Chapter 2

Di School of Elite, terdapat seorang siswa yang melakukan segalanya dengan sangat keren.

Dia adalah Sakamo---

Tunggu, cerita ini bukan tentang komedi lagi!

...

Ekhem!

Back to story!

.

.

.

School of Elite dianggap sebagai surga bagi para siswa. Bukan hanya pelajar seluruh dunia, bahkan orang tua yang sudah bekerja maupun masih menganggur berharap untuk memasuki sekolah ini.

Karenanya, Arkan benar-benar merasa beruntung berhasil masuk ke sekolah ini. Dirinya tidak menyangka nilai prestasinya yang rata-rata itu akan disambut oleh pihak sekolah. Terkadang Arkan berpikir, apakah ada yang salah dengan pihak pengelolanya?

Yah, apapun itu ... dengan sekarang ia tidak perlu khawatir tentang biaya hidup.

"Jadi, kau anak yatim-piatu?" tanya Alex setelah mendengar kehidupan Arkan di Indonesia. Mereka adalah teman satu kamar sekarang, sehingga bisa dikatakan sebagai satu keluarga—menurut Hassan. Sebab itu, ia mengajak keduanya untuk menceritakan pengalaman di tanah air untuk mempererat tali persaudaraan.

Sebenarnya, Arkan tidak ingin bercerita. Namun, karena kalah bermain kertas-batu-gunting, dengan terpaksa ia menceritakannya.

Arkan meminum soda yang telah ia pesan sebelumnya, kemudian melirik ke remaja Rusia itu. "Begitulah. Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Aku bahkan tidak punya ingatan tentang mereka. Satu-satunya kunci yang kupunya dari mereka hanya ini ... "

Ia mengeluarkan sesuatu dari balik kerah kemejanya. Itu sebuah kalung dengan bandul dari ukiran kayu. Di permukaannya tertulis uraian kata "Arkan Dzaky" yang terlihat samar-samar karena termakan usia.

Duduk di sampingnya, Alex menyipitkan matanya. "Dari jenis apa kayu ini?"

"Aku tidak tahu."

"Kau tidak tahu?"

Arkan menggelengkan kepalanya sebagai konfirmasi. "Aku menunjukkan ini pada kalian karena kupikir kalian mungkin mengetahuinya. Tapi, sepertinya tidak, ya?" ujarnya tersirat rasa kecewa.

Dirinya telah mencari di semua informasi yang menerangkan tentang jenis kayu dan pohon. Beberapa dari mereka menyerupai ciri-ciri yang dimiliki kalungnya, tetapi insting Arkan mengatakan bahwa mereka bukan bagian dari kalungnya.

Entah mengapa ... rasanya kayu pohon ini begitu penting baginya.

"Katamu, kau albino, 'kan? Untuk menyembunyikan warna matamu, mengapa tidak memakai lensa kontak?" Kali ini Hassan bertanya.

Arkan menjawab dengan tegas, "Aku tidak suka ada sesuatu yang berada dalam mataku." Ia melepas kacamatanya, memperlihatkan netra semerah darah. "Lagipula, aku pernah mencobanya dan rasanya tidak nyaman."

Alex mengangguk mengerti sebelum mengangkat tangannya. "Okay! Giliranku!"

Menurut urutan kekalahan permainan kertas-batu-gunting, setelah kekalahan Arkan, berikutnya Alex. Sepertinya Hassan ahli dalam permainan ini...

"Seperti yang kalian tahu, aku dari Rusia." Alex mulai bercerita. "Ibuku telah meninggal sejak umm ... sepertinya usiaku sekitar delapan tahun saat itu. Kemudian, ayahku menikahi wanita lain yang menjadi ibu tiriku, melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan yang sangat nakal. Selesai!"

" ... "

" ... "

Itu sangat singkat, namun dari ceritanya itu Arkan masih menemukan kata kunci di dalamnya. Untuk memastikannya, ia bertanya, "Lalu, apa alasanmu pergi ke School of Elite?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Alex terdiam sejenak sebelum menjawab, "Sejak kecil, aku memiliki satu pertanyaan yang tidak kunjung kutemukan. Aku harap, di sini aku bisa menemukan jawaban yang aku cari."

"Aku harap kau menemukannya," timpal Hassan yang sejak tadi hanya mendengarkan. Sekarang, gilirannya bercerita. "Karena aku dari Arab Saudi, aku harap kalian menerima agamaku."

"Tidak masalah."

"Yah, lagipula School of Elite tidak memberikan batasan terhadap suku, ras, dan agama. Bahkan, kulihat tempat peribadatan didirikan di Rest Area."

Hassan mengangguk dan melanjutkan, "Di sana, keluarga kecilku hidup dengan menggembala dan menjual ternak. Uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli obat adikku yang sakit. Namun, suatu hari kelompok bandit menyerang desa dan menghancurkan peternakan, sementara penyakit adikku semakin parah. Dia dirawat di rumah sakit sekarang. Tetapi, tidak ada uang yang cukup untuk membayar pengobatan."

Ia menjeda ceritanya dengan meminum teh hangatnya. "Kudengar, laboratorium School of Elite menyimpan berbagai hasil eksperimen siswanya. Aku ke sini untuk mempelajari cara membuat obat yang bisa menyembuhkan adikku."

"Apa penyakit yang dideritanya?" Alex menyela. Hassan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Spinocerebellar Degeneration."

"Uhuk—apa?!" seru Arkan terkejut mendengarnya. Alex bingung melihat reaksinya. "Ada apa? Apa penyakit itu berbahaya?"

Arkan memandangnya serius, "Pasalnya, itu adalah penyakit yang menyerang otak kecil dan tulang belakang yang menyebabkan gangguan pada saraf motorik!"

Hassan terkejut dengan kata-kata Arkan. Bukan karena ia menyadari apa arti dari penyakit adiknya, tetapi ia tidak menyangka Arkan sepertinya mengetahui penyakit ini. "Kau tahu penyakit ini?"

Dengan ragu, Arkan membalas, "Aku tidak akan menjelaskan tentang penyakit ini. Zaman sudah modern dan kau bisa mencarinya di internet."

"Ya, aku sudah mencarinya dan aku sudah siap untuk itu."

Alex yang masih kebingungan memutuskan untuk mencarinya di internet.

Di sisi lain, Arkan termenung. Mereka bertiga memiliki alasan datang ke School of Elite. Dirinya telah berusia tujuh belas tahun dan sudah sepatutnya untuk pergi dari panti asuhan. Tujuannya ke School of Elite adalah biaya kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Lagipula, ia tidak memiliki tempat untuk pergi setelah keluar dari panti asuhan.

Tujuan Alex adalah mencari jawaban. Arkan tidak tahu pertanyaan apa yang mengganjal di hati Alex, tetapi setidaknya hal itu telah mengkonfirmasi dugaan Arkan sebelumnya.

Sementara itu, tujuan Hassan lebih ekstrim. Dia datang untuk membuat obat penyakit adiknya. Arkan tidak tahu apakah penyakit Spinocerebellar Degeneration bisa dibuatkan obatnya, tetapi Arkan tidak ingin menghapus harapannya yang tinggi itu.

Arkan berpikir, apakah orang-orang yang datang ke School of Elite memiliki suatu tujuan?

°°°

"Mereka yang datang ke sini pastilah memiliki suatu tujuan."

Remaja itu menatap gerbang emas yang hadir di depan matanya. Sebuah seringai tercetak di wajahnya.

"Argore, kali ini aku datang untuk menghancurkanmu!"

Matanya yang berbeda warna berkilau dengan dingin.

•••

Arbi's Note :

[Chapter 2 telah di-revisi]

Selamat hari Ibu Kartini!! (Telat woi!)

Omong-omong tentang penyakit itu, pembaca bisa mencarinya di internet~

Ayo jaga jarak...
Rajin cuci tangan...
Jaga kesehatan...
Di rumah aja...

Lawan Corona!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top