10 - Libur Pertama
"Wajar jika kau merasa lelah dan tak berdaya, tapi itu bukanlah alasan untuk berhenti berusaha. Istirahatlah sejenak, lalu berlarilah lagi mengejar apa yang kau damba."
{Magician}
<ᗕᗒ>
Tak terasa ya, sudah tiga bulan setelah tahun ajaran baru. Itu artinya, minggu ini seluruh siswa akan dipulangkan selama seminggu sebelum kemudian melanjutkan setengah semester berikutnya.
Berbeda dengan sekolah asrama lainnya, SMA Himekara akan memulangkan siswanya setiap 3 bulan selama seminggu. Meski begitu, para siswa tetap diwajibkan memakai seragam di jam sekolah serta tidak membuat keributan karena mau bagaimana pun, pemulangan di pertengahan semester bukanlah untuk berlibur.
"Lo beneran pulang, kan, ini nanti?"
"Iya, Vio. Aku boleh pulang setelah gerbangnya dibuka jam 8 pagi nanti."
"Nah, sip. Temenin gue jalan-jalan ya. Halza lagi gak di Indo, Freya ngilang gak tahu ke mana."
"Tapi, aku sudah janji main dengan temanku."
"Ya udah, gue join kalian aja."
"Tap—,"
"Udah dulu ya, gue jemput lo di gerbang jam 08.05. Bye ...."
Tut.
"Ck. Vio gak berubah sama sekali, pemaksa seperti biasa," gerutu Dercy sampai merebahkan tubuhnya.
"Kenapa, Der?" tanya Ivana yang baru selesai mandi.
"Temanku baru saja menelepon. Dia bersikeras ingin pergi jalan-jalan dengan kita, padahal aku tidak mengijinkan."
"Laki-laki?"
"Un. Perempuan, Kok."
"Lah? Ajak saja tak apa. Lagipula, kita hanya akan keliling mall bukan?"
"T-tapi—,"
"Kalau dia seumuran dengan kita tidak masalah, kan? Apalagi dia temanmu. Pasti Ervin juga akan setuju."
"Hh ... baiklah."
Semoga mereka gak jantungan lihat bocah robot gundam itu, batin Dercy.
<ᗕᗒ>
Yha, mari kita lewati kegiatan mereka pagi ini. Untuk sementara, mari beralih ke gerbang sekolah terlebih dahulu.
Lihatlah, Violla. Dia sudah seperti orang kebakaran jenggot. Wajah dingin tanpa ekspresi, sorot tajam penuh intimidasi, jangan lupakan tangan robotik yang tampak kaku di sisi kiri.
Mengerikan.
Seluruh siswa yang melangkah keluar gerbang tampak perlahan menjaga jarak dengannya. Tidak heran sih, mengingat mata gadis itu menjelajah, menatap serius ke arah gerbang SMA Himekara nyaris tanpa kedip. Begitu menangkap sosok Dercy, tanpa pikir panjang dia berlari dan melayangkan tinjunya
Bugh!
"Bangs*t! Gue udah bilang jam delapan lewat lima, kan? Lo udah buang 30 menit waktu gue yang berharga, sialan!"
Keributan langsung tercipta. Semua mengerumuni Dercy yang tersungkur di aspal. Ervin dan Ivana membantunya berdiri sambil menatap tajam pelakunya.
"Apa maumu? Kau pikir ini lucu?" gertak Ervin.
"Gue gak ada urusan sama lo," kata Violla dingin.
"Kau,"
Ervin geram bukan kepalang. Sebenarnya, dia ingin melipat gadis sok di depannya, sayang sekali di sini banyak non-Magician. Terpaksa, dia hanya melayangkan tinju yang tertangkap sempurna di tangan Violla.
"Ervin, sudah. Dia temanku."
"Ta—,"
"Ervin."
"Cih."
Ervin mundur, memberi ruang bagi Dercy untuk maju perlahan. Sebenarnya, serangan Violla itu sangat pelan, bahkan nyaris tidak menyentuhnya. Yang membuatnya jatuh tersungkur sebenarnya bukan tinju barusan, tapi keterkejutannya melihat Violla yang tiba-tiba menyerang.
"Maaf, ya. Tadi ada anak berkelahi di kantin, jadi sarapannya terlambat," jelas Dercy.
"Ck, terserah. Ayo, aku bawa mobil."
Violla pergi duluan, secara otomatis membuyarkan kerumunan yang tercipta. Ketiga sekawan itu memilih untuk dia dan menurut, mengikutinya dengan jarak beberapa meter di belakang.
"Apa-apaan anak itu? Kasar sekali," kesal Ivana.
"Benar. Datang-datang langsung memukul, tidak punya sopan santun," dukung Ervin.
"Vio dulu gak gitu, kok. Dia aslinya baik banget."
"Bohong!"
"Mustahil!"
"Benar, kok. Dia menjadi agak tempramen sejak kehilangan lengan kirinya dua tahun lalu. Emosinya semakin tidak terkendali sejak masuk kuliah karena dia mengambil 2 jurusan sekaligus," jelas Dercy.
Bukan maksudnya untuk membongkar aib teman, dia hanya tidak ingin ada kesalahpahaman. Bisa gawat urusannya jika salah paham ini terus dibiarkan.
"Oy, Dercy. Lo tahu, kan, kalau gue gak suka dighibah? Kuping gue emang gak setajam Kak Nadira, tapi tetep aja gue bisa dengar. Paham?"
"Aku tidak mengghibah, Vio. Aku hanya membereskan kekacauan yang kau buat."
"Gue gak—,"
"Sebentar, kau tidak mengemudi mobil sendiri, kan?"
"Gak. Kak Aze yang bawa mobilnya, kebetulan kosong katanya."
"Baguslah. Kau memang belum waktunya balapan di jalan raya."
Dengan acuh, Dercy membuka pintu penumpang, duduk manis di belakang kursi kemudi. Violla hanya berdecak kesal, memilih untuk ikut masuk.
"Halo, Kak. Lama gak ketemu."
"Weh, tambah tinggi aja, lo, Der. Kalau gini, boleh dong gue geb—,"
Bugh!
"Gak usah mesum, Kak. Tugas lo hari ini cuma jadi supir, gak lebih," kesal Violla menggeplak kepala Aze dari belakang.
Dengusan kesal diberikan pemuda itu. Setelah memastikan semua naik, dia mulai melajukan mobil, bergabung dengan kendaraan lainnya.
"Kita ke mana ini?"
"Mall V's."
"Oke."
<ᗕᗒ>
"Vi, Adam tiba-tiba telepon. Ada masalah di kantor, gue tinggal gak apa? Nanti gue coba telepon Revan buat jemput kalian."
"Oke, Kak. Mobilnya lo bawa aja. Balikin besok-besok gak apa. Thanks and good luck."
Begitulah akhirnya mereka berpisah. Keempat remaja itu kini sedang berkeliling salah satu mall terbesar di kota. Mereka berbaur dengan cukup baik di sana.
Ah, bukan. Yang benar adalah, mereka awalnya mereka berhasil berbaur cukup baik. Sayang sekali, ketenangan liburan mereka harus berakhir gara-gara ada sekumpulan orang penguntit.
"Sial. Dercy, Ivana, Ervin. Ikut gue ke taman di sebelah mall. Ada yang gak beres di sini," kata Ivana lirih sambil menatap sekeliling.
Satu, dua, tiga, empat. Bangs*t, kenapa sebanyak ini?! Sampai sepuluh orang cuma buat nangkep gue? batin gadis itu.
Sesuai arahan Violla, keempatnya menuju ke arah taman, guna memastikan kecurigaan yang ada. Benar saja, secara teratur dan terstruktur, 10 orang yang dicurigai Violla bergerak ke arah taman.
Ah, bagaimana ini?!
Jika saja mereka berada di tempat tertutup, Ervin dan Ivana pasti akan menghabisi mereka dengan senang hati memakai berbagai sihir yang dikuasai. Akan tetapi, tidak mungkin bukan melakukan hal itu di taman kota? Di samping gadis non-Magician pula.
Violla pun berpikiran sama. Dia berniat untuk berkelahi karena sebenarnya gadis itu masih bisa menangani sepuluh orang dewasa seorang diri. Akan tetapi, tindakan itu sangatlah beresiko karena bisa saja ketiga kawannya dilukai atau dijadikan sandera.
Ah, gak ada waktu buat mikir. Mau gimana pun, mereka bisa celaka. Kirim SOS ajalah, batin Violla frustasi.
Kebetulan sekali.
Tepat setelah dia mengirimkan pesan SOS ke teman-teman SMA-nya, kesepuluh orang dewasa yang didominasi laki-laki itu mengepung mereka. Kondisi taman yang sepi seperti seakan mendukung penculikan kali ini. Akan tetapi, bukan berarti keempatnya berniat untuk pasrah.
Violla dengan entengnya maju sambil memasang ekspresi imut khas anak-anak. Daya analisisnya yang kuat membuat gadis itu bisa tahu siapa pimpinan mereka. Maka dari itu, kini Violla sudah berdiri di depannya.
Gue benci sok lemah gini, tapi gak ada pilihan, batin gadis itu.
"Om, Om ada perlu apa, ya?" tanyanya lugu, ralat, pura-pura lugu.
"Kau. Ik—,"
"Om, Vio itu masih kecil, lho. Kata Oma, kalau bicara sama yang lebih kecil harus nunduk atau berlutut," potongnya.
"Ik—,"
Dak!
Dengan satu tangan, gadis itu menekan bahu pria bongsor di depannya ini hingga jatuh berlutut.
"Vio kan sudah bilang, Om berlutut dulu. Ngeyel, sih."
Perempuan gila! Untung aku tidak jadi memukulnya tadi.
Apa benar anak itu masih 16 tahun?!
Batin Ervin dan Ivana berteriak kencang saking kagetnya melihat aksi Violla. Sementara Dercy, dia tampak biasa saja seakan sudah terbiasa dengan ini.
Tidak terima dipermalukan, sembilan orang tersisa langsung menyerangnya. Tanpa disadari siapapun, seringai Violla tercipta. Ah, sudah lama sekali kita tidak melihat ekspresi itu, ekspresi psikopat milik Violla.
Ketiga Magician kita ini masih bengong, terpaku di tempat. Ah, bukan. Hanya Ervin dan Ivana saja yang tercengang, Dercy, mah, duduk santai menonton.
"Woy! Ngapain kalian? Kalau gak mau bantuin, seenggaknya jangan nge-troll, bangs*t!" bentak Violla.
Sepertinya anak itu kesal melihat ketiganya malah diam di tempat, padahal nyawa mereka sedang dalam bahaya. Dirinya susah payah mengalihkan seluruh atensi para pelaku, mereka bertiga malah terpaku.
Dasar!
Dor!
Nah, kan. Masalahnya jadi ribet sekarang. Bahu kanan Violla tertembak gara-gara berteriak tadi. Di saat yang sama, Dercy tertangkap dan menjadi sandera.
"Menyerahlah baik-baik jika tidak ingin terluka."
Bangs*t, bangs*t, bangs*t! Dercy bego!
Rentetan sumpah serapah itu berputar di benak Violla. Sudah tertembak, terdesak pula. Ah, rasa insecure-nya akibat kehilangan tangan kiri kembali bangkit ke permukaan.
Argh ... dasar cacat gak guna! batinnya kesal dan pasrah.
"Lakukan apapun padaku, tapi lepaskan mereka," pintanya.
Tatapan remeh dia dapat. Samar-samar pula, dirinya mendengar tawa penuh ledekan. Akan tetapi, sebuah keajaiban terjadi, membalikkan keadaan dalam sekali kedipan.
Dor!
Dor!
Dor!
"Violla!!"
1354 kata
07 Oktober 2021
==============<⟨•⟩>==============
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top