23 - Magic Survival
"Dia setiap kehidupan pastilah akan menemui masalah. Tinggal kita lihat saja, siapa yang sanggup melewatinya."
{Magician}
<ᗕᗒ>
"Non-Magician, huh? Aku sebenarnya tidak ada urusan denganmu, tapi okelah. Sampaikan pada Kak Sarah, MMA menantang SMA Himekara dalam Magic Survival. Jika ada satu saja siswa SMA Himekara yang bisa memenangkannya, maka MMA akan berhenti mengusik. Itu saja, kami pergi dulu. Bye."
Bagus.
Apa lagi sekarang??
Apa gadis itu sudah gila?!
Sekedar informasi, Magic Survival bukanlah ajang biasa. Ajang ini sangatlah terkenal di kalangan para Magician muda seperti mereka.
Magic Survival, ajang duel populer yang bertujuan untuk mencari Magician unggul yang nantinya akan menjadi kesatria di Magic Town.
Gelar kesatria ini merupakan gelar kehormatan. Berhubung kesatria merupakan gelar kehormatan, ajang untuk mendapat gelar ini jelas tidak mudah.
Selama ini, hanya siswa-siswi dari MMA—Main Magic Academia—yang ikut. SMA Himekara tidak pernah mengirimkan siswanya dengan alasan keselamatan.
Oh iya, sepertinya kita lupa membahas ini. Bagi seorang Magician, hanya ada dua pilihan tempat untuk menimba ilmu sihir.
Pertama yaitu SMA Himekara. Sekolah ini mengajarkan dasar sihir serta pelajaran umumnya karena memang tujuan dari SMA Himekara adalah mencetak Magician-Magician yang sanggup berbaur di daratan.
Kedua, ada Main Magic Academia atau yang lebih dikenal dengan sebutan MMA. Berbeda dengan SMA Himekara yang mengajarkan pelajaran umum dengan selingan sihir, pembelajaran di MMA murni mengajarkan sihir pada siswanya.
Sekolah yang terletak di jantung Magic Town itu awalnya dibangun untuk keturunan klan besar yang ingin memberikan pendidikan formal bagi penerusnya. Akan tetapi, sejak ada SMA Himekara, banyak penerus klan yang justru dimasukkan ke SMA Himekara dengan berbagai pertimbangan yang ada.
Sejak saat itulah, MMA mulai dibuka untuk seluruh Magician dari segala klan dan menjadi sekolah sihir yang benar-benar mengerikan.
Baik, kembali ke Magic Survival. Seperti yang dibilang di atas, ajang ini selalunya hanya diikuti oleh siswa-siswi dari MMA tanpa ada pesaing dari luar.
Hal tersebut juga yang membuat Magic Survival dianggap sebagai ajang khusus anak-anak MMA. Sebenarnya, terutama para pemimpin klan sangat menyayangkan ketidakikutsertaan SMA Himekara dalam ajang ini.
Meski begitu, kita tidak boleh menyalahkan SMA Himekara. Ada alasan kuat di balik ketidakikutsertaan mereka.
Alasannya sebenarnya sederhana. Sejak awal sekolah ini tidak berfokus pada sihir seperti MMA.
Coba kita pikirkan, bagaimana cara mereka bertarung nantinya jika yang mereka kuasai hanyalah sihir dasar untuk mempermudah kehidupan?
Kalian mungkin ada yang bertanya, lalu mengapa ada kelas duel?
Kelas itu ada untuk pertahanan diri, bukan untuk berkelahi. Jadi, jangan heran kalau semua siswa SMA Himekara cara bertarungnya pasif. Hanya beberapa siswa saja yang gaya bertarungnya ak—,
Prok ... prok ... prok ....
"Untuk anak-anak selain jurusan Magician, kembali ke asrama. Yang di sini, biar kami yang urus. Skyle, Octavianus, kalian bawa Reinnais dan Sarah ke asrama dulu. Ordo, bawa gadis ini ke as—,"
"Maaf, Ketua Tom. Jika kau tidak keberatan, biar aku yang membawanya ke asrama," potong Ervin.
"Oke. Pastikan kalian bertiga langsung kembali lagi ke sini setelah selesai. Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian semua."
Oh iya!
Nah kan, kita keasikan lagi. Bisa-bisanya kita lupa meliput. Untung saja sepertinya mereka belum melakukan apa-apa saat kita membahas hal lain tadi.
Mungkin mereka masih syok, jadi tidak melakukan apapun. Kita harus bersyukur karena itu artinya kita tidak melewatkan apapun.
Oke, waktunya kembali fokus.
Skyle, Octavianus, dan Ervin bergegas membawa Sarah, Reinnais, dan Yolanda ke asrama, menimnggalkan siswa lainnya berhadapan dengan Tom dan Ordo.
Suasana begitu hening dan mencekam. Semua was-was terhadap reaksi kedua orang itu, apalagi kasus ini bukanlah kasus yang bisa dianggap sepele.
"Banyak yang mau kita-khususnya aku-tanyakan tentang apa yang baru saja terjadi. Tapi sebelum itu, mari kita bahas pagar sekolahnya dulu," kata Ordo memulai.
Para Magician itu saling tatap. Di benak mereka sepertinya terpikir ide yang sama, tapi tidak ada yang berani bertindak.
Ya, sihir bisa membereskan ini. Akan tetapi, keberadaan dua orang non-Magician ini, meski sudah tahu tentang para Magician, tetap saja membuat mereka khawatir.
"Mm, Ketua Ordo."
"Apa kau ada solusi? Kalau iya, katakan saja langsung."
Dercy menggigit bibir dalamnya. Dia ragu, tapi mereka semua-siswa jurusan Magician-pasti akan terkena masalah jika tidak menyelesaikan ini secepatnya.
"K-kami ..., kami mungkin bisa pakai sihir untuk ini, tapi—,"
"Aku mengerti. Tolong perbaiki ini, dan kami yang akan buat seisi sekolah tutup mulut perihal kalian dan sekolah aneh tadi, bagaimanapun caranya. Bagaimana?" bujuk Tom.
"Baiklah, baiklah. Memang ya, melawan para ketua itu tidak akan bisa menang. Siapa di sini ada jam analog atau stopwatch? Biar aku tarik mundur semula waktunya," kata pemuda yang menjadi korban sihir hipnotis Ivana saat penerimaan siswa baru.
Hening.
Yha, memangnya siapa pula manusia aneh yang akan membawa-bawa stopwatch? Siapa pula manusia di era modern ini yang masih memakai jam kuno nan ribet itu untuk melihat waktu?
"Tidak a—,"
"Laboratorium Thinker punya stopwatch, Kakak bisa pakai itu," potong Aldi cepat.
Kapan pemuda itu datang? Bukankah selain kedua ketua dan siswa jurusan Magician, semua diminta kembali ke asrama?
"Hey, aku me—,"
"Maaf lancang, tapi Ketua Tom tidak berhak melarang ketika saya kemari atas perintah ketua jurusan saya sendiri."
"Kak, pergi ambil barangnya. Untuk sekarang, biar aku tutup bagian luarnya sementara waktu dengan ilusi agar tidak ada orang luar yang tahu," kata Xi Lao enteng.
Dia mengeluarkan sebuah kartu, lalu melemparkannya ke arah dinding pagar yang hancur itu. Entah apa yang dia ucapkan, tapi yang jelas kartu itu lenyap dan tidak ada apapun yang terjadi.
"Kau bilang kau akan memakai ilusi? Mana? Tidak terjadi apapun," heran Tom yang disetujui Ordo.
"Ilusi yang dipasangnya itu ilusi satu arah. Jelas saja hanya terlihat dari luar, bukan dari sini. Itu sa—Ah iya juga. Kalian kan, non-Magician. Mana tahu dengan hal dasar begitu," ceplos salah satu siswa kelas 3 polos.
Tak lama, Aldi kembali bersama pemuda tadi. Sebuah stopwatch analog ada di genggamannya.
"Aku belum menguasai sihir tingkat 2 seperti ini dengan sempurna. Menjauh radius tiga meter dariku dan reruntuhan dinding jika kalian tidak ingin terkena dampak sihirnya."
Setelah yakin semua menepi, pemuda itu mulai beraksi. Tangannya terulur ke depan dengan stopwatch di genggaman.
Benda itu dinyalakan bersamaan dengan tangannya yang bergerak memutar melawan arah jarum jam. Reruntuhan itu bergerak mundur, perlahan-lahan kembali seperti semula.
Begitu sampai di fase sebelum hancur, stopwatch-nya dimatikan, membuat fase pemundurannya berhenti.
Pemuda itu langsung jatuh berlutut. Darah segar mengalir deras dari mulutnya, merembes lewat sela-sela bibir.
Di saat yang sama, ketiga pemuda tadi kembali. Skyle segera mendekati pemuda itu. Dia mengeluarkan ponselnya, menekan beberapa digit angka untuk memakai password.
"Calling code, please."
1073 kata
22 Okt 2021
==============<⟨•⟩>==============
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top