01 - SMA Chase

"Selamat datang di neraka, tempat siksaan terpedih di dunia. Selamat berjuang, hanya yang terbaik yang akan bertahan. Kombinasi antara otak dan hati, menjadi hal yang utama. Untukmu, anggota baru yang masih pemula, satu pintaku; tetaplah hidup, kita bertemu di pintu keluar. Aku harap, kau bisa tepati itu."

<Re-Search>

=/•🗝️• \=

SMA Chase.

Ah, rasa-rasanya, seantero Indonesia sudah pasti mengenalnya. Sekolah elite dengan kualitas pendidikan yang tinggi dan bermutu. Sekolah yang sangat mewah, tapi tidak memungut biaya pada siswa. Fasilitasnya sangat lengkap, membuat SMA Chase menempati urutan pertama sekolah terfavorit.

Di balik gemerlap kemewahannya, tentu saja sekolah ini tetaplah sekolah biasa yang memiliki sisi gelap tersendiri. Persyaratan yang ketat serta diskriminasi kemampuan otak menjadi hal paling mencolok, menutup sisi buruk lainnya yang mungkin saja jauh lebih fatal.

Untuk menjadi siswa juga diperlukan usaha keras serta keberuntungan, karena sekolah ini tidak menerima sembarang orang. Hanya siswa-siswi dengan kadar kejeniusan tingkat tinggi yang bisa menginjakkan kaki melewati gerbang.

Jenius di sini bukanlah anak kutu buku dengan ribuan hafalannya. Bukan juga anak perfeksionis yang serba A+ raportnya. Bukan, bukan itu. Tidak harus jenius seperti itu, itu berlebihan, kawan. Kau bisa saja masuk sini dengan kejeniusan yang lain.

Sekolah ini menampung berbagai macam siswa. Mulai dari kutu buku banyak hafalan, perfeksionis tanpa kecacatan, hiperaktif yang tidak bisa diam, musisi kesasar, kalkulator berjalan, sampai preman pasar tobat dadakan. Semua ada karena mereka semua jenius di bidangnya sendiri.

Baik, cukup untuk perkenalan mengenai SMA impian semua pelajar ini. Mari kita beralih ke salah satu sudut area mewah itu, tepat di lorong lobi-01. Di sana, ada 3 remaja jenius yang menjadi siswa di SMA Chase. Ketiganya tengah mengobrol seru, menunggu bel masuk.

"Kak Aze, gimana kemarin?" Gadis satu-satunya itu bertanya.

"Gimana apanya, Za?" Remaja yang dipanggil Aze itu menatap temannya bingung.

"Astaga Kak Azery ... maksud gue itu, gimana kemarin aksi Kakak bobol jaringan BI, berhasil gak? Ish, gemes deh." Halza, gadis itu, meremas jarinya gemas.

"Owalah, bilang dari tadi, kek. Itu mah, aman. Lagipula, gue kan baru intai saldo aja, belum bobol bank yang bener-bener bobol gitu," jelas Aze, remaja tadi.

"Lo yang lemot, be*o!"

Sebuah mur melayang ke dahi mulus Aze, meninggalkan bekas kemerahan. Pelakunya, Halza, menatap Aze kesal.

"Udah, ah. Tiap ketemu selalu berantem, bosen gue. Lo sendiri, Za? Udah jadi proyek lo yang baru?" Remaja terakhir yang sedari tadi menyimak, akhirnya ikut bersuara.

"Belum, Kak Jun. Ada masalah di pengaturan otomatisnya," jelas Halza.

Sekedar informasi, mereka bertiga adalah anggota dari satu-satunya kelas unggulan sekolah. Kelas yang dinamai X-Class itu hanya menampung 10 siswa. Fasilitasnya berlipat-lipat lebih baik dari siswa normal yang sebenarnya sudah hidup mewah di sini.

Iroila Halza Kraja, 13 tahun. Siswi kelas 10 yang berhasil masuk X-Class tepat di hari pertamanya bersekolah. Keahliannya di bidang teknologi sangat tinggi, membuatnya berhasil masuk kelas istimewa ini.

Jun Putra Mallete, 15 tahun. Siswa kelas 11 dengan aura super tipis serta keahlian di atas rata-rata dalam hal menyelinap dan memata-matai. Kerap kali dimintai pertolongan oleh organisasi raksasa di Indonesia untuk menyelidiki segala sesuatu membuatnya berada di kelas istimewa itu.

Azery Wisnu Ekadirael, 15 tahun. Siswa kelas 11, penguasa dunia bawah. Hacker profesional yang kerap kali membuat negara kita kelabakan berkat aksi-aksi isengnya bermain jaringan. Tentu saja, kepala sekolah SMA Chase tidak mau menyiakan bakat luar biasa ini, menyeretnya masuk dalam X-Class.

Mereka hanyalah tiga dari sembilan—murid terakhir belum ditemukan—murid berbakat itu. Kita akan mencari tahu sisanya nanti. Untuk sekarang, mari kita simak lagi obrolan mereka.

"Lo sendiri, Jun?"

"Kemarin gue gak jalan. BIN batalin kontrak setelah gue minta bayaran tambahan."

"Yha ... sayang."

"Gak masalah buat gue. Justru ba—"

"A–anu, permisi Kak. Ruang kepala sekolah di mana?"

Obrolan tiga siswa itu terhenti oleh panggilan lirih dari seorang gadis di depan mereka. Ketiganya saling tatap sebelum kembali pada gadis itu dengan wajah bingung mereka.

"Lo ... murid baru, ya?"

"Dasar warga +62. Ditanya itu jawab, bukan balik tanya." Gadis kecil tadi menggerutu pelan sambil menggembungkan pipinya kesal.

"Imuuuttt ...." Halza langsung mencubit pipi lawan bicaranya tanpa ijin.

"Woy Za! Jangan main cubit anak orang seenak jidat. Maafin temen gue, ya. Maklum, dia gak pernah main sama manusia."

"Heh! Lo pikir gue apaan!"

"Berisik. Diem dulu napa, Za. Ada yang bisa kita bantu?"

Halza menggembungkan pipinya, menggerutu pelan sambil mengabsen nama-nama binatang di rumahnya.

"I–itu Kak, ruang kepala sekolah di mana ya?"

Suara imut gadis mungil itu meluluhkan Halza, membuatnya menoleh dengan senyuman, melenyapkan kekesalannya barusan. "Nama lo?"

"Freya Xaquila A. Kakak sendiri?"

"Gue Halza. Iroila Halza Kraja. Ini Kak Aze. Azery Wisnu Ekadirael. Terakhir, Jun Putra Mallete, Kak Jun."

"Salam kenal, Kak." Freya mengatakannya sambil memasang senyum manis.

"Za, lo bisa anterin Freya sendiri, kan? Gue sama Jun ke kelas duluan. Udah mau bel."

"Okelah. Tolong ijinkan ya. Ayo Frey."

Keempat manusia itu berpisah dalam dua kelompok. Oke, mari kita lihat kelompok Freya-Halza dulu.

"Frey, lo pindahan dari mana?"

"Dari SMP Permata Kak."

"Eh? SMP? Umur lo berapa?"

"11 tahun Kak."

"Pantes kecil. Masuk sini direkrut atau daftar?"

"Aku tidak tahu apa ini bisa disebut direkrut. Aku tiba-tiba masuk SMA, padahal aku masih kelas 8 SMP."

Halza tersenyum. Sepertinya anak gadis di sebelahnya ini belum tahu apapun mengenai Chaseiro, sebutan untuk siswa-siswi SMA Chase.

Seperti penjelasan di awal, hanya siswa jenius yang bisa masuk SMA Chase. Ada dua jalur untuk bisa bersekolah di sini. Keduanya sama-sama memiliki peluang sangat kecil untuk membawa si calon siswa.

Pertama, jalur tes. Jalur ini bisa dibilang merupakan jalur standar. Tes gila yang mengujikan semua bidang itu, akademik dan nonakademik, tidak selalu mendapat murid. Dari ribuan pendaftar, bisa ada satu orang saja yang diterima itu sudah sangat luar biasa.

Jalur kedua adalah jalur rekrut. Kepala sekolah akan langsung mengambil murid, suka atau tidak suka, dan membawa mereka bersekolah di SMA Chase. Murid yang masuk dengan jalur ini biasanya berada di X-Class, seperti halnya Halza, Aze, dan Jun.

Oke, sepertinya pembahasan mengenai sekolah ini terlalu banyak. Bahkan, Halza dan Freya sudah sampai ruangan tujuan sebelum kita sempat menilik percakapan mereka lebih jauh.

"Nah, ini ruang kepseknya. Apa perlu gue tunggu?" Halza mengajukan pertanyaan klasik pada teman barunya.

"Tidak, terima kasih. Memangnya Kakak tidak ke kelas?"

"Gue sudah ijin tadi. Lo yakin gak apa ditinggal? SMA Chase luas banget, lho." Halza kembali bertanya karena khawatir.

"Iya, Kak."

"Oke. Gue ke kelas duluan, ya? Ketemu lagi di kelas." Halza berlari ke arah lain, melewati lorong lobi-03, menuju kelasnya.

"Iya, terima kasih."

Setelahnya Freya terdiam, bingung mengapa Halza seyakin itu jika mereka akan sekelas.

Berusaha cuek, gadis kecil itu mengetuk pintu, masuk setelah dipersilakan.

Di sisi lain, ada kelompok Aze-Jun yang sudah duduk manis di bangku masing-masing. Mereka menunggu guru datang karena beliau berpesan melalui ketua kelas, bahwa beliau masih ada urusan.

"Menurut lo, bocah itu kelihatan muda banget, gak, sih?" Aze mengeluarkan suara di tengah keheningan.

"Iya. Kayak anak SD," sahut Jun.

"Iya sih, tapi dilihat mukanya dia pinter," jabar Aze lagi.

"Gue gak tahu. Gue gak bisa nebak isi otak orang lewat wajah. Ngomong-ngomong, Halza lama banget. Gue khawatir dia gak sempat datang sebelum Pak Hasan masuk."

Seperti sebuah keberuntungan, Halza berhasil sampai di kelas sebelum guru datang, menyelamatkan dirinya dari hukuman.

"Nyaris aja," kata Halza lega.

Kedua temannya tidak menjawab karena guru yang dimaksud sudah mengucap salam terlebih dahulu.

"Assalamu'alaikum anak-anak ...."

"Wa'alaikumusalam Pak ...."

Kelas X-Class yang semula hening semakin sunyi dan tertib ketika mendengar salam dari wali kelas sekaligus guru kimia mereka, Bagus Handoyo, yang masuk diikuti gadis kecil yang sukses mengejutkan Halza dan kedua sahabatnya.

"Hari ini kita kedatangan teman baru."

"Lho? Lo yang tadi, kan?" Freya hanya tersenyum tipis—gugup—tanpa menjawab pertanyaan spontan dari Halza.

"Kenalkan dirimu, Nak." Gadis itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan guna mengurangi kegugupan yang melanda.

"Pe–perkenalkan, Freya Xaquila . Biasa dipanggil Freya. Salam kenal." Seluruh kelas menatapnya intens, membuat si gadis kecil risih.

"Umur lo, berapa? Kayaknya lo masih muda banget, dah."

Aze, yang sudah sangat penasaran, mengajukan pertanyaan. Oh ya, agar kalian tidak berburuk sangka. SMA Chase itu memiliki rentang umur yang luas, membuat pertanyaan seputar umur menjadi hal lumrah di sini. Sejauh ini, Chaseiro tertua berumur 19 tahun, sementara yang termuda sejauh ini baru berumur 13 tahun.

Tentu saja, semua itu tidak lepas dari sistem perekrutan yang dimiliki sekolah ini. Sering kali kepala sekolah merekrut siswa jenjang SMP hingga anak kuliahan hanya karena kadar jenius yang menurutnya luar biasa.

Baik, kita kembali lagi ke X-Class. Sebagai siswi baru yang tidak mengetahui apapun mengenai SMA Chase, tentu saja Freya terkejut. Dia mengerjap bingung, tapi tetap menjawab.

"11 tahun."

Seketika seluruh siswa melotot ke arahnya, antara terkejut dan tak percaya. Ini merupakan rekor perekrutan termuda sepanjang sejarah SMA Chase. Tentunya, berita ini akan menjadi pembicaraan warga sekolah dalam waktu singkat.

"Bapak kenapa bawa bocah SD kemari?" tanya salah satu siswa, menatap tak suka ke arah Freya.

Dia adalah Revano Ruden Grada, 16 tahun. Siswa jenius yang bisa dikategorikan sebagai preman pasar tobat dadakan. Penampilannya berantakan dengan seragam keluar serta tindik di bibir kanan, akan tetapi otaknya tidak bisa diremehkan.

Dia tergabung dalam X-Class karena keahliannya menirukan segala sesuatu dalam sekali melihat. Dia dikenal sebagai copy player di lapangan karena keahliannya meniru gerakan lawan.

"Jaga mulut lo, Rev. Ini masih daerah kekuasaan gue." Pemuda lain yang sepertinya adalah ketua kelas—terlihat dari ucapannya—memutar matanya kesal.

Namanya Ahmad Thariq Ibrahim, 16 tahun. Seorang hafidz yang menguasai berbagai bahasa. Indonesia, Inggris, Arab, Prancis, dan Jepang. Sejauh ini, baru lima bahasa itu yang pernah dipamerkannya. Tidak ada yang tahu sebanyak apa jumlah bahasa yang dikuasainya, mengingat Thariq tidak pernah mau pamer kebolehan.

"Lo—"

"Sudah. Revano, Thariq, berhenti berdebat. Mulai hari ini Freya yang akan mengisi posisi ke 10 di kelas. Freya, duduk di belakang Cantika. Cantika, angkat tangan." Gadis berambut sebahu yang duduk di barisan kedua dari belakang kelas mengangkat tangannya.

Cantika Putri Violla, 14 tahun. Gadis pendiam yang ulung dalam hal berdebat. Dia tidak pernah berbicara dan berekspresi, tapi begitu suaranya terdengar, dijamin lawan bicaranya tidak mampu menghindar.

Kita kembali ke Freya. Gadis itu mulai melangkah ke bangku belakang dengan kepala menunduk.

Langkah gadis itu menjadi sorotan sebelum suara sang guru kembali terdengar, memecah keheningan.

"Baik. Itu saja dari saya. Pak Hasan, silakan."

"Terima kasih Pak. Nah sekarang, keluarkan buku fisika kalian. Untuk Freya, silakan melihat milik yang lain dulu. Kita teruskan materi kemarin."

"Baik Pak ...."

1730 kata
24 Mei 2021

____________________________________________________________________________

Assalamu'alaikum ...

Yeay, kita ketemu lagi.(≧▽≦)

Oh iya, untuk yang sudah baca bagian prolog kemarin, terima kasih banyak ...(☆▽☆)

Semoga suka dengan karya Hika.

Untuk kali ini juga, semoga kalian terhibur dengan karya ini ya.(。•̀ᴗ-)✧

Wassalamu'alaikum ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top