk yang kesekian kalinya, Revan berhenti. Dia mendekati gadis yang sedang mengatur napas itu. Sambil menyodorkan botol airnya—botol air Violla sudah kosong karena dipakai untuk mengobati kakinya—Revan mengajukan pertanyaan yang mengganjal di otaknya.

"Vi, tadi kan lo ngajak main, tapi kok lo juga yang gak niat?"

Violla tidak langsung menjawab. Dia mendudukkan dirinya untuk beristirahat sambil menenggak air pemberian Revan, menyisakan setengah botol saja.

"Ini Kak, thanks. Sebenernya, gue ogah sih main basket," kata Violla lempeng.

Kalimat barusan spontan membuat emosi Revan bangkit. Ekspresi kesal tercetak jelas di wajah yang dipenuhi banyak bekas luka tersebut.

"Bangs*t! Terus ngapain nyeret gue ke sini?!"

"Ada yang mau gue diskusikan sama lo, tapi ini gak boleh didenger yang lain. Makanya gue pakai alasan basket."

Kening Revan berkerut samar. Dia menatap Violla bingung. Menyadari kebingungan temannya, Violla mengajak pemuda itu duduk di bangku pinggir lapangan, bersiap memulai obrolan serius.

"Jadi?"

Helaan napas terdengar. Otak Violla berpikir sangat keras, terlihat dari matanya yang terpejam erat. Perlahan, perempatan di dahinya memudar seiring dengan munculnya netra yang tertutup kelopak tadi. Di saat yang sama, Violla mulai menjelaskan.

"Gue tahu ini agak licik, tapi gue mau manfaatin lo, Kak."

"Manfaatin gimana?"

"Lo menderita CIPA, jadi lo kebal sakit. Gue mau lo jadi tameng gue."

"CIPA? CIPA apa? Perasaan gue gak sakit," heran Revan.

"Hadeh .... Gini ini kalau be*o dipelihara. Lo kan gak bisa ngerasain sakit, nah kelainan itu tuh namanya CIPA, Kakak Revanku sayang .... Hih, gemes deh."

"Ah, gitu rupanya."

Violla mendengus geli. Sungguh, berbicara dengan pemuda pemilik IQ tertinggi di X-Class sangatlah menguras kesabarannya. Dia kembali mengajukan pertanyaan yang sama.

"Jadi, gimana? Lo mau kan, jadi tameng gue?"

Revan tersenyum tipis. Sepertinya pemuda ini sedikit banyak mulai paham dengan alur yang Violla buat.

"Dari dulu gue emang tamengnya X-Class, Violla," jawabnya tenang.

"Kali ini, gue mau lo jadi tameng gue. Gue ada feeling kalau ujian kali ini bakal banyak pertarungan dan gue ada urusan lain yang harus gue lakuin."

"Urusan? Urusan apa? Coba cerita, barangkali gue bisa bantu," desak Revan.

"Maaf, gue gak bisa cerita kalau itu. Bukannya mau main rahasia sama anak-anak X-Class, tapi gue gak mau kalian kena masalah. Ini bahaya buat kalian, tapi aman buat gue. Maka dari itu, tolong lindungi semua tindakan gue nanti."

Senyum tipis terukir di bibir bertindik itu. Senyum yang sangat tipis yang nyaris tidak terlihat jika mata pengamat tidaklah jeli. Tangan Revan terulur, mengusap surai Violla lembut, menarik gadis itu ke pelukannya.

"Lo tahu gak, Vi?"

Violla mendorong pelan dada bidang Revan, memberi jarak agar dapat berbicara. Wajah datarnya menyiratkan kebingungan yang berhasil dia samarkan sebaik mungkin.

"Ada apa, Kak?"

"Tanpa lo minta sekalipun, gue gak akan pernah nentang apapun yang kalian, tim A lakuin. Lo tahu kenapa?"

Gelengan menjadi jawaban Violla. Sungguh, gadis itu terlihat sangat imut dan polos saat ini, persis seperti anak-anak. Dengan gemas Revan memeluk Violla layaknya boneka.

Violla sendiri tidak keberatan, dia senang mendapat perlakuan dan perhatian lebih dari Revan. Rasa haus kasih sayangnya membuat Violla membalas pelukan Revan sambil menunggu jawaban pemuda itu.

"Karena cuma kalian yang mau mahamin gue. Kalian gak pernah protes kalau gue berbuat seenaknya. Kalian juga gak pernah marah waktu gue buat salah. Bahkan, kalian selalu ngelindungi gue di setiap keadaan. Itu hal yang penting banget buat gue yang gak gue dapat dari keluarga gue sendiri."

Senyum tulus terbit di wajah Violla. Ada rasa bahagia berlebih karena dianggap penting oleh orang terdekatnya. Sungguh, Violla tidak pernah merasa menjadi sosok sepenting ini sebelumnya.

"Dan lo tahu Vi?"

"Apa lagi, Kak?"

"Bukan cuma gue yang nganggep lo penting."

Wajah Violla mendadak keruh. Satu dengusan lolos begitu saja seiring emosinya yang memuncak.

"Kalau bohong kira-kira, Kak!"

"Gue gak bohong, Violla."

"Keluarga gue aja gak berharap gue ada, mana mungkin orang lain nganggep gue penting buat mereka?" ketusnya. Air mata tampak mulai menggenang di pelupuk Violla, membuat Revan kembali menariknya dalam pelukan hangat.

"Dikasih tahu kok ngeyel sih. Nih ya, semua anggota tim A juga ngerasa sama. Lo itu penting buat kita."

1005 kata
14 Juli 2021

____________________________________________________________________________

(≧▽≦)Kamus mini cerita(≧▽≦)

CIPA : Singkatan dari Congenital insensitivity to pain atau disebut juga sebagai congenital analgesia adalah istilah medis untuk kondisi di mana seseorang tidak merasakan sakit sama sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top