19 - Terbongkar
"Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya bangkai disimpan, pasti baunya tercium juga."
{Magician}
<ᗕᗒ>
"Dengar, aku harap ini yang terakhir kalinya terjadi. Sekali lagi ada yang membuat masalah, aku pastikan kalian akan berakhir cacat seumur hidup."
Semua bergidik ngeri. Tom mengatakan hal tersebut dengan wajah serius yang lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu bukan ancaman belaka.
"Sekarang, kalian bubar."
Kerumunan itu langsung terurai. Di antara mereka yang melangkah pergi, ada Aldi yang justru mendekat. Tom yang melihat raganya menatap pemuda itu heran, membuat bulu kuduk Aldi meremang.
Demi apapun, Aldi takut sekarang ini. Jikalau boleh memilih, lebih baik dia berhadapan dengan Angga dan Ordo dari pada harus berbicara dengan Tom. Dirinya yang hanya seorang laki-laki lemah berpenyakit tentu akan berakhir tragis jika berhadapan dengan Tom yang seorang pegulat nasional. Meski begitu, Aldi tidak bisa menampik fakta jika pemuda yang merupakan kakak kelasnya ini jugalah yang telah secara tidak langsung menolong adiknya.
"Ada apa, Sheza?"
"Mm ... gini, Kak. A-aku mau bilang makasih."
Sebelah alis Tom terangkat. "Untuk?"
"Gadis jurusan Magician yang pakai seragam tadi,"
Ucapan Aldi terhenti. Pesan terakhir dari Dercy kembali terbesit di benaknya.
Jangan sampai ada yang tahu kalau kita saudara, Kak. Dercy gak mau Kakak kesulitan.
Karea tak sabar, secara tidak sengaja Tom justru mendesaknya. "Ada apa sama anak itu? Dia pacarmu?"
"B-bukan. Dia, dia adikku."
Bodoh. Pada akhirnya kau mengatakan itu, batin Aldi.
Tom mengamati pemuda di depannya. Tubuh mungil yang gemetaran, badan yang kurus kering kurang gizi, dan kulit pucat seakan kurang sehat. Aneh. Pemuda itu sadar betul kalau dirinya itu menyeramkan, tapi tidak pernah sekalipun ada anak yang sampai gemetaran saat berhadapan dengannya.
Ada yang tidak beres, batinnya.
"Ah, begitu rupanya. Kau pasti sangat khawatir, ya, tadi? Kau sampai batal membeli soda saat tahu adikmu dalam masalah," pancingnya.
Aldi terkesiap. Ah, sial. Aku lupa soal sodanya.
"Begitulah. Ah iya, Kak. Aku harus pergi. Permisi."
Saking terburu-burunya, Aldi tidak menyadari jika kartu pelajarnya terjatuh. Tom yang melihatnya tersenyum dalam hati. Semesta seakan mendukungnya untuk mengetahui pemuda itu lebih jauh. Tanpa pikir panjang, dia mengambil kartu itu dan pergi ke area jurusan Thinker.
"Mohon maaf, Ketua Tom. Ada urusan apa kau kemari?" cegah siswa yang bertugas menjaga gerbang.
"Ah, tadi aku bertabrakan dengan anak jurusan ini. Tidak sengaja kartu pelajar kami tertukar. Aku ingin mengembalikan kartunya sekalian mengambil kartuku kembali," bohongnya sambil menunjukkan kartu pelajar Aldi.
Berhasil.
Tom berhasil masuk tanpa ditanyai lebih lanjut. Pemuda itu mulai berkeliling tak tentu arah. Meski dia sudah bersekolah di SMA Himekara lebih dari 2 tahun, tetap saja ini pertama kalinya bagi anak itu untuk pergi ke area jurusan lain.
Beberapa kali dia bertanya pada siswa yang berlalu lalang perihal Angga karena menurutnya pemuda itu pasti akan membantunya. Setelah beberapa kali bertanya dan tersesat, akhirnya pemuda itu berhasil menemukan ruangan ketua jurusan.
Untuk ukuran seorang ketua jurusan, lokasi ruangannya sangatlah terpencil. Ruangan yang harusnya bisa ditemukan dengan mudah itu terletak di sudut belakang gedung sekolah, berdekatan dengan gedung asrama.
Mungkin supaya mudah mengawasi 24 jam, batinnya mencoba maklum.
Baru saja hendak mengetuk pintu, terdengan uara benturan yang cukup keras dari dalam. Tangannya terhenti di udara, urung mengetuk. Sebagai gantinya dia mengintip dari lubang kuci, mencari tahu apa yang terjadi.
"Sialan! Memangnya kantinnya ada di maan, sih?!"
"Maaf, tadi ad—,"
"Gak tahu diuntung! Anak tidak jelas sepertimu tidak berhak membantah, sialan!"
Tom terkejut bukan main. Hey, bisa-bisanya lima orang pemuda mengeroyok seorang siswa lemah yang terlihat kurang enak badan begitu?
Dasar pengecut. Meski kesal, Tom tidak bertindak bodoh dengan langsung masuk menggrebek mereka. Bisa-bisa Angga si penjilat itu membalikkan fakta di hadapan Sarah dan berakhir dirinya yang terkena masalah.
Untuk saat ini, pemuda itu hanya merekam aksi mereka dengan kamera ponselnya. Dia juga mengaktifkan penanda tanggal di hasil rekamannya agar Angga tidak bisa mengelak. Puas merekam, pemuda itu buru-buru menuju ke area jurusan Magician.
Untunglah jurusan Magician sedang pelajaran, jadi tidak ada yang menjaga gerbang. Pemuda itu dengan mudahnya masuk ke area yang bahkan pengajar jurusan lain saja tidak pernah menginjakkan kaki di dalamnya.
"Kata Sarah dulu, kelas gabungan selalu berlangsung di lapangan utama. Mari kita lihat. Berarti, ah, cukup lurus saja ternyata. Syukurlah."
Pemuda itu pergi setelah memotret denah area Magician yang memang disediakan di dekat pos jaga. Bermodalkan gambar peta di ponsel, pemuda itu mencari Sarah yang diyakininya ada di lapangan utama.
"Menarik. Kalian benar-benar menarik."
Tom membeku di tempat. Dirinya seakan tidak percaya pada apa yang ditangkap oleh matanya. Berulang kali dia mengucek mata dan berkedip-kedip, meyakinkan diri bahwa yang dia lihat bukanlah halusinasi semata.
"Jadi, yang Sarah maksud dulu ... itu begini?" gumamnya gemetar.
"Sudah lama tidak ada yang bisa melukaiku. Bersyukur, karena kali ini aku sungguh-sungguh."
Ah, sial. Tom ketahuan. Ekor mata Alex menangkap raganya yang bersembunyi di balik pembatas lorong.
"Kalian bertiga, berhenti. Ada penyusup."
Alex buru-buru mendarat. Di saat yang sama, dia menuliskan kata 'beku' yang membuat raga Tom terkunci di tempat.
Sial, aku ketahuan, batinnya kesal.
"Atletico? Bagaimana bisa kau masuk?!" murka Alex saat tahu bahwa penyusup tadi adalah non-Magician.
"A-aku—,"
Sial. Tom terlalu takut untuk menjawab. Mulutnya seakan terkunci, semua alasan yang sudah dia rangkai buyar tak bersisa.
"Kau—,"
"Mohon maaf, Sir. Ini kesalahan saya. Saya yang berjanji untuk bertemu di kantin tadi, tapi terlupa. Sepertinya Tom mencari saya hingga kemari," potong Sarah cepat yang kita tahu adalah sebuah kebohongan.
Dia menolongku? batin Tom.
"Hh .... Kelas hari ini selesai. Kembali ke asrama," tegas Alex tanpa bantahan.
Semua segera melakukan apa yang diperintahkan. Alex sendiri juga pergi menghilang entah ke mana, menyisakan Sarah dan Tom bersama beberapa siswa tersisa, termasuk di antaranya Dercy dan Yolanda yang kelelahan.
"Aku sudah pernah bilang, bukan? Hubungi aku lewat pesan, jangan menginjakkan kaki di area Magician."
"Maaf. Ini darurat. Aku tahu persis tabiatmu. Kau tidak akan memegang ponsel saat jam pelajaran, sementara ini harus sekarang."
Sarah menghela napas. Matanya terpejam sebentar, berusaha meredam rasa sakit yang dia dapat dari duel barusan. Tom bukanlah anak nekat yang melanggar aturan tanpa alasan. Oleh sebab itu pula, dia bisa membawa jurusannya di tingkat kedua kasta.
"Baiklah, katakan."
Tom mengambil ponselnya, membuka galeri. Benda persegi itu disodorkan dengan posisi tengah memutar sebuah adegan. Adegan yang sukses membuat emosi Sarah naik ke puncak, perundungan.
"Angga," geramnya.
"Thomas, siapa korban perundungannya?" tanya gadis itu berusaha tenang.
"Zahrawi Aldiora Sheza."
"Kakak?!"
1053 kata
16 Okt 2021
==============<⟨•⟩>==============
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top