23 - Harmoni Sang Musisi

"Melodi terindah bisa tercipta dari harmoni persahabatan yang tulus mengalun di kala senang dan susah."

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

Selamat pagi!
Pagi yang cerah, bukan?

Sayang, senyuman sang mentari belum cukup lebar untuk memancing lengkungan di bibir seorang pemuda—Alvand.

Pemuda jangkung itu terlihat bimbang. Tangannya memegang selembar kertas dengan logo IKJ di kop suratnya, tetapi wajahnya tidak menunjukkan raut bahagia sama sekali.

Menutup mata sejenak, Alvand melipat asal kertas tersebut, menyimpannya di saku dalam bagian atas almamaternya.

"Bun, Yah, Zahr harus apa?" katanya lirih pada diri sendiri.

Entah apa yang terjadi pada musisi kebanggaan SMA Chase ini. Hari masih pagi, tapi pemuda tertua di sekolah elite itu sudah murung.

Alvand terlihat frustasi, bersandar dengan bahu turun. Lama berpikir, pada akhirnya pemuda itu kembali bergumam sendiri.

"Pikir nanti saja dah."

Dia mulai melangkah. Mari kita ikuti Alvand yang tengah menuju ke kelas unggulan—X-Class.

Langkahnya berat, meski begitu dia tetap pergi. Di kelas, teman-temannya sudah lengkap, sedang berkumpul di karpet beludru di belakang kelas.

Setelah meletakkan tas, pemuda itu mendekat, mencari tahu apa yang tengah dikerjakan sembilan remaja itu.

"Selesai."

"Yha, aku kalah. Kak Hasna cepat sekali!"

Alvand tersenyum tipis melihat kelakuan mereka. Keberadaan sembilan remaja itu rupanya lebih kuat dari sinar mentari, sanggup membuat Alvand senang walau hanya sedikit.

"Eh? Udah dateng, Bang?" Thariq yang pertama menyadari keberadaannya. Yang lain ikut menoleh, menatap Alvand penuh tanya.

"Huum. Sepuluh menit lalu. Kalian ngapain, seru banget kayaknya," jawab Alvand duduk di sebelah Halza.

Tanpa canggung, gadis itu menyandarkan kepalanya ke lengan kokoh Alvand.

"Itu Bang. Si Freya lawan Hasna, ngelipat origami laba-laba."

"Bang, coba lihat origaminya Kak Hasna. Gi*a Bang, rapi banget. Kayak bukan origami," kata Halza.

"Iya, bagus. Lo emang jago, Na."

"Tahu, tuh," kesal Freya.

"Kenapa ngambek, hm? Itu origami lo juga bagus kok. Coba selesaikan, gue mau lihat," hibur sekaligus puji pemuda itu.

"Tuh, kan. Origami kalian bagus. Gue mah, boro-boro. Buat kincir aja masih bingung."

Perkataan Alvand mengundang tawa mereka. Tawa bahagia yang perlahan menular pada penyebab tawa itu, membuat Alvand tersenyum.

"Nah, gitu dong. Masa ketawa aja, kudu diajari?" guraunya.

"Ya gaklah Bang! Kita bukan bocah," jawab Hasna.

"Oh ya Bang, pulang sekolah kita mau ke puskot. Lo gabung gak?" tanya Thariq tiba-tiba.

Wajah sumringah Alvand berubah sedih. "Sorry, gue gak bisa."

"Yha, sayang. Ya udah deh, kapan-kapan aja," putus Jun.

"Maaf," kata Alvand tidak enak.

"Gak apa Bang, kita maafin. Asal makan siang nanti, lo yang bayar," celetuk Revan yang kembali menghadirkan tawa mereka.

"Gue bayarin, pake duit lo tapi," kata Alvand enteng, membuat tawa mereka semakin kencang.

=/•🗝️• \=

Seorang pemuda berseragam khas SMA Chase sedang berjalan di trotoar minim pengguna. Langkahnya agak tergesa, menandakan bahwa dia sedang terburu. Dia baru bisa bernafas lega saat mencapai sebuah gedung panti asuhan tua.

Setelah menutup gerbang, pemuda itu menuju ke belakang. Dia terus melangkah, mencapai sebuah ruangan dengan nomor 12 di pintunya.

"Assalamu'alaikum." Tangan pemuda itu bergerak membuka pintu, mengiringi ucapan salam yang terlontar.

Di dalam sana, dua orang remaja berbeda gender yang sedang berbincang menghentikan kegiatan mereka.

"Wa'alaikumussalam Kak," jawab si gadis.

"Maaf ya, Kakak telat. Dercy, Aldi, gimana sekolahnya?"

"Kak Zahr tahu, Dercy dapat nilai 100 di ulangan Kimia tadi. Kak Aldi juga dapat 100, malah dapat 100+ karena bisa nemuin kesalahan penulisan dan betulkan kesalahan itu," kata si gadis, Zahrawi Aldercy Zavaa, adik Alvand sekaligus saudara kembar Zahrawi Aldiora Sheza.

"Adik Kakak memang pintar. Aldi gimana? Sudah enakan?"

"Iya. Maaf buat Kakak panik," kata pemuda yang berbaring lemah itu.

Alvand tersenyum. "Kalau Kakak gak panik, berarti Kakak gak sayang kalian, dong?"

"Oh ya, Kakak ada kabar baik." Alvand mengalihkan pembicaraan agar adiknya ini tidak terlalu kepikiran.

"Apa Kak?" tanya keduanya semangat.

Sepertinya usaha pemuda itu berhasil. Kedua adiknya yang tadi murung kini tampak melupakan sejenak masalah yang ada. Mereka menatap Alvand penuh penasaran, menanti kabar baik yang dibawa sang kakak.

Senyum Alvand terkembang sempurna. Dengan gerakan perlahan, pemuda itu mengambil selembar kertas, menyodorkannya pada keduanya.

Aldercy dan Aldiora mengamati susunan huruf di dalamnya. Raut serius mereka terlihat berbinar begitu selesai membaca.

"Kak? Ini serius Kakak keterima beasiswa penuh S2 di IKJ?"

Alvand mengeluarkan raut bangganya, memamerkan diri sambil membusungkan dada.

"Iya dong. Siapa dulu? Kak Zahr gitu, lho!"

"Eh tapi Kak."

"Ada apa Cy?"

"A–aku ... aku terancam dikeluarkan kalau tidak bayar SPP," kata Aldercy lirih.

"D–dokter tadi juga bilang kalau aku harus segera operasi, kalau gak nanti gak ada harapan lagi," sambung Aldiora.

Alvand menghela napas panjang yang terkesan berat. Dia memaksakan seulas senyum pada adik kembarnya.

"Beres itu mah. Serahkan aja ke Kakak."

=/•🗝️• \=

"Beneran gak bisa kah, Van? Gue beneran butuh duit sekarang."

"Sorry Bang, ATM gue masih ditahan bokap. Coba lo tanya Aze, gue bakal telpon Jun. Mereka berdua udah kerja kan?"

"Iya deh, tolong ya. Gue tutup dulu, bye."

Jemari musisi muda itu menari di layar, mencari nama Azery di daftar kontaknya. Yup, setelah menenangkan kedua adiknya, Alvand segera pergi ke taman dekat panti asuhan, menelepon Revan untuk meminta bantuan.

Sayang, ATM Revan yang ditahan saat liburan kemarin belum juga dikembalikan. Revan sebenarnya ingin menolong, tapi kondisinya sendiri sedang kesulitan. Itulah sebabnya, dia menyarankan Alvand untuk menelepon Aze yang memang sudah bekerja dan memiliki penghasilan. Revan sendiri berusaha meminta bantuan Jun yang juga sudah memiliki pundi rupiah dari hasil kerja kerasnya sendiri.

"Halo, Aze?"

"Maaf Tuan Muda Alvand. Tuan Muda Aze sedang sibuk saat ini. Beliau meminta saya menjaga ponselnya untuk sementara waktu. Apa ada yang bisa saya bantu?"

Alvand berdecak pelan. Sungguh, Aze sibuk di saat yang tidak tepat. Dirinya butuh Aze sekarang, bukan saat pemuda itu senggang nanti. Pasrah, pemuda itu kembali menelepon Revan, menanyakan perihal Jun.

"Halo Bang. Gimana Aze? Dia bisa gak? Si Jun gak bisa soalnya. Lagi kerja kayaknya, ponselnya ma—"

Kabar kurang mengenakkan tersebut menjadi awalan serta penutup obrolan mereka di telepon. Saking frustasinya, Alvand langsung memutus panggilan begitu tahu Jun juga sibuk. Di tengah kepasrahannya, sebuah kartu ATM terulur bersamaan dengan suara seorang gadis yang sangat dikenalnya.

"Ini isinya 20 juta, cukup gak Bang?"

Kepala Alvand segera terangkat, hendak memastikan dugaannya dengan mata kepala sendiri.

"Violla? Gimana lo ta—"

"Lo gak lupa sama bakat gue kan, Bang? Cepetan, segini cukup gak?" kesal gadis itu, Violla.

"Gak usah pakai kartu. Gue pinjam 500.000 doang kok, buat bayar SPP-nya Dercy sama Aldi," kata Alvand sungkan.

"Lo pikir gue gak tahu soal pengobatannya Aldi? Ini lo bawa dulu aja Bang, nanti gue minta Oma buat isi lagi."

"Gak us—"

"Tolong Bang. Aldi lebih butuh duit ini."

"Hh ... oke, kali ini aja gue terima. Trims."

"Sama-sama."

1088 kata
02 Juli 2021

____________________________________________________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top