22 - Mata Elang dan Gerakan Kilat
"Tenang, jangan panik. Kau tidak sendiri. Tetap semangat dan teruslah melangkah demi orang-orang yang selalu mendukungmu."
<Re-Search>
=/•🗝️• \=
Sebuah mobil sport terparkir apik di basement hotel mewah. Penumpangnya—Jun dan Nadira—melangkah keluar perlahan, menuju pintu utama. Mereka menjadi sorotan berkat wajah super cantik dan tampan yang kini bersanding bersama, menjadi tontonan gratis para pemuja paras sempurna.
"Selamat datang, Tuan, Nona. Maaf, undangannya," sapa seseorang dengan pakaian staf hotel.
Jun menyerahkan undangan berwarna putih keemasan yang didapatnya dari hasil membobol jaringan sekolah. Sementara pria itu melakukan klarifikasi undangan, Nadira hanya diam mematung sambil memegang lengan kiri Jun canggung.
"Maaf menunggu. Silakan masuk."
Suasana di balik dua pintu kayu jati penuh ukiran rumit itu bak negeri impian yang penuh kemewahan. Lampu-lampu hias menerangi ruangan putih yang memiliki aksen emas di beberapa sudutnya. Berbagai hidangan tertata rapi di meja-meja bertaplak merah, memberikan kesan mewah.
Untuk memperlancar aksi, mereka mengambil beberapa camilan, sesekali juga ikut-ikutan mengobrol dengan para remaja yang ada di sana. Berhubung ini merupakan acara wisuda satu angkatan, tidak ada yang curiga saat mereka merasa asing dengan wajah Jun. Puas mengamati kondisi, mereka mulai melancarkan aksi.
"Sstt .... Aze, toilet," bisik Jun sangat lirih.
"Lurus aja, nanti di kanan sebelah meja makanan ada pintu. Toiletnya di pojok kiri, tangganya di sebelahnya."
"Oke."
Keduanya bergerak bersama, berusaha terlihat senatural mungkin agar tidak dicurigai. Sayang, sikap kaku Nadira dalam memegang lengan Jun membuat beberapa pemuda curiga.
Mereka mengikuti keduanya diam-diam, tapi bukan Jun namanya jika tidak menyadari hal sesepele itu. Jun menyentuh lengan Nadira samar, memberi kode untuk pindah rencana.
"Guys, rencana B," gumamnya.
Mereka terus berjalan ke toilet, begitu telah memastikan Nadira aman di dalam salah satu bilik, Jun memulai aksinya. Dia menatap para pemuda itu—kurang lebih 10 orang—dengan tatapan santai.
"Yo! Ada apa, Bro?"
"Wih, guys. Ternyata bener ya, penyelundup itu gak pernah bisa kabur," ledek pemuda yang sepertinya merupakan pemimpin mereka.
Jun tetap tenang. Dia sama sekali tidak terprovokasi. Benar-benar agen hebat.
"Well, berhubung ketahuan, mending to the point aja deh. Lo pada ... penyelundup narkoba, kan?"
"Sikat, guys."
Perkelahian tak terelakkan. Satu lawan sepuluh, jelas saja ini tidak seimbang. Di saat Jun berhasil menangkis satu serangan, balasan berlipat ganda dia dapatkan. Sungguh, Jun merasa dipojokkan kali ini. Dia kewalahan dengan tubuh yang telah babak belur.
Shut!
Tak!
"Argh ...."
Satu pemuda tumbang akibat sesuatu menyerang titik vitalnya. Untuk mengetahui penyebabnya, mari kita mundur beberapa saat setelah Nadira masuk toilet, mengikuti gadis itu.
Nadira mengunci bilik toilet yang menjadi tempat persembunyiannya. Untuk tambahan, gadis itu juga memasang kunci tambahan pada pintunya yang otomatis melapisi dinding biliknya dengan lapisan antipeluru.
"Hasna, Halza, Aze. Kasih gue gambaran lokasi perkelahian mereka. Gue ada ide," katanya sambil memasang senyum misterius.
Selagi menunggu datanya terkirim, Nadira memainkan besi silinder semacam jarum yang panjangnya setara dengan setengah pensil kayu.
"Kak, datanya sudah masuk. Apa rencana lo? Apa perlu gue bilang ke Kak—"
"Gak usah, Za. Bisa diem sebentar? Gue mau ngitung."
Nadira menutup matanya sambil menggumamkan berbagai angka dan satuan yang tentunya membuat kepala pening. Entah mengapa dia malah melakukan itu di saat genting seperti ini. Begitu matanya terbuka, jarum tadi dilemparkan sedemikian rupa hingga terdengar pekikan dari luar.
"Argh ...."
"Bagus. Satu sudah, kurang sembilan lagi."
Kembali ke pertarungan.
Jun tersenyum bangga karena ada bantuan yang dia yakini Nadira pelakunya. Meski badannya sudah babak belur, semangat Jun kembali terpacu. Posisi Nadira ada di bilik kamar mandi, membuat mereka tidak bisa melukainya.
Tak!
Tak!
Tak!
"Sial! Siapa sih?! Keluar lo!"
Senyum Jun makin lebar. Jemarinya yang penuh memar dan luka itu bergerak perlahan, mengetik pada keyboard imajinatif.
Nadira, keluar dari pintu bilik sisi satunya. Aze, kunci semua akses begitu Nadira keluar. Van, panggil polisi, kasihin lokasi gue.
Nadira menurut. Dia membuka pintu seberang dengan perlahan, berusaha terlihat natural sewajarnya orang dari toilet. Sayang, dirinya harus bertemu sial.
Lima orang gadis dengan pakaian ketat kurang bahan menyegatnya. Mereka mengitari gadis malang itu tanpa ada yang melarang. Yha, bagaimana bisa ada yang melarang jika saat ini di ruangan hanya ada mereka berenam?
Nadira berusaha terlihat tenang walau sebenarnya dia sudah sangat ketakutan. Oh, ayolah. Sudah sendirian di tempat asing, dikepung orang tak dikenal, dikeroyok massa pula. Siapa yang tidak takut coba?!
"Icha, dengerin gue. Lo gak sendiri. Kita semua ada sama lo. Tutup mata lo, rilekskan diri. Coba pakai lagi bakat lama lo," kata Thariq tiba-tiba, meredam sedikit ketakutannya.
Nadira menurutinya. Mata gadis itu tertutup, membuat penglihatannya menjadi jauh lebih luas.
Benar, kalian tidak salah membaca. Nadira sebenarnya terlahir dengan mata cacat, memaksanya untuk melatih indra lain agar tetap dapat melihat. Saat itulah sang bunda mengajarinya konsep teropong termal, yang berhasil Nadira terapkan untuk membantu penglihatan. Bakat termal ini jugalah yang menariknya masuk ke dalam kegilaan ini—ke dalam X-Class yang dipenuhi monster.
"Syukron, Ibrahim," bisiknya.
Tangan kanannya segera bertindak—mengeluarkan jarum lain dari sela lengan bajunya—melukai seorang gadis yang ada di kanannya. Di saat konsentrasi semua lawannya terfokus pada korban pertama dan tangan kanannya, tangan kirinya melemparkan dua jarum lagi yang telak mengenai titik vital kedua gadis di belakangnya.
"Tiga beres, tinggal kalian doang berarti," katanya tenang sambil membuka mata.
"Oh ya, thanks udah mau pakai baju kurang bahan, suhu tubuh kalian jadi lebih gampang dirasakan. Sekarang—"
Dua buah jarum sudah siap di masing-masing tangannya. Nadira menatap mereka intens sambil mengukir sebuah senyum—senyum misterius yang menyeramkan.
"Mimpi indah."
Shut!
Tak!
"Kelar, deh. Ibrahim, gue OTW."
Di sisi lain, Jun juga sudah selesai meringkus sepuluh pemuda yang menjadi targetnya. Tak lama berselang, terdengar bunyi sirine diikuti suara megaphone yang menggema di seluruh ruang.
"Kalian terkepung! Jangan membantah dan serahkan diri kalian secara sukarela."
"Ah, sayang polisinya dah dateng, padahal gue masih mau ngopi. Well, kalau gitu gue cabut dulu. Miss direction," kata Jun. Setelahnya, pemuda itu lenyap tak terlihat.
Ah, pasti pemuda ini menggunakan kombinasi antara auranya yang tipis, kecepatan larinya yang mencapai 40 km/jam, dan skill miss direction—kemampuan untuk mengalihkan perhatian orang-orang di sekitar pada objek yang ditentukan—yang membuatnya lenyap dari pandangan.
Benar-benar sekumpulan monster!
1003 kata
02 Juli 2021
____________________________________________________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top