18 - Kasta

"Jangan menyalahkan nasib setiap kali mendapatkan sesuatu yang tidak mengenakkan. Cobalah untuk intropeksi, apa yang kau perbuat sampai-sampai berakhir demikian."

{Magician}

<ᗕ۝ᗒ>

Aldi sedang serius membaca buku di perpustakaan saat ini. Dirinya sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada saudarinya. Bukan karena tidak peduli, tapi karena Dercy yang memutuskan kontak secara sepihak.

Berulang kali dirinya berusaha menelepon sang kembaran, tapi sayang tidak pernah ada jawaban. Semua pesan yang dia kirim juga hanya berakhir dengan checklist satu, membuat pemuda berkacamata tebal ini khawatir bukan kepalang.

"Woy, Di!"

"Apa? Ini perpustakaan, jangan berisik," respon pemuda itu lempeng.

"Kok lo gak kaget, sih?"

"Kalau mau ngegertak gue, pastiin suara napas sama langkah kaki lo gak ada."

"Ck, ngeselin."

Kepekaan Aldi memang setinggi itu. Dia sudah menyadari keberadaan kedua teman menyebalkannya itu sejak mereka masuk perpustakaan. Melihat rencananya gagal, Abi dan Frida akhirnya pasrah. Keduanya duduk di sebelah pemuda itu, menemaninya membaca sebuah ensiklopedia yang cukup tebal.

"Baca apa?" tanya Frida sambil berusaha mengintip sampul buku.

"Buku."

"Kita juga tahu kalau itu buku, Aldiora. Kalau kasih jawaban yang bener dikit, napa," kesal Abi.

Aldi tidak merespon, toh Frida tidak bertanya lebih lanjut. Meladeni Abi tidak akan ada habisnya, jadi lebih baik dia belajar selagi masih ada waktu.

Ting!

Pemuda itu buru-buru merogoh saku jas almamaternya, mencari benda persegi panjang yang berbunyi barusan. Wajah tenang Aldi berubah panik begitu tahu siapa yang memberi pesan. Tanpa babibu, pemuda itu menutup bukunya dan mengembalikan benda itu ke tempat semula.

"Gue pergi dulu," pamitnya tanpa menoleh.

Abi dan Frida saling pandang. Mereka tahu persis apa yang terjadi. Meski begitu, mereka tidak berani untuk ikut campur karena Aldi tidak akan menyukainya. Setengah semester selalu bersama membuat mereka sangat paham apa yang sedang dilakukan Aldi saat ini.

<ᗕ۝ᗒ>

"Ini minumnya, Kak."

"Good job. Emang bener ya, kata Ketua. Anak-anak yang besar di panti asuhan itu kaum-kaum babuable."

"Sudah kubilang, bukan? Aku ini peringkat pertama Thinker, jangan meremehkanku."

"Hahahaha ...."

Saat ini Aldi tengah berada di ruang ketua jurusan, melayani peringkat lima terbaik jurusannya. Jika kalian bertanya mengapa, jawabannya adalah karena Aldi tidak punya pilihan. Mereka, kelima pemuda di hadapannya itu, mengancam akan mencelakai Dercy dan seluruh anak panti jika dia melawan.

"Oy, beliin minum dong," teriak si peringkat 3.

Aldi segera mendekatinya. "Minum apa, Kak?"

"Soda 3 kaleng. Nih, duitnya. Baik, kan, gue? Ngasih duit ke babu."

Aldi tidak menjawab. Dia buru-buru ke kantin utama untuk membeli minuman yang diminta. Di jalan, dirinya tidak sengaja berpapasan dengan Tom, si ketua jurusan Atletico.

"Ah, Sheza ya? Sedang apa di luar area jurusan?"

"Siang, Kak. Aku mau membeli soda. Kakak sendiri?"

"Patroli siang. Ayo ke kantin bersama, kebetulan aku juga ingin ke sana," ajak Tom.

Aldi tidak menolak. Toh, itu tidak akan merugikannya. Mereka berjalan bersama tanpa mengobrol karena canggung.

Yha, inilah salah satu kelemahan sistem jurusan. Padahal mereka sama-sama di sekolah selama 24 jam penuh, tapi mereka tetap saja canggung. Intensitas pertemuan yang sangat minim dan kesenjangan status antarjurusan semakin membuat perjalanan singkat Aldi terasa menyiksa.

Di kantin, ada kerumunan yang terlihat aneh di mata kedua pemuda itu. Kerumunan siswa yang sepertinya berkumpul di salah satu bangku. Entah apa yang terjadi, mereka juga tidak tahu.

"Astaga. Aku pikir patroli kali ini akan mudah, ternyata ada saja ya masalah," kata Tom.

Dia melenggang pergi, meninggalkan Aldi begitu saja. Tanpa basa-basi, pemuda bertubuh kekar itu membelah kerumunan, menampilkan biang masalahnya.

"Dercy?!" pekik Aldi tertahan.

Terlihat, Dercy dan seorang temannya, terlibat adu mulut dengan tiga orang siswa kelas Atletico. Yang aneh adalah, Tom tidak melerai, hanya mengamati dari dekat.

Aldi tentu geram. Hey, siapa pula yang akan diam saat saudarinya diganggu? Tidak ada, bukan?

Pemuda itu buru-buru mendekat, melupakan tujuan awalnya ke kantin. Bahkan, dia mengabaikan panggilan dan pesan masuk yang berasal dari peringkat pertama jurusan Thinker, Anggi.

Sayangnya, Dercy langsung pergi begitu Aldi datang, sehingga mereka tidak sempat bersitatap. Rasa kecewa ditelan pemuda itu bulat-bulat. Dia berusaha menekannya dan mengganti kekecewaan itu dengan rasa syukur bahwa adiknya baik-baik saja.

"Oke. Berhubung sudah tidak ada anak Magician, kita mulai penertibannya."

Brak!

Tanpa pikir panjang, Tim membanting siswa yang berbuat ulah tadi, membuat kedua temannya membeku di tempat. Saat itulah Aldi baru sadar, alasan Tom tidak bertindak walau ada siswa yang dirundung.

Ya, sistem kastalah yang menghambat. Setiap kasta memiliki posisinya masing-masing. Posisi tertinggi adalah jurusan Magician. Saat ada cekcok yang melibatkan jurusan ini, siswa jurusan di bawahnya tidak boleh ikut campur selama siswa jurusan Magician itu masih ada di lokasi.

Posisi kedua ada Atletico. Setelahnya ada Player, dan terakhir ada Thinker. Kasta ini ditentukan dari ranking ketua jurusan masing-masing dalam perebutan posisi ketua umum.

Nah, berhubung cekcok barusan terjadi antara dua kasta tertinggi, hanya ketua umumlah yang bisa melerai. Sayang, ketua umumnya tidak ada, sehingga Tom hanya bisa bertindak setelah siswa Magician terkait pergi.

"Tanganku sudah gatal ingin membanting kalian dari tadi. Jika saja kalian tidak membuat masalah, aku tidak perlu mempermalukan jurusanku sendiri seperti ini."

Brak!

Pemuda terakhir memberikan perlawanan. Dari gerakannya, Aldi tahu jika pemuda itu seorang atlet aikido, salah satu seni beladiri asal Jepang. Yha, tapi tetap saja. Atlet pemula akan kalah melawan atlet nasional. Itu juga yang terjadi di sini. Pemuda itu terkapar tidak berdaya setelah dua bantingan dari Tom.

Setelah selesai, Tom merapikan seragamnya yang agak kusut akibat berkelahi.

"Yha, jadi kusut deh," sesalnya.

Pemuda itu berjongkok, merapikan rambut pemimpin dari lawannya dengan gerakan lembut dan senyum menawan yang tidak pudar. Meski begitu, aura yang ditampilkan bertolak belakang, membuat bulu kuduk meremang.

"Kalian sebenarnya hebat, apalagi jika melawan anak-anak lemah. Sayang, lawan kalian tadi itu seorang siswa jurusan Magician, jurusan terkuat di sekolah. Kalian tidak punya peluang menang."

Tom berdiri lagi. Dia melakukan peregangan kecil dan kembali membersihkan seragamnya yang sedikit berdebu. Dalam waktu singkat, pemuda itu kembali rapi seperti semula, seakan tidak ada yang terjadi sebelumnya.

Matanya menatap satu-persatu siswa di sana, memberikan tekanan yang luar biasa berat. Menyadari bahwa tidak ada siswa jurusan Magician di sana, Tom kembali membuka mulut, berbicara.

"Dengar, aku harap ini yang terakhir kalinya terjadi. Sekali lagi ada yang membuat masalah, aku pastikan kalian akan berakhir cacat seumur hidup."

1020 kata
15 Okt 2021

==============<⟨•⟩>==============

Halo!

Maaf ya, pertarungan para Magician dijeda dulu sebentar. Jangan gebukin Hika, karena alur ceritanya memang seperti ini.

Itu saja sih.

Ketemu lagi lain waktu!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top