18 - Prinsip Sang Berandal
"Nakal itu bukan keburukan. Banyak manusia yang nakal, tapi disanjung orang. Tentu saja nakal yang itu ada syaratnya. Boleh nakal, asalkan tetap tahu aturan."
<Re-Search>
=/•🗝️• \=
Tok ... tok ... tok ....
"Permisi."
Seorang remaja dengan seragam olahraga SMA Chase terlihat mengintip dari luar pintu depan ruang X-Class. Dari sikapnya, kita bisa simpulkan bahwa pemuda ini bukan siswa kelas X-Class.
Sebagai ketua kelas, Thariq mendekat, bermaksud menanyakan tujuan pemuda itu. Pada akhirnya di ambang pintu terjadi obrolan singkat antara keduanya.
"Lho, Faza? Lo cari Revan?" tanya Tahriq.
"Iya, Riq. Hari ini latihan, tapi Revan gak ada di lapangan indoor. Dia udah dateng belum?" jawab pemuda bernama Faza itu.
Sebentar, ini Faza yang sama dengan pemuda di kantin hari itu, bukan? Ah, ternyata benar, itu Faza yang sama.
"Oh .... Bentar, gue panggilin. Van! Di cari Faza, latihan sana."
"Gue pass."
Tidak disangka-sangka, Revan yang terkenal hobi olahraga malah menolak. Dia mengabaikan teriakan Thariq dan memilih lanjut tidur.
"Revan, latihan dulu. Jangan ngerepoti ketua klub."
"Berisik Bang! Gue gak mau," kesal pemuda bertindik itu.
"Kak, jangan belagu. Lombanya akhir minggu ini. Sekolah kalah, lo tanggung jawab," kata Violla.
"Ini juga! Emang lo tahu apa soal gue hah?! Coba aja lo yang kerja seharian di toko bangunan."
"Ngapain lo kerja? Usaha bokap lo bangkrut?" Hasna bertanya, mewakili rasa penasaran yang lain.
"Kartu ATM gue disita sejak liburan. Gue kerja buat bayar SPP be*o."
"Gobl*k. Lo ngapain aja sampe disita tuh kartu?" Gantian, kini Thariq yang bertanya dengan nada kaget yang ketara.
Melihat perdebatan yang terjadi membuat Faza menjadi sungkan. Padahal, perdebatan seperti ini adalah hal wajar di X-Class.
"Mm ... kalau emang capek gak usah, deh. Kasihan Revan," kata pemuda itu.
"Revan, masa Faza sudah bela-belain jemput ke sini, tapi lo gak pergi. Kasihan Faza, elah," nasehat Alvand lembut.
"Ck. Iya, iya, gue latihan. Puas?!"
Pemuda itu berdiri dengan sedikit mendorong mejanya karena kesal. Tanpa malu, dia melepaskan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya di kelas. Selesai berganti pakaian, Revan menuju ke arah pintu depan, menghampiri Faza.
"Ayo."
Setelah Revan dan Faza pergi, Bu Indri datang, memulai pembelajaran. Pelajaran biologi yang dibawakan kali ini membahas mengenai sel yang tentunya terlalu membosankan untuk kita ikuti, jadi ayo kita pergi ke lapangan indoor mengikuti latihan preman kesayangan kita.
Lapangan indoor sangatlah ramai oleh teriakan-teriakan para pemain yang sedang dibakar semangat. Dari belasan pemuda yang tengah berlatih itu, ada Revan dan Faza yang sedang berlatih berdua secara terpisah.
"Van, kalau lo beneran capek tolong bilang ya. Gue gak mau lo pingsan lagi kayak waktu kita SMP dulu," kata Faza sambil melakukan passing.
"Yang pas kita kelas 8? Gak bakal lagi kok, In Syaa Allah."
"Yakin? Jan—"
"Tenang aja, gue udah sehat kok."
"Hh ... okelah, serah lo aja. Susah emang ngomong sama tukang fotokopi."
"Sialan lo," kesal Revan.
Hm ... sepertinya ini perlu diselidiki. Apakah gerangan yang terjadi saat Revan SMP? Oke, mari kita kuak sedikit informasi pribadi pemuda itu.
Revano Ruden Grada ini adalah sulung dari dua bersaudara. Adik sekaligus kembarannya, Revalina Renna Grada merupakan seorang gadis yang sangat cerdas tapi manja.
Kondisi keluarganya yang sedari dulu ingin memiliki seorang putri membuat Revan kerap kali mendapat diskriminasi. Tidak, Revan tidak sedih akan hal itu. Dia sendiri juga sangat memanjakan adiknya, mengingat sang adik merupakan satu-satunya saudara yang dia miliki.
Yang sering membuat Revan sedih adalah sikap kasar sang ayah padanya. Padahal, Revan menderita kelainan yang membuatnya tidak bisa merasakan rasa sakit.
Keadaan semakin memburuk saat Revan masuk kelas 8. Revan menjadi pemain inti di klub basket dan futsal di SMP-nya. Tidak ada siapapun yang mengetahui perihal kelainan yang dialami Revan kecuali Faza, sahabatnya sejak kecil.
Hari itu, sekolah mereka mengikuti turnamen basket tingkat provinsi. Seperti biasa, dua sejoli itu menjadi pemain inti sekaligus pemain yang bermain di awal pertandingan. Namun sayangnya, hari sebelumnya Revan baru saja bertanding futsal, membuat tubuhnya tidak fit.
Sayang, Revan yang tidak bisa merasakan rasa sakit tidak menyadari jika dirinya sakit. Oleh karena itu, dirinya tetap ikut bertanding di turnamen basket.
Di tengah pertandingan, kondisi Revan mulai memburuk. Wajahnya pucat walau dirinya tidak merasakan apapun. Sebenarnya sang sahabat sudah menyarankan pada Revan untuk bertukar dengan pemain cadangan, tapi karena kondisi tim sedang terpojok, Revan tetap ngotot bermain.
Pada pertengahan kuarter kedua, Revan yang hendak melakukan dunk, langsung jatuh terkapar tak sadarkan diri. Pertandingan dihentikan dan pemuda itu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan.
Setelah seminggu koma, pemuda itu terbangun dan mendapati Faza serta seorang pria yang mengaku bernama Master Fantasy yang menungguinya. Tanpa babibu, keduanya diundang ke SMA Chase meski tidak ditempatkan dalam satu kelas yang sama.
=/•🗝️• \=
Matahari sudah tampak lelah setelah bekerja sepuluh jam tanpa henti. Jarum jam membentuk sudut 30°, pukul setengah empat sore.
Terlihat seorang remaja dengan tindik di bibir kanan serta segaram berantakan tanpa jas almamater sedang duduk termenung di kursi taman. Tangan kanannya memegang sekaleng minuman soda, sementara tangan kirinya sibuk mengacak-acak rambut lepek nan berantakan miliknya.
"Argh .... Sialan! Kok bisa-bisanya gue tadi salah shot, sih?! Pasti gara-gara si Faza bahas masalah itu," katanya penuh emosi sambil menengadah.
Lelah memandang langit, pandangan pemuda itu beralih menatap sekitar. Pemilik netra gelap itu melebarkan pupil matanya saat melihat tiga orang pemuda mengganggu seorang gadis SMA.
Tanpa pikir panjang, dia meremas kaleng minumannya hingga tak berbentuk, melemparkan benda itu ke arah para pemuda tadi. Kakinya juga tidak tinggal diam, berlari ke lokasi kejadian.
Tak!
"Sia—"
Bugh!
"COWOK BANGS*T! Lo gak apa?" Setelah memberi bogem mentah serta umpatan keras pada salah satu dari dua yang tersisa, Revan berjongkok di depan si gadis.
"I–iya."
"Alhamdulillah. Mending lo pergi. Tuh sampah, urusan gue."
Gadis itu tentu tidak menolak. Meski tampang Revan seram, dia menangkap niat baik pemuda itu. Setelah mengucap terima kasih, si gadis pergi secepat yang ia bisa, meninggalkan mereka.
Tidak terima mangsanya kabur, dua pemuda yang ada menarik kerah kemeja yang dipakai Revan, mengunci kedua tangannya di samping tubuh.
Revan tetap diam dengan ekspresi tenang, tidak takut sama sekali. Pemuda terakhir—si bos—menatap Revan remeh.
"Sok jadi pahlawan sih. Sekarang mau ngapain lo?" tanyanya dengan nada merendahkan.
"Kok diem? Takut? Kalo takut kenapa tadi nggretak kita-kita?"
Revan berdecih pelan. Matanya menatap badge pemuda di hadapannya.
SMA Satu Atap? Pantes, batinnya remeh.
"Gue kasihan sama lo. Cowok mental rempeyek. Beraninya cuma sama cewek, keroyokan lagi."
"Bangs*t. Kasih pelajaran nih bocah."
Bugh!
Dak!
Brak!
Kesunyian sore itu ternodai oleh suara pukulan serta tendangan. Ketiga pemuda tadi menghajar Revan habis-habisan yang tidak dibalas sama sekali oleh si pemuda.
Puas menghajar, mereka mendorongnya hingga jatuh tersungkur dengan tubuh penuh luka.
"Rasain! Sok jagoan."
"Udah?"
Terkejut? Ya, itulah reaksi ketiga remaja yang sedang bersama Revan sekarang. Revan bertanya dengan nada tenang tanpa ketakutan maupun kesakitan, bahkan masih sanggup berdiri tegak dan membersihkan debu yang mengotori seragamnya.
"Lo—"
Ketiga pemuda tadi tidak bisa berkata-kata. Kalimat mereka menggantung tanpa kelanjutan. Kini keadaan berbalik, Revanlah yang tersenyum miring sambil menyorot remeh.
"Lumayan juga. Salut gue, tapi—"
Maniknya menguliti sosok di depannya.
"—sayang pada gak punya otak," makinya.
Pemuda yang merupakan bosnya itu tidak terima dengan hinaan Revan. Dia melancarkan sebuah tinjuan yang ditangkap Revan dengan mudah, seperti menangkap udara kosong.
"Siapa lo, hah?!" kesal pemuda tadi sambil menarik paksa tangannya. Tentu saja, pertanyaan tersebut membuat seringaian seorang Revano semakin lebar.
"Berhubung lo tanya—"
Tangan lainnnya bergerak merogoh saku celana, mengambil sebuah pin bulat berwarna emas. Diangkatnya pin itu sebatas dada untuk dipamerkan.
"—kenalin. Gue Revano Ruden Grada, premannya X-Class SMA Chase," katanya diakhiri seringai.
=/•🗝️• \=
"Revan?!"
"Itu kenapa?!"
"Lo kenapa, Van?!"
"Gila! Lo habis berantem sama siapa lagi, bangs*t! Muka babak belur gitu."
Teriakan khawatir bernada setengah menghina menjadi sambutan pemuda bertindik itu pagi ini. Pemuda yang datang dengan khasnya—seragam berantakan tanpa jas almamater—muncul dalam keadaan penuh luka di area sekolah.
Tidak, dia tidak terkejut—tidak juga marah. Dia menyukai kekhawatiran teman-temannya yang menjelaskan seberapa pedulinya mereka. Karena itu juga, dia hanya berdeham dan duduk di bangkunya—tanpa menjawab mereka.
"Revan, kita tanya baik-baik. Lo kenapa? Ada yang cari masalah sama lo atau lo yang buat ribut?" Kehebohan satu kelas diulang oleh Alvand dengan bahasa yang lebih lembut.
"Habis ngasih pelajaran cowok rempeyek dari SMA Satu Atap, Bang."
"Gi*a! Lo gepukin anak orang?!"
"Salah sendiri. Ya kali cowok bertiga ngeroyok cewek. Malu-maluin."
Seulas senyum terbit di wajah teman-temannya. Inilah hal baik dari seorang Revano Ruden Grada yang mereka sukai.
Revan memang nakal, kepribadiannya juga sangat kasar. Semua sepakat soal itu. Akan tetapi, rasa hormat Revan pada yang lebih tua serta rasa solidaritasnya yang tinggi ini tiada duanya.
"Be*o. Lain kali kalau mau ngehabisin snack ajak kita juga, lah," kata Thariq sambil menepuk pelan pundak Revan—takut menyakitinya.
"Bener Kak. Gue juga suka kali kalau rempeyek," imbuh Halza.
"Ayo aja kalau gue mah, tapi lo pada kan gak suka snack begituan. Apalagi si bocil, noh," kata Revan sambil menunjuk Freya dengan dagu.
"Kalau snack seperti itu aku suka Kak. Apalagi kalau snack-nya lembut dan mudah dihancurkan."
"Oke deh. Nanti pulang sekolah kita samperin pabriknya langsung."
"Siap, Bos."
1502 kata
25 Juni 2021
____________________________________________________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top