35 - Terjebak

"Apa yang terjadi dalam kehidupan memang sudah ditetapkan. Akan tetapi, ada kalanya kita harus memaksakan diri menentang takdir. Saat itu terjadi, pastilah keajaiban yang kita harapkan."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

"Eum,"

"Lo udah bangun, Di?"

Bisikan lirih di tengah hening itu menyadarkan Aldi sepenuhnya. Mata pemuda itu mengerjap, berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Mengedarkan pandang, akhirnya netra gelap itu berhasil menemukan wajah dua orang yang dia kenal. Rasa lega melingkupi hatinya, meski perasaan cemas jelas lebih mendominasi.

Kondisi mereka bertiga sama. Tubuh lemas tanpa tenaga, tangan dan kaki terikat kuat, serta pandangan terbatas membuat mereka tidak bisa tahu posisi saat ini.

"Maaf. Gara-gara gue, lo berdua jadi ketangkep. Harusnya gue gak—,"

"Belum lebaran, Di. Mending lo mikir, gimana caranya keluar dari sini. Frida masih pegang HP, ruangan ini juga gak ada CCTV dan penjaga. Kalau kita bisa perhitungin apa yang ada di depan seakurat mungkin, kita bisa kabur," potong Abi.

Aldi terdiam. Abi benar. Bukan waktunya untuk meratap dan berandai. Mereka harus bisa keluar secepatnya. Kondisi akan semakin merepotkan kalau tubuh Aldi mencapai batas.

Atas dasar itulah, ribuan sel di otaknya mulai bekerja. Pemuda itu berpikir keras. Kalau saja otaknya itu mesin, bisa dipastikan bahwa kepalanya sudah mengeluarkan kepulan asap.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai suara satu-satunya gadis itu terdengar. "Percuma."

"Hah? Apa maksud lo, Da?" Abi menatap temannya tidak percaya.

Dengan peluang sebesar ini, dengan kondisi semenguntungkan ini, bagaimana bisa gadis itu putus asa duluan? Dipikir bagaimanapun, ini jelas peluang satu-satunya kesempatan mereka untuk bisa keluar.

"Aku bilang percuma."

"Percuma dari mana? Kit—,"

"Kita disekap. Ponsel kita dibiarkan. Kita juga dibiarkan tanpa pengawalan. Kalian pikir, apa mereka sebodoh itu? Tidak. Mereka tidak bodoh. Mereka memakai cara yang diluar nalar kita," jelasnya.

"Kalau gitu, kita cuma perlu mikir dari sud—,"

"Mustahil."

"Ck. Masalah lo, apa, sih?! Kalau mau pesimis, pesimis sendiri, sana! Jangan bikin gue sama Aldi ikutan pesim—,"

"Mereka bukan manusia."

"Hah?"

Omelan Abi terhenti. Matanya menatap Frida tak percaya. Bukan manusia katanya. Siapa pula yang akan percaya? Gadis dengan aura positif di hadapannya ini tidak cidera otak, kan?

"Da, lo sehat? Jelas-jelas tadi itu manu—,"

"Magician."

Lagi, raut cengo itu terpancar. Baik Abi maupun Aldi, mereka sama-sama tidak bisa mencernanya. Melihat mereka diam, Frida berinisiatif menjelaskan.

"Magician. Seratus tahun lalu, mereka juga manusia kayak kita. Awalnya gitu, tapi karena sesuatu hal, mereka jadi punya apa yang disebut sihir. Populasinya meledak, bertambah banyak dalam waktu singkat. Manusia non-Magician mulai ngerasa terancam, jadi para Magician bikin dunia dalam bidang dunia—Magic Town namanya."

Frida terdiam sebentar, memberikan sedikit waktu pada kedua temannya untuk menangkap hal di luar nalar ini.

"Berarti—,"

Aldi menutup mulutnya lagi. Sebuah spekulasi muncul di kepalanya, tapi pemuda itu terlalu takut untuk menyimpulkan.

"Iya. Kita lagi di Magic Town. Mereka nyekap kita di MMA, satu-satunya akademi yang ada di Magic Town. Aku yakin mereka memasangkan sihir pelacak pada kita. Kalau iya, itu artinya mustahil kita lolos."

"Gak mungkin. Ini gak logis. Dari mana lo tahu ini?" Abi menatap tak percaya.

"Orang tuaku Magician. Kedua kakak laki-lakiku juga Magician. Lalu aku, mantan Magician."

"Mantan? Maksud lo?"

"Awalnya aku seorang Macician. Aku terlahir sebagai bagian dari mereka, tapi karena kecelakaan, sumber sihirku meledak."

Aldi menelan ludah susah payah. Ini ... jauh lebih mengerikan dari kasus yang dihadapi Kakaknya dua tahun lalu. Lebih menyeramkan dari melindungi panti asuhan mati-matian agar tidak diratakan dengan tanah.

Karena lawan mereka ... bukan manusia.

"Tunggu, tunggu. Kalau lo penyi—,"

"Magician, Abi. Kami bukan penyihir."

"Ya, ya, ya. Kalau lo dulunya Magician, harusnya lo bisa ngelakuin sesuatu, dong?"

Abi menatap Frida penuh harap. Dia tahu, berharap pada satu orang saja itu terlalu tidak bertanggung jawab, tapi hanya Frida yang bisa membantu mereka sekarang.

"Semua bakal gampang kalau aku tidak kehilangan sumber sihirku. Sayangnya, aku sudah meledakkannya. Tanpa itu, mustahil bagi kita untuk menang."

"Sebentar. Lo gak mungkin gak bisa pakai sihir sama sekali, kan?" tanya Abi mendadak.

"Harusnya aku masih bisa memakai sihir dasar, tapi sepertinya itu mustahil karena aku dulunya Magician action. Tidak ada gunanya. Sihir milik Magician action hanya bisa bekerja efektif jika memakai sihir level 1 ke atas."

Abi mengerang marah. Berbagai informasi tidak logis itu seakan berlomba masuk dalam otaknya, memaksa pemuda itu setuju meski sebenarnya dia tidak mau menyetujuinya. Otaknya semakin tidak mengerti saat Frida yang menjelaskan. Ini tidak bisa diterima!

Aldi sendiri merenung, mengabaikan perdebatan kedua temannya. Kemampuan mereka terbatas, tapi waktu mereka juga tidak banyak. Ribuan benang kusut di kepalanya berebut minta diurai, tapi tubuh dan otaknya terlalu lelah untuk itu.

"Sama sekali gak bisa?"

"Aku mungkin bisa menghilangkan sihir yang menempel di tubuh kita, tapi hanya sebatas itu. Tanpa sumber sihir, HP-ku—sumber energi untuk melakukan sihir—akan habis dalam dua kali pakai. Saat itu terjadi, aku mati."

"Hh ...."

Aldi benci ini. Dia benar-benar benci dirinya sendiri.

"Frida, bisa dial nomor Dercy? Gue ... ada ide."

Dia benci saat harus memakai orang yang dia sayang untuk tetap bertahan hidup.

<ᗕ۝ᗒ>

"Untuk apa? Lebih baik aku membuat laporan resmi perihal kau menyerang SMA Himekara ketimbang menyerahkan dua siswa yang jelas-jelas merdeka," tolak Sarah.

"Oh, ya? Sayang sekali. Memangnya, kau punya bukti untuk membuat laporan?" tantang Sheila.

"Kebetulan sekali kau bertanya. Kalau kau penasaran, akan aku jawab. Aku merekam penyeranganmu sejak pertama kali. Apa aku perlu memutar buktinya?" kata Dercy sombong.

"Bangs*t."

Sheila tidak pernah menduga jika rencananya akan berakhir seperti ini. Kilatan marah tercetak jelas di kedua netranya yang mulai menggelap. Tangan gadis itu terkepal kuat. Kepulan asap muncul dari sela-sela buku jarinya.

"Dengan semua bukti itu. Meskipun kalian benar sekalipun, kalian tidak punya bukti penculikan yang aku lakukan. Aku bisa saja membunuh mereka!"

"Tapi kau tidak akan melakukannya. Melenyapkan nyawa orang akan meninggalkan bekas di sihirmu. Jika pengadilan sampai menemukan bekas itu, hukuman gantung kau dapat. Jika kau mati, bukan hanya tampuk kepemimpinan Klan yang jadi milikku. Sihirmu juga akan terserap padaku, melepaskan belenggu kutukannya."

Sarah tidak bohong. Semua yang dia ucapkan bukanlah gertakan maupun bualan semata. Semua itu adalah fakta yang akan terjadi kalau Sheila sampai melakukannya.

"Bagaimana kalau ... ada orang lain yang melakukannya untukku?"

Semua membeku. Sheila benar. Jika orang lain yang melakukan, maka orang itu yang akan dihukum gantung. Sekalipun terungkap jika pembunuhan itu atas peintahnya, Sheila tidak akan dihukum. Aturan melarang itu.

Ck, sialan.

Ting!

Pesan masuk barusan membawa Dercy untuk mengecek ponsel di saku roknya. Sebuah nama terpampang, membuat senyumnya terkembang.

Sepertinya ... keadaan akan berbalik, lagi.

"Ah, sayang sekali. Sepertinya kau tidak bisa membunuh mereka, setidaknya untuk sekarang. Kami tahu mereka di mana. Kak Skyle, Kak Octavianus, tankap!"

Benar. Cuma ini yang bisa mereka lakukan. Membagi kelompok adalah pilihan terbaik yang bisa mereka ambil. Octavianus dan Skyle ak—,

Duar! 

"Argh!!!"

Ah, apa lagi, sekarang?

Sepuluh remaja itu tersung—Ah, tidak. Hanya sembilang yang tersungkur akibat ledakan barusan, menyisakan Ivana yang berdiri kokoh seakan tidak terjadi apa-apa.

"Wah, Dot. kau langsung yang datang? Menarik. Sudah lama kita tak berjumpa."

"Kau benar. Lama tak jumpa juga, Ivana."

1154 kata
01 Des 2021

==============<⟨•⟩>==============

Assalamu'alaikum ....

Sesuai janji, ya. Hika balik Desember ini.

Untuk semua yang masih setia menunggu, arigatou.

/Bungkuk hormat/

Yosh, mari kita selesaikan cerita ini secepatnya.

Stay save, jangan lupa istirahat.

Ja~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top