08 - Zahrawi yang Lain
"Banyak yang bilang, hidup itu takdir. Jenius atau bodoh, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua sudah digariskan. Kita tidak boleh mengelaknya, hanya bisa pasrah padanya. Bukankah ini terlalu konyol? Akal sehat dan logika tidak bisa menerimanya. Coba bayangkan, mengapa pula kami harus pasrah, di saat kami masih bisa berusaha?"
<Re-Search>
=/•🗝️• \=
Lihatlah, dua belas remaja itu kini tengah berjalan bersama. Selepas makan siang tadi, X-Class menepati janji mereka untuk mengajak Lula dan Lidya berkeliling sekolah, melakukan tur kecil untuk melihat kemegahan SMA terbaik di Nusantara.
Tujuannya sebenarnya cukup mulia, memperkenalkan SMA Chase pada orang luar, sekalipun mereka berasal dari sekolah saingan. Tujuan lain dari tur ini juga untuk menunjukkan, seberapa majunya SMA Chase yang selalu diagung-agungkan Indonesia, yang digadang-gadang tidak ada saingannya di dunia.
Akan tetapi, dibanding tur pengenalan lingkungan sekolah ... mereka lebih mirip seperti petugas keamanan yang tengah berpatroli karena sama sekali tidak mengobrol. Sungguh, saking canggungnya mereka, suara detik jam di lorong dan denyut nadi mereka bahkan terdengar lebih keras.
Entahlah. Lula dan Lidya terlalu sungkan untuk memulai obrolan, sementara Thariq sama sekali tidak berniat untuk menjelaskan ruang-ruang yang mereka lalui karena setiap sudut sekolah sudah diberi papan nama, termasuk lorong dan lapangannya. X-Class yang lain juga merasa tidak berhak berbicara mendahului pemimpin mereka, mengingat ide tur ini adalah idenya.
"Mm ... jadi, sekarang apa?" tanya Halza canggung.
"Entahlah. Kita sudah berada di ujung sekolah," balas Thariq cuek.
Lihatlah kelakuan mereka. Bagaimana bisa mereka betah berkeliling sekolah super luas dan super megah ini dalam keheningan?! Sungguh, mereka benar-benar sekumpulan anak ajaib.
Sikap Thariq membuat Lidya dan Lula melongo tidak percaya, sementara sembilan kawannya menggeleng tidak habis pikir dengan kelakuan pemimpin mereka.
Lama diselimuti keheningan, terdengar suara jentikan jari dari Alvand disertai wajahnya yang seakan mengingat sesuatu hal penting.
"Oh ya, Lula, Lidya. Gue boleh tanya gak?" katanya langsung.
"Tanya aja, Kak Alvand."
"Kalian di Himekara kelas apa?"
Hening lagi.
Wajah Lula dan Lidya memucat, persis mayat. Terlihat juga keringat yang mulai menetes perlahan, dibarengi tatapan mata keduanya yang tak tentu arah, kebingungan.
Hal tersebut disadari oleh yang lain, menghadirkan tanya di benak yang tertahan tanpa berani untuk disampaikan. Mereka saling tatap dengan wajah bingung seakan bertanya penyebab dari paniknya kedua tamu mereka.
Alvand tentu juga menyadari hal tersebut. Otaknya segera berpikir, mencoba mencari tahu penyebab kepanikan mereka di otak jeniusnya. Tak lama setelahnya, wajah Alvand berbinar dengan seulas senyum tampan yang terpampang.
"Ah, gue tahu. Lo berdua kelas Magician kan?" katanya spontan.
Terlihat jelas jika keduanya sangat terkejut. Badan mereka sedikit tersentak diikuti mata yang membola. Tidak jauh berbeda dengan Lula dan Lidya, sembilan Chaseiro-X yang lain juga tidak kalah terkejutnya. Kebingungan di benak mereka semakin menjadi, yang akhirnya tersalurkan melalui pertanyaan Lula.
"K–kok tahu?"
"Iya juga. Gue ... kok tahu, ya?" kata Alvand dengan raut kebingungan.
Kedua gadis itu menampilkan raut panik yang makin ketara. Mereka menatap Alvand was-was, seakan Alvand adalah sesosok monster menyeramkan.
Sesaat setelahnya, tawa Alvand mengudara, membuat para gadis di sekitarnya, kecuali X-Class tentunya, terpana dan terpesona.
"Gue alumni Himekara, kelas magician juga."
"Serius, Kak? Nilai MMP kelulusan Kakak berapa?" tanya Lidya berbinar.
"1000 attack, 750 defense, 500 healing."
"Hah?!"
Kedua siswi Himekara itu melongo tidak percaya. Mereka saling tatap sejenak sebelum akhirnya Lidya mengajukan sebuah pertanyaan konyol.
"Nama Kakak siapa?"
"Nama gue? Gue Alvand. Perasaan Thariq udah bilang, deh, tadi," tanya Alvand heran.
"Nama lengkap maksudnya."
"Gue Zahrawi Alvand Syahreza. Kenapa emangnya?"
"Sebentar. Zahrawi Alvand Syahreza ... Zahrawi Alvand Syahreza ... ah! Zahr! Ternyata Kakak kakaknya—"
"Skrati vrijeme."
Eh?
Eh?!
EH?!?
B–bagaimana bisa??
A–Alvand tadi berada di posisi paling belakang, mengapa sekarang dia berada di depan? Di samping Lula dan Lidya pula.
Apa pula maksud kalimat aneh yang diucapkan Alvand tadi?
Ska?
Skra?
Sta?
"Bang, lo kok tiba-tiba di situ? Tadi juga lo ngomong apaan? Aneh banget Bahasa lo," kata Revan spontan saking herannya.
"Lo yang gak ngeh pas gue jalan sini," kata Alvand.
"Soal bahasa barusan, coba tanya Thariq. Itu salah satu bahasa di Bumi kok, mestinya kamus satu ini tahu," lanjutnya.
Semua—termasuk kita mungkin—menatap ketua kelas kebanggaan X-Class, menanti jawaban yang dilemparkan oleh Alvand barusan.
"Hh ... itu Bahasa Kroasia. Gue gak begitu bisa bahasanya," jelas Thariq.
"Lo ngapain Bang, segala pa—"
"Ayo balik. Sebentar lagi Pak Bagus mau kasih pengumuman. Beliau kasih kita waktu sepuluh menit buat sampai di kelas sebelum beliau," kata Thariq seenaknya memotong pertanyaan yang hendak diucapkan Revan.
Pada akhirnya mereka berjalan kembali ke X-Class diiringi dumelan panjang Revan, gerutuan tak berujung dari Halza, serta sorakan penuh kagum dari seluruh siswa sekolah.
Jika kalian pikir menjadi idola itu menyenangkan, kalian salah besar. Jika tidak percaya, dengarkan saja omelan lirih Violla ini.
"Tch, kenapa mereka ngajak salaman sama foto mulu, sih?! Untung aja Kak Nadira nyuruh gue ngiyain."
Setelah perjalanan penuh perjuangan, perjalanan yang berulang kali terhenti akibat fans yang memohon sesuatu, mereka sampai di kelas yang ternyata sudah ada Bagus—sang wali kelas—di dalamnya.
"Kalian lama. Cepat duduk! Waktu kita terbatas," perintahnya penuh penekanan.
Dengan gerakan malas dan ogah-ogahan, sepuluh jenius itu duduk di tempat mereka, menyisakan kedua tamu yang berdiri di samping Bagus.
"Bapak hanya bicara sekali. Jangan menyela dan jangan bersuara."
Ucapan terjeda sejenak. Mata guru yang berwatak keras di mata siswanya ini meniti satu persatu sepuluh raga di hadapannya.
"Oke. Pertama. Thariq, Nadira, empat hari dari sekarang kalian akan mengikuti lomba tahfidz. Violla, seminggu lagi, seleksi lomba debat tingkat kota. Revano, lomba karate nasional dalam sepuluh hari. Halza, Azery, Jun, lomba cerdas cermat IT besok lusa. Baik, itu saja. Bapak tidak menerima pertanyaan, jadi ... silakan berkemas dan pulang."
Bagus melangkah menuju pintu. Seiring langkahnya terdengar, nama-nama yang disebut tadi juga berkomentar, mengomentari betapa mendadaknya pemberitahuan mengenai lomba yang akan mereka jalani.
"Oh, ya. Kalian berdua ikut Bapak. Assalamu'alaikum."
Seperginya tiga sosok itu, kelas langsung ricuh. Revan sibuk marah-marah; Halza, Aze, dan Jun belajar kelompok dadakan; Violla yang mengoperasikan ponsel mencari informasi; dan Thariq serta Nadira yang terlihat pasrah terhadap lomba mereka.
"Oke, oke. Gue tahu kalian kesel sama Pak Bagus, tapi kita kudu pulang sebelum gerbang dikunci. Kalian tahu persis gimana aturan sekolah kan?" lerai Alvand yang memaksa tujuh jenius yang dilingkupi emosi itu beranjak dari tempatnya.
1033 kata
08 Juni 2021
____________________________________________________________________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top