Chapter 3

Setelah berkeliling Rest Area, ketiganya berjalan kembali ke asrama. Tepat saat itu juga pintu lift mulai tertutup. Sebagai orang dengan reflek yang baik, Alex segera berlari untuk mengejar ketertinggalannya.

"Oh! Tunggu! Tunggu!"

Yang di dalam mendengar jeritannya dan menahan pintu, membiarkan Alex menghela napas lega melihatnya. Ia masuk yang disusul oleh Hassan dan Arkan.

Orang itu mengangkat kepalanya, tanpa sengaja bertemu tatap dengan Arkan. Kemudian keduanya tertegun.

Ketika melihat dua bola mata yang berbeda warna itu, hati Arkan bergetar. Tubuhnya menegang dan bulu-bulunya berdiri. Tanpa sadar ia memasang sikap waspada, siap untuk menyerang jika dirinya diserang.

Melihat Arkan yang terdiam tanpa berniat masuk, Hassan memanggil dengan bingung, "Saudaraku, kau tidak masuk?"

Arkan sadar kembali dan bergerak, namun ia berdiri di sisi Hassan, menjaga jarak dari orang itu.

Orang yang sejak awal di dalam itu dengan lembut tersenyum seakan tidak menyadari apapun dan bertanya ramah, "Di lantai berapa kalian?"

Alex—yang lebih mudah bergaul dengan orang asing—menyahut, "Kami di lantai dua."

"Ah, kebetulan sekali. Aku juga lantai dua."

Lift tidak berjalan lama, mengingat ini hanya naik satu tingkat. Alex mempersilakan orang itu keluar terlebih dahulu, sebelum diikuti oleh dirinya yang ingin berkenalan lebih dekat. Dari belakang, Arkan tidak pernah mengalihkan pandangannya dari orang itu.

"Dia benar-benar orang yang bebas." Suara Hassan menarik fokusnya sesaat, namun ia tidak menoleh. Dengan alis terangkat Arkan bertanya, "Maksudmu Alex?"

"Yah ... " Hassan menyunggingkan senyum tipis. "Tipe orang seperti itu sangat disukai pada umumnya."

Arkan mengangguk menyetujui.

Menyadari sesuatu, Hassan bertanya prihatin, "Ada apa?"

"Tidak. Tubuhku hanya tidak nyaman ... Mungkin karena belum terbiasa dengan lingkungan baru."

"Ya, pertama kali aku ke sini juga seperti itu."

Tiba-tiba, suara Alex masuk di antara keduanya. "Hassan, Arkan! Dia adalah teman sekamar kita!"

Benak Arkan menjerit untuk menolaknya, namun wajahnya tidak menunjukkan fluktuasi. Hanya mengangguk singkat sebagai tanggapan. Lain halnya dengan Hassan yang menyambut dengan senang, "Jadi, kamu William Kakugawa? Salam kenal, aku Hassan Sa'id."

"Salam kenal," balasnya dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajahnya sejak mereka bertemu. Ia kembali menatap Arkan yang tidak menanggapi.

Keduanya terdiam.

Arkan hanya berkata singkat, "Arkan Dzaky."

William tersenyum, "Salam kenal."

°°°

Arkan duduk gelisah di atas kasur. Tangannya bergerak untuk menggenggam erat kalung di lehernya. Setelah berpikir sejenak, ia bangkit dan berjalan menuju koper.

Semua barangnya di koper telah dipindahkan. Satu-satunya yang tersisa adalah sebuah kubus kecil seukuran kepala bayi tergeletak dengan aman. Arkan akan mengambilnya sebelum mendengar ketukan di pintu kamarnya.

"Arkan, ini aku."

Itu suara Hassan.

Setelah menutup kembali koper, ia menuju pintu dan melihat orang Arab itu menatapnya dengan bingung.

"Ada apa?"

"Apakah kau mengenal William?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Arkan hampir melompat kaget. Bagaimana bisa Hassan langsung ke titik poin ini?

Dengan cepat ia menyesuaikan ekspresinya dan bertanya ragu, "Mengapa kau menanyakannya?"

Pertanyaan ini membuat dua spekulasi; Arkan mengetahuinya atau tidak, tergantung pikiran Hassan sendiri.

Hassan hanya berterus terang. "Sejak kita bertemu dengannya, kau sedikit aneh."

Benarkah dirinya terlihat aneh?

Arkan menelan kembali pertanyaan itu dan menjawab dengan hal lain, "Tidak juga. Aku hanya merasa unik dengan matanya."

"Yah, aku juga. Apa namanya? Terong come?"

" ... Heterochrome[1]."

[1] Heterochrome (heterochromia) : kondisi ketika bagian berwarna pada mata (iris) berwarna-warni

Heterochrome menjadi "terong come"? Sungguh luar biasa sekali...

"Oh, ya, itu maksudku." Hassan menggaruk kepalanya yang tertutup sorban. "Tapi, kurasa kau lebih unik."

"Hahaha, terimakasih."

Setelah berbincang sebentar, Hassan kembali ke kamar untuk beristirahat. Arkan ingin melakukan hal yang sama, namun saat akan berbalik matanya melihat siluet William yang baru saja membuka pintu kamarnya.

Sekali lagi, keduanya bersi tatap.

William akan menyapa, namun Arkan lebih dulu masuk dan menutup pintu.

" ... "

Dirinya diabaikan.

Tetapi, senyuman itu tidak hilang dari wajahnya. Matanya yang berbeda warna menatap sejenak pintu merah itu, kemudian mengalihkan pandangannya saat menuju tangga.

Saat melangkah turun, ia bersenandung kecil.

"Merah engkau seperti darah ... "

"Putih engkau seperti salju ... "

"Hati engkau seperti kaca ... "

Di dalam kamar, Arkan memegang erat kubus itu. Setelah menenangkan napasnya, ia membukanya dan menatap isinya.

Kenyataannya, itu sebuah kotak musik.

Diambilnya kalung dari lehernya dan memasukkannya pada area lubang yang tercetak di bagian luar, kemudian diputarnya bandul kalung itu.

Tak lama, sebuah melodi terdengar. Tanpa sadar, Arkan bersenandung.

"Darah di atas salju terbuat dari kaca ... "

"Mereka memanggil tanpa henti ... "

"Merah engkau seperti darah ... "

"Putih engkau seperti salju ... "

"Hati engkau seperti kaca ... "

"Jurang pun menyambut ... "

"Buah itu terlahir ... "

"Penuh harapan ... "

"Penuh dosa ... "

°°°

"Kevin!"

Seseorang berlari tergesa-gesa menuju pria yang berbaring dengan tenang di bawah pohon. Pria itu tampak begitu rapuh, orang akan takut menyentuhnya seakan tubuhnya dapat hancur begitu saja. Angin bertiup membuat rambutnya yang seputih salju terurai mengikuti aliran. Ketika mendengar seseorang memanggil namanya, kelopak matanya terbuka menampilkan sepasang mata berwarna merah.

Melihat Kevin yang tampak seperti makhluk surgawi membuat orang itu linglung sejenak.

"Apa?" Suara malas menyadarkannya. Dengan segera orang itu melaporkan apa yang ingin disampaikan.

"Ah, dia kembali!"

"Dia?"

Setelah berpikir, ia menyadari apa artinya dan melompat bangkit dengan tatapan tak percaya.

"Kau yakin?!" Bahkan nada malas itu hilang sepenuhnya, digantikan dengan rasa gelisah dan khawatir.

"Argore yang memastikannya sendiri!"

Kevin terdiam sebentar sebelum tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak, membuat orang yang menyampaikan pesan itu takut melihatnya.

"Dia kembali!"

"Hahaha! Dia kembali!!"

"Sang Dewa telah kembali!!!"

°°°

Di suatu tempat, seseorang berdiri di antara rumput putih. Jika kau tidak melihatnya dengan baik, kau mungkin akan mengira rumput putih ini adalah salju.

Orang itu menatap lingkungan sekitarnya yang dipenuhi dengan kunang-kunang bercahaya merah. Kemudian pandangannya jatuh pada sebuah pohon besar tak jauh dari posisinya.

Itu tampak seperti pohon beringin, walau dalam hati orang itu tahu bukanlah pohon beringin. Pohon itu berwarna hitam legam, tampak telah dituangkan seember cat hitam di seluruh bagian tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, pohon itu berdetak seperti jantung. Sepotong bagian hitam berubah warna menjadi bening seperti kaca.

Melihat ini terjadi lagi, orang itu menyipitkan matanya.

•••

Arbi's Note :

[Chapter 3 telah di-revisi]

Fyuuh~ Memang lebih mudah membuat ceritanya dengan gaya seperti ini...

Yeyeyeye!! Bentar lagi sekolah!! Ada yang masih mau libur?

Hehe, Arbi masih mau libur loh :v

//plak

Aneh ya? Terkadang saat kita sekolah, harapannya kita libur... Saat kita libur, malah mengharapkan sekolah...

Ohoho! Siapa yang kayak gini?😏

Sayang sekali, walau yang lain nyebut "libur" tapi para guru tidak mengizinkan kita liburan dengan tenang~

Guru : Hoho, tak semudah itu Arbiso~

Arbi : What the hell 'Arbiso'?!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top