20 - Amarah

"Sekecil dan seremeh apapun itu, yang namanya kejahatan tetaplah kejahatan yang tidak bisa dibenarkan."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

"Kakak?!"

Obrolan dua ketua itu terhenti begitu saja. Di atas arena, mulut Dercy tengah dibekap oleh Ivana. Ervin sendiri terlihat pasrah saat Sarah menatap mereka, sementara Yolanda terkejut tidak percaya.

Sia-sia deh usahamu selama ini. Selamat Der, batinnya pasrah.

"Aldercy Zavaa?"

"M-maaf, Ketua. Saya refleks berteriak karena Aldi dan saya cukup dekat di panti asuhan," kata Dercy gagap.

Duh, bisa-bisanya aku keceplosan. Semoga saja alasanku diterima, gerutunya dalam hati.

"Maaf mengganggu. Kami permisi ke asrama dulu," pamit Ervin diikuti lainnya.

Meski tahu ini tidak akan berhasil, Ervin tetap berusaha untuk menyembunyikan identitas Dercy. Nyawanya bisa terancam kalau para klan kelas atas tahu jika ada keturunan Klan Zahrawi yang masih hidup.

"Tunggu, kau siswa yang terlibat adu mulut di kantin tadi, kan?"

Mampus. Jangan bilang tuh sapi mau wadul ke si wewe gombel soal gue yang nyaris bantai anak buahnya, ringis Yolanda dalam hati.

"Siapa, Thomas?"

"Kedua gadis itu. Yang tadi berteriak dan yang tidak berseragam. Tadi ada anak-anak Atletico yang membuat masalah, sehingga mereka terlibat adu mulut," jelas Tom rinci.

Sarah mengangguk paham. "Aldercy Zavaa, Yolanda Gutenberg, tetap tinggal. Lainnya, semua tolong tinggalkan kami."

Interogasi pun dimulai. Sarah menanyakan berbagai hal pada Dercy. Sesekali, gadis itu juga melontarkan pertanyaan pada Yolanda sebagai klarifikasi. Yha, pada akhirnya sekeras apapun Dercy mengelak, identitasnya terkuak.

"I-iya. Aldiora adalah saudara kembar saya," pasrah Dercy pada akhirnya.

"Lalu, mengapa dia seorang non-Magician? Padahal kau dan kakakmu seorang Magician."

"Kakak?" tanya Tom.

"Kau pasti tahu dia, Thomas. Kak Zahrawi Alvand Syahreza, dia saudara kandung Zahrawi Aldiora Sheza dan Zahrawi Aldercy Zavaa."

"Sebentar."

Tom tampak mengingat-ingat sesuatu. Tiba-tiba dia menjentikkan jari, teringat pada nama yang disebut barusan.

"Alumni yang berhasil membuat SMA Himekara menjadi peringkat 2 itu ya?"

"Hm. Aldercy, jawab aku."

"Aku sendiri tidak tahu, tapi mungkin ini ada hubungannya dengan penyakit bawaan yang dideritanya sejak lahir."

Amarah Sarah semakin tidak terkontrol, terlebih saat tahu bahwa Aldi memiliki penyakit bawaan yang berpotensi membahayakan nyawanya jika perundungan itu terus dilanjutkan.

"Ini sudah kelewatan. Aku harus memberinya pelajaran."

Gadis itu mengambil ponselnya, menekan tombol dial. Langsung saja, terdengar dering panggilan masuk dari telepon genggam Tom, bersamaan dengan balasan yang terdengar di ponsel Sarah.

"Ada apa? Aku sedang match, cepat bicara," kesal Ordo dari sana.

"Kau punya sepuluh detik sebelum aku memutus panggilannya," kata Angga malas.

Sarah berdecih malas.

Setelah berbuat separah itu, kau masih bisa bersikap begitu? Menjijikkan, batinnya kesal.

"Aku tidak bercanda. Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, e—," 

"Pertandingan umum."

Singkat, padat, dan jelas. Hanya dua kata, enam belas huruf, tapi sanggup membuat ketiga ketua jurusan lainnya membeku di tempat.

Di sana, di tempat masing-masing, Ordo menjatuhkan ponselnya dan Angga menganga lebar menjatuhkan bukunya. Sementara itu, Tom mencubit lengannya sendiri, meyakinkan diri bahwa dia tidak salah dengar.

Sakit, itulah yang Tom rasakan. Ini bukan mimpi, dia juga tidak salah dengar. Masih ragu, pemuda itu menarik kedua bahu Sarah, menatap tepat pada netra kelam itu.

"Sarah, kau ... serius?" tanya Tom masih tidak percaya.

Ting!
Ting!

Tangan Tom terlepas. Dia dan Sarah mengecek ponsel masing-masing yang berbunyi berbunyi bersama. Ah, ternyata pesan grup ketua jurusan.

Ketua Jurusan SMA

Angga
Kita bertemu di ruangan. Jelaskan dengan benar.

Cordova
^2

"Hh .... Ayo," ajak Sarah malas.

<ᗕ۝ᗒ>

"Kau serius?"

"Ini seperti bukan kau, Sarah."

Kalimat bernada tuntutan itu muncul tepat saat raga Tom muncul bersama Sarah di tempat yang dijanjikan. Wajah Sarah yang sudah datar semakin datar begitu indra pendengarannya menangkap dua suara itu, suara Angga dan Ordo.

Bayangan video yang ditunjukkan Tom tadi kembali mengusik benaknya, meluapkan amarah yang sudah berhasil dia redam tadi. Tangannya terkepal kuat di dalam saku jas almamater, berusaha menahan diri tidak menyihir sosok di hadapannya.

"Hei, Sarah. Jawab. Kau sungguh-sungguh?"

Mata gadis itu terpejam sejenak. "Apa aku terlihat bercanda?" tanyanya.

"Sarah, kau tahu bukan apa artinya duel terbuka? Jika kau mengajukannya, keempat jurusan akan kembali berselisih seperti dulu. Kau yakin?" tanya Tom meyakinkan.

"Lalu? Apa maumu?" Suara Sarah sangat rendah kali ini, membuat ketiga pemuda itu agak kaget.

"Apa kau ingin aku diam saja? Begitu, kah? Kau ingin aku diam saja, hah?!"

Suasana langsung mencekam. Hanya karena aksi perundungan, Sarah yang terkenal tenang sampai membentak dan berteriak frustasi? Menakjubkan.

"Tenang, Sarah. Tenang," bujuk Tom.

"Aku tidak bisa serta merta mengiyakan. Jelaskan dulu, apa alasanmu mengajukan duel terbuka?" sambung Ordo.

Nafas Sarah memburu. Entah apa yang dia pikirkan, yang jelas dia terlihat sangat emosi. Butuh beberapa waktu baginya untuk mengendalikan diri sebelum akhirnya bersuara menjawab pertanyaan Ordo.

"Ada aksi perundungan."

Ordo terkejut, sementara Angga mulai pucat karena takut. Sarah menangkap perubahan itu, semakin membuatnya yakin untuk membongkar apa yang dia tahu.

"Ada yang melapor padaku. Dia memiliki bukti di ponselnya. Aku tidak bisa menyebutkan siapa pelaku dan korbannya, yang jelas aku merasa gagal menjadi ketua umum karena adanya kasus ini," tandasnya.

"Oke, oke. Aku mengerti sekarang. Tapi Sarah, apa aku boleh menyarankan sesuatu yang lebih baik?" usul Odro.

Sarah berdeham, menatap Odro dengan alis terangkat.

"Dari pada membuat satu sekolah berduel, bagaimana jika kau tantang pelakunya dalam duel terbuka? Aku berjanji, aku akan membantu jika pelakunya laki-laki atau lebih dari satu," katanya menyarankan.

Tanpa Ordo sadari, wajah Angga semakin pucat. Bahkan, samar-samar kita bisa menangkap jika pemuda ini gemetar. Hah, habis kau. Dasar!

"Benar kata Ordo. Itu jauh lebih baik dari pada membuat keributan di sekolah," sambung Tom cepat.

"Hh, baiklah. Kalau begitu,"

Sarah berdiri dari kursinya. Dengan langkah anggun serta aura intimidasi yang kuat, gadis itu mendekati kubikel Angga, berdiri bersebrangan dengannya yang duduk terdiam.

Jemari Sarah mengelus meja lembut. Wajahnya menampilkan senyum menawan, hal yang sangat jarang, bahkan nyaris mustahil terjadi. Perlahan, badan gadis itu condong, mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda yang terdiam itu.

"Mohon bantuannya. Panggil keempat peringkat atas lainnya di jurusan Thinker. Kita bertemu di arena duel terbuka, pembully," bisiknya lembut.

Badan itu langsung menjauh dengan anggun, berbalik menatap Ordo dan Tom yang terlihat kebingungan. Wajahnya kembali menampilkan senyum. Dengan lembut, gadis itu kembali berucap, meminta bantuan mereka.

"Besok, di lapangan duel terbuka utama, tempat dilaksanakannya upacara. Aku akan menantang pembully itu di sana. Kalian ... pasti membantu, kan?"

"Tentu saja."

"Aku sudah bilang, kan?"

"I-iya."

"Baiklah, sampai jumpa besok."

Dengan langkah ringan, dia meninggalkan ruangan, menyisakan ketiga pemuda yang sibuk dengan pikirannya masing-masing.

1050 kata
18 Okt 2021

==============<⟨•⟩>==============

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top