Killed by The Killer Teacher
"Kenapa tiba-tiba sepi?" tanyaku pada teman sebangku baruku, Nada. Nada melirik sambil menggerakkan jari telunjuknya di bibir, aku mengangguk menanggapinya. Hawanya mendingin sejenak. Setelah beberapa saat bergeming menghantui kelas kami, beberapa orang terdengar menghembuskan napas lega.
"Sudah lewat?" tanya seseorang berbisik dengan suara yang masih tertangkap di runguku. Aku menatap Nada penasaran.
"Guru killer?" tebakku. Nada bergidik, tidak menjawab. Aku langsung menyimpulkan, iya benar, guru killer.
Menurutku berlebihan ketika Nada mengusap tangan dan lehernya seakan bulu roma dan kuduknya ikut berdiri. Aku mengernyit, siapa guru yang dimaksud? Kenapa reaksi murid sampai segininya?
"Beliau ngajar kelas kita?" tanyaku.
Nada bergeming. Aku menghela napas, lalu menghembuskan kasar. Respon yang terlalu menyebalkan untukku yang kepoan.
Ada begitu banyak hal tentang sekolah ini yang belum kuketahui, termasuk koridor horor yang kata Nada sebaiknya kuhindari. Berteman dengan Nada yang sedikit bicara sangat tidak membantu, karena dia lebih banyak menjelaskan lewat pikirannya saja, mana bisa mengerti akunya.
Begitu bel istirahat berbunyi aku mencengkram tangan Nada, meminta penjelasan semua hal yang ingin kucerna.
"Semakin sedikit yang kau tahu, semakin baik, kurasa," ujar Nada pelan. "Namun, kau memang harus diam kalau guru itu lewat, she can kill every student she wants to, siapa pun murid bandel yang ditemui bisa dibunuh."
Pemilihan kata 'bunuh' membuatku membulatkan mata, menuntut Nada memberi penjelasan lebih.
"Guru killer mah di setiap sekolah ada, Nad, ceritain aja, killer gimana?" tanyaku penasaran.
"Korbannya sudah banyak," jawab Nada terlihat enggan, kemudian dia bergidik.
"Ngomongin apa nih?!" seru Laras, salah seorang teman kelasku juga, sahabat karib Nada, menepuk bahuku dan Nada.
"Dia nanya tentang Ibu Mei," ujar Nada gugup. Wajah Laras menegang. Aku semakin tertarik.
"Lu aja yang jelasin," ujar Nada. Laras diam beberapa saat. Kemudian dia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Kami berdua berjalan meninggalkan Nada menuju ruang TIK, ruang yang berisi deretan komputer tabung.
"Mau apa ke sini?" tanyaku.
"Surfing," bisik Laras. Laras menyalakan salah satu komputer, mencari website sekolah, dan membuka denah sekolah. Laras menunjuk sebuah koridor yang ujungnya adalah ruang guru dan kantin, dengan tengahnya adalah gudang barang.
"Ruangan dia di sini," bisik Laras menunjuk gudang barang.
"Beliau," koreksiku. Laras tertawa kecil menanggapi. "Kenapa beliau tidak di ruang guru?"
"Dulu ini juga ruang guru," jelas Laras. "Guru lain yang pindah."
"Kenapa nggak ikut?"
"Dia terlalu lurus pada keinginannya," ujar Laras. "Keras kepala, dan guru lain tidak berani padanya, jadi lebih baik guru lain yang pindah."
"Jadi?" tanyaku.
"Usahakan jangan lewat koridor ini, kalau lu ada urusan ke gudang, jangan sendirian." Laras bertopang dagu, kemudian ragu-ragu melanjutkan, "Dulu ada kakak kelas ndableg yang jailnya masuk ke gudang karena penasaran sama itu guru, nanti gue kasih tahu apa hukuman yang dia terima."
Aku mengangguk.
"Terus di deretan kelas ini, termasuk kelas kita, kalau suasana tiba-tiba sepi, diam, diam aja udah, jangan ngomong apa-apa, itu berarti dia lagi lewat. Dia selalu bawa penggaris besar, lu bisa langsung dihantam kalau lu ketauan ngomong."
Aku mengangguk kembali.
"Dan di pagar ini, tapi sebaiknya di semuanya deh, jangan sampai lu manjat pagar, apalagi berniat bolos, nanti gue tunjukin apa yang bakal terjadi," ujar Laras.
"Itu aja?" tanyaku.
Laras menatapku dengan tatapan suram, kemudian mengangguk.
"Lah katanya korbannya banyak?" tanyaku.
"Mari beralih ke hukuman," ujar Laras sambil mematikan komputer.
"Siapa nama gurunya? Bu Mei, ya, kalau ga salah tadi disebut Nada?" tanyaku.
"Benar, tapi usahakan jangan sebut namanya, dia seakan-akan bisa selalu mendengar," bisik Laras. Aku mengernyit.
"Yang mana, sih?" tanyaku.
"Lu pasti tahu," ujar Laras tersenyum tipis. Laras menengadahkan kepalanya memandang langit-langit ruang TIK. "Wajahnya merah menyeramkan, matanya merah melotot, kalau melangkah suara langkahnya tidak terdengar, dan gerakannya secepat terbang, bajunya lusuh, lu ga akan pernah melihatnya tersenyum atau tertawa."
"Ngajar apa?" tanyaku.
"Semua mapel," ujar Laras tertawa. "Semua mapel jam kosong, dia bisa ajar, dia benci jam kosong. Nah, kalau dia sudah ngajar, nggak ada yang berani bicara sedikit pun."
Aku menepuk tanganku di jidat.
"Mungkin dulu waktu sekolah beliau dididik dengan keras, ya?" tanyaku.
"Ah, lu penasaran sama backstory-nya?" tanya Laras mengajakku keluar ruang TIK. "Konon katanya dulu dia guru yang baik, ramah, tidak ketat pada aturan."
Aku dan Laras keluar dari ruang TIK dan berjalan menyebrangi lapangan basket. Laras memutar kepalanya, kemungkinan mencari keberadaan Bu Mei.
"Hingga murid-muridnya ngelunjak dan suka membolos," kekeh Laras. Kemudian Laras berhenti di salah satu tiang basket yang setelah kuperhatikan, banyak tulisan di tiangnya, Laras menunjuknya mengisyaratkan agar aku membaca lebih dekat.
"Pada suatu hari hampir setengah muridnya membolos, dia ditegur kepala sekolah, disuruh mencari mereka. Dia dengan malu mencari mereka dan mendapati murid-muridnya sedang nongkrong dengan geng motor. Semenjak saat itu dia benci sekali dengan murid yang tidak taat aturan."
"Lalu tulisan ini maksudnya apa?" tanyaku.
"Gue belum selesai cerita," kekeh Laras kaku. "Pada hari itu juga, komplotan geng motor itu malah marah dan hendak menyerangnya. Namun, sebelum mereka menyerangnya, mereka dihampiri oleh seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya, gadis kecil itu entah kenapa dengan polosnya memarah-marahin geng motor itu. Entah bagaimana ceritanya, salah seorang dari mereka yang tidak punya hati, atau mungkin sedang mabuk, berusaha menabrak sang gadis kecil. Ibu guru menyelamatkannya, gadis itu selamat."
Aku terperanjat. Sekujur tubuhku merinding.
"Kemudian apa yang terjadi pada mereka?" tanyaku.
"Mereka semua mati keesokan harinya, anggota geng motor, dan juga murid yang nongki bersama mereka. Mayat mereka berjajar di tempat salah seorang dari mereka berusaha menabrak si gadis kecil. Dilindas dengan mengerikan."
Aku terpekik.
"Lalu Bu Mei?!" tanyaku dengan jantung berdegup sangat kencang.
"Dia mati ditempat, saat hendak menyelamatkan sang gadis."
Persendianku seketika lemas. Tulisan RIP di tiang basket ini makin terlihat mengerikan.
"Siswa yang membobol dan hendak menjahili hantu itu, selang beberapa jam ditemukan tergantung di sini, makanya tiang ini menjadi momok horor bagi kita." Laras menunjuk beberapa bunga yang ada di atas tergantung rapi. "Seperti yang diceritakan, korbannya sangat banyak, dia jadi benci anak nakal."
"Yang dipukul dengan penggaris juga ... mati?"
"Ya, satu pukulan telak tepat di kepala."
"Kenapa sekolah ini tidak ditutup?" tanyaku. "Kenapa masyarakat tidak tahu?"
"Mereka membiarkannya mengabdi di sekolah ini, dan memasukkan anak-anak nakal mereka di sekolah ini, agar anak-anak makin terkontrol, dan dia tidak justru berkeluyuran membunuh kejahatan di tempat lain, dengan kata lain agar korbannya jelas hanya di sini."
"Lalu siswa yang ketahuan membolos?" tanyaku gugup.
"Keesokan paginya selalu ditemukan tergantung di atas bangku masing-masing."
Bulu romaku langsung merinding.
"Hati-hati ya," bisik Laras. "Balik kelas, yuk! Sepertinya sebentar lagi bel masuk."
"Duluan saja, ada yang mau kulakukan," bisikku. Laras mengangguk.
"Kalau baliknya telat, jangan sampai papasan sama dia, ya!"
Aku mengangguk, begitu Laras pergi menyeberangi lapangan basket, aku mencengkram erat tiang tersebut, tepat di ucapan-ucapan belasungkawa teman-teman murid yang sudah tidak ada. Aku lemas mendengarkan cerita Laras, kupikir Bu Mei guru killer biasa, ternyata benar-benar 'membunuh'. Pantas saja Nada se-enggan itu bercerita.
Lima menit perasaan takut sekaligus kosong menetap di dadaku, terdengar dalam telingaku suara bel masuk. Aku dengan langkah gontai berjalan balik ke kelas. Dapat kuliah sebagian besar murid berlari, mungkin benar kata Laras, mereka yang sekolah di sini memang sengaja untuk didisiplinkan. Wajah mereka terlihat muram dan ketakutan.
Aku merasakan sendi dan lututku lemas ketika beradu tatap dengan hal yang tidak ingin kulihat.
Beliau ....
Benar-benar merah, seperti berlumuran darah segar, matanya melotot, terlihat bersiap memukulku. Aku menatap matanya, pupil, iris, dan semua warna di matanya tidak ada melainkan merah. Suaraku mendadak hilang, terlalu takut menatap horor di depanku.
Kupaksa diriku berucap, "Bu Mei ...."
Anyir, Laras lupa menceritakan bahwa baunya sangat anyir. Laras lupa menceritakan kalau hawa sekitar menjadi sangat dingin. Laras lupa menceritakan kalau tubuh Bu Mei terbelah dua dengan organ dalamnya kelihatan.
"Bu Mei, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya waktu itu, saya nggak pernah bisa berterima kasih dengan lebih baik," desahku. "Saya baru pindah rumah ke sini lagi setelah selama ini menjauh dari wilayah geng motor karena geng besar mereka mencari-cari keluarga saya meminta pertanggung jawaban."
Seharusnya Laras tahu ini, kalau lebih baik tidak melihatnya tersenyum, karena begitu Bu Mei tersenyum, terlihat senyuman robek dari telinga ke telinga.
Beliau ....
Tersenyum atau lebih tepatnya menyeringai padaku, menyadari bahwa aku adalah gadis kecil yang dia selamatkan sehingga kehilangan nyawanya sendiri. Aku tidak tahu apakah aku setelah ini punya waktu untuk bercerita pada Nada dan Laras atau tidak.
—
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top