02 - Upacara
"Hidup itu penuh kejutan, melebihi jumlah rencana brilian yang bisa ditampung oleh otakmu."
{Magician}
<ᗕᗒ>
Hari sudah berganti. Berdasarkan hasil tes kemarin, Dercy masuk kelas Magician, sementara Aldi masuk kelas Thinker.
Pagi ini, gadis mungil itu sudah berseragam lengkap, menunggu teman sekamarnya yang sedang bersiap. Entah beruntung atau memang senasib, yang jelas Dercy dan Ivana berada di kamar yang sama.
"Ivana sudah siap?" tanya Dercy untuk kesekian kalinya.
"Sebentar. Asal lo tahu, seragam gue itu ribet," balas Ivana yang masih sibuk memakai seragam.
Dercy tidak bertanya lagi. Dia memilih untuk duduk di tempat tidurnya, menunggu Ivana. Beberapa menit setelahnya, barulah Ivana berhenti menghadap cermin. Di tubuhnya telah melekat seragam sekolahnya yang, harus kita akui, sangat ribet.
"Sudah?"
"Iya. Sorry lama."
"Tak apa. Ayo."
<ᗕᗒ>
"Semua .... Segera berbaris! Bapak hitung sampai dua puluh. Satu saja belum baris, satu jurusan akan dihukum. Para senior, tertibkan junior kalian!"
Suara galak pria bernama Alex itu menggema di seluruh sekolah. Sepertinya keduanya terlambat datang. Buktinya, lapangan sudah ramai bukan kepalang.
"Sorry. Lo telat gara-gara gue," kata Ivana sungkan.
Dercy memberikan senyuman tulusnya.
"Tidak apa. Ivana tadi sudah memintaku pergi duluan bukan?"
Bagai mendengar ucapan perang, ketiga ketua jurusan segera menertibkan anggotanya.
"Atletico! Cepat berbaris!"
"Thinker! Rapikan posisi!"
"Basket nomor 21! Segera masuk barisan!
"Kau! (75,43), geser kanan sedikit!"
"Player! Bisa tertib, gak sih?!"
"Buruan! Kau! Posisimu ada di mana?!"
Teriakan dari para pemuda ketua jurusan terdengar menggelegar, saling bersahutan. Seluruh siswa jurusan Atletico, Thinker, dan Player segera berbaris mengikuti arahan.
Pemandangan ini membuat Dercy dan siswa jurusan Magician yang lain bingung. Mereka saling tatap seperti sekumpulan orang hilang, bingung harus berbuat apa.
"Ini kita gak dibarisin? Udah hitungan ke lima lho."
Suara salah satu siswa baru terdengar, berteriak secara terang-terangan pada siswa senior jurusan Magician yang masih duduk santai. Bukannya marah, siswa-siswi senior itu justru tersenyum penuh makna, menunggu hitungan yang terus berjalan.
"Sepuluh."
"Colombus, sekarang."
"Siap, Ketua."
Pemuda bernama Colombus itu mengeluarkan sebuah ponsel lipat silver, membukanya dan menekan 3 digit angka sebelum menekan tombol lingkaran keemasan di sana.
Ponsel itu didekatkan ke telinga, seakan tengah menelepon. "Calling code, please," ujarnya.
Ajaib, pergerakan seluruh warga sekolah melambat. Ah, bukan hanya warga sekolah, bahkan daun yang gugur dari pohon mangga di belakang Alex juga melambat.
"Pheidippides, bariskan."
"Baik, Ketua."
Pemuda bernama Pheidippides itu berlari kecil di tempat, lalu lenyap tak bersisa. Perlahan, satu persatu siswa seakan terdorong sesuatu untuk berpindah tempat, berbaris dengan sangat rapi.
"Sudah, Ketua," lapor pemuda itu setelah menghilang selama sekian menit.
"Ketua, apa perlu aku cancel sekarang?" tanya Colombus, bersiap membuka ponsel.
"Tidak perlu, Kak Colombus. Ketua, ijinkan aku."
"Baiklah, Peeters."
Gadis bernama Peeters itu mengeluarkan pulpen yang tersemat di saku atas jasnya. Ditekannya pulpen itu, menampilkan ujung besi yang biasa digunakan untuk menulis.
Tangan gadis itu bergerak, menulis di udara. Anehnya, kata 'cancel' yang ditulisnya benar-benar muncul, tampak terbuat dari cahaya merah menyala.
Selesai menulis, dia kembali menutup pulpennya, lalu mengusap tulisannya sendiri dengan gerakan cepat. Tulisan itu berputar sejenak, lalu pecah menjadi serpihan cahaya bak kunang-kunang. Di saat yang sama, waktu sekitar kembali normal, tepat di hitungan ke lima belas.
Semua siswa baru jurusan Magician tampak berdecih malas. Beberapa dari mereka bahkan terang-terangan mengomeli kakak kelasnya dengan membawa-bawa istilah password.
Dercy hanya menatap itu semua dengan ekspresi cengo. Perlambatan waktu, tulisan bayangan yang bercahaya, serta pemuda yang lenyap mendadak—ini semua terlalu asing untuknya.
"Mentang-mentang Magician, seenaknya pakai password," gerutu Ivana seakan tidak mau kalah dari siswa lainnya.
"Tahu tuh! Wand kita disita, tapi mereka malah pakai password. Sialan emang. Oh ya, gue Arthur Ervin Yoshizawa. Kalian?"
Pemuda yang berdiri di depan Ivana mengajak kedua gadis itu berbicara, sembari menunggu jurusan lain selesai berbaris.
"Dercy. Aldercy Zavaa."
"Ivana Monhilic Luther. Yoshizawa, ya? Lo, Magician art?" balas Ivana antusias.
Jawaban Dercy tidak terlalu didengar oleh Ervin. Atensinya secara penuh teralih pada Ivana yang sangat antusias itu. Memberikan senyum singkat yang sialnya menawan, pemuda itu balik menjawab.
"That's right! Gue Magician art, spesialis origami. Lo? Maaf, tapi gue gak pernah denger Magician dari marga Luther," balasnya canggung.
Wajah Ivana agak meredup. Bibirnya ditarik paksa ke samping, menghasilkan sebuah lengkungan aneh yang tidak tampak seperti senyuman.
"Hahaha .... Santai aja, gak usah minta maaf gitu. Keluarga Luther, kan, emang bukan keluarga penghasil Magician yang terkenal. Beda lah, sama keluarga Yoshizawa yang udah terkenal banget di kalangan Magician," kata Ivana memaksakan tawa.
"Jangan ngerendah gitu lah. Jadi, lo Magician tipe apa?"
"Magician social, spesialis speaking."
Dercy hanya diam mendengarkan dengan wajah bingungnya yang sama sekali tidak berkurang, justru bertambah. Tidak tahan diacuhkan, gadis itu akhirnya bertanya, menumpahkan rasa ingin tahunya.
"Ivana, bisa jelaskan apa yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak paham."
"Bentar bentar, lo gak paham? Hey, lo beneran Magician, kan?" tanya Ervin tidak percaya.
Dercy mengerjap bingung. Apa-apaan pertanyaan Ervin itu? Kalau dia bukan jurusan Magician, tidak mungkin bukan dia berada di sini?
"Saat tes kemarin aku memang masuk jurusan Magician, kakak kembarku jurusan Thinker," jelas Dercy lugu.
"Ah, anak hasil persilangan sama non-Magician ternyata. Marga lo apa?"
"Zahrawi."
Kening kedua remaja itu membentuk perempatan. Keduanya saling tatap dengan wajah bingung sebelum Ervin kembali bertanya.
"Siapa?"
"Zahrawi. Nama lengkapku Zahrawi Aldercy Zavaa," ulang Dercy.
"Bentar, bentar. Lo, siapanya Zahrawi Alvand Syahreza?"
Dercy mengerjap lucu. "Adiknya," jawab gadis itu lugu.
Mau sejauh mana lo jadi sempurna! Ivana bego! Bisa-bisanya lo yang cuma seorang Luther ngedeketin keluarga legenda macam Zahrawi, umpat Ivana pada dirinya sendiri.
Gila! Anaknya Sir Tigerstedt dan Profesor Zahrawi, batin Ervin kagum.
"Yoshizawa, Luther, Zavaa, diam. Ini perintah."
Suara sang ketua jurusan kembali terdengar, menegur Ketiga remaja tadi. Bak tersihir, Ivana dan Ervin langsung terdiam, merapikan barisan mereka dengan gerakan bak robot. Dercy tentu bingung melihat itu.
"Kalian ke—,"
"Ketua, password-mu tidak mempan pada anak terakhir tuh," celetuk Colombus enteng.
Semua otomatis menoleh pada Dercy dengan wajah tidak percaya. Bahkan, sang ketua yang sedari tadi berwajah datar juga ikut menampilkan keterkejutannya.
"Za—,"
Prok prok prok
"Baik. Waktu habis. Upacara dimulai. Semua harap tenang!"
Sialan, jangan bilang dia Zavaa yang itu.
Kenapa semua lihat ke arah aku, ya?
Begitulah akhirnya. Untuk kali ini, kejanggalan yang tertanam di benak seluruh siswa jurusan Magician harus bersabar dalam menemukan titik terangnya.
Kita berdoa saja, semoga teka-teki ini segera terbongkar.
1037 kata
03 Sep 2021
==============<⟨•⟩>==============
✧ SOSOK DALAM PUING SEJARAH ✧
Colombus (Christoforus Columbus)
Penjajah dan pedagang asal Republik Genova, yang menyeberangi Samudera Atlantik dan sampai ke benua Amerika pada tanggal 12 Oktober 1492.
Pheidippides
Pahlawan Yunani kuno sekaligus tokoh utama dalam kisah yang menjadi inspirasi bagi perlombaan olahraga modern, maraton.
Peeters (Clara Peeters)
Pelukis still-life Flemish dari Antwerp yang bekerja di Spanyol dan Republik Belanda. Seniman wanita pertama yang mendapatkan hak penyelenggaraan pameran tunggal.
Yoshizawa (Akira Yoshizawa)
Seorang seniman origami berkebangsaan Jepang yang telah membuat lebih dari 50.000 model origami serta mengembangkan origami menjadi sebuah kesenian hidup.
Tigerstedt (Eric Magnus Campbell Tigerstedt)
Salah satu penemu paling signifikan di Finlandia pada awal abad ke-20 dan disebut sebagai "Thomas Edison dari Finlandia". Pelopor teknologi suara pada film dan membuat peningkatan signifikan pada kapasitas amplifikasi katup vakum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top