Arunika, Sandikala

Kata orang-orang, kehidupan SMA adalah fase kehidupan yang paling berwarna.

Ah, bullshit.

"Darren—"

"Berisik, jangan ganggu!" Aku menepis tangan seseorang yang nyaris mendarat di atas pundakku.

Kutolehkan kepalaku ke seseorang yang amat mengganggu tersebut. Rupanya dia adalah Asep, sahabatku sejak kelas sepuluh. Sekarang aku duduk di kelas XI IPA 1, kelas unggulan. Sementara itu dia duduk di kelas XI IPS 7, kelas yang katanya kelas buangan itu.

"Kebiasaan, tantrum mulu kayak Barongsai," ucap Asep sambil duduk di sebelahku.

Seperti biasa, suasana perpustakaan seperti ini benar-benar cocok untuk anak kelas unggulan sepertiku yang tak pernah absen belajar. Bukan, bukan karena aku ambis. Aku memang harus belajar setiap hari untuk mengamankan peringkatku yang semester lalu sudah mencapai peringkat 31. Peringkat 31 dari 32 siswa. Setidaknya, semester ini aku tidak boleh masuk ke dalam jajaran tiga peringkat terbawah lagi.

Sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa tiga peringkat terbawah di kelas unggulan akan didepak ke kelas biasa, dan digantikan oleh tiga anak yang mendapatkan peringkat tertinggi dalam pemeringkatan paralel khusus kelas-kelas biasa. Dalam pemeringkatan tersebut, anak-anak kelas unggulan tidak diikutsertakan karena pemeringkatan itu dibuat untuk menentukan siapa saja yang akan masuk kelas unggulan.

Ya. Masuk kelas unggulan, menggantikan tiga orang yang bisa dibilang paling bodoh di kelas unggulan. Salah satunya aku sekarang ini.

"Gimana enggak tantrum, Sep? Lu ganggu gua belajar!" seruku. "Gua ini bakal didepak dari kelas unggulan kalau nilai-nilai gua besok enggak aman lagi kayak semester kemaren! Lu mestinya paham perasaan gu—"

Mulutku seketika disumpal menggunakan sebungkus snack cokelat oleh Asep.

"Makan dulu, Koh Darren. Biar enggak tantrum," ucap Asep.

Aku mengeluarkan bungkus snack cokelat tersebut dan membukanya, lalu memakan snack tersebut. Asep bertepuk tangan tidak jelas. Anak itu nampak amat sangat riang gembira melihatku makan, seperti aku ini anak bayi yang baru belajar makan di matanya.

Untung perpustakaan ini sedang tidak ada penjaganya. Anak-anak lain pun juga tidak ada. Jadi tak akan ada yang marah kalau aku atau pun Asep tiba-tiba berteriak seperti orang aneh di sini.

"Lucu banget anak Chindo satu ini!" Asep mencubit kedua pipiku yang putih kemerahan—kata orang-orang, secara alami pipiku memang putih kemerahan—dengan brutal. Aku yakin, pasti sekarang bertambah merah karena panas ulah cubitan maut anak gila satu ini.

"Aish!" Aku menepis kedua tangannya dengan lebih brutal. "Lu serem amat dah," ucapku sambil kembali memakan snack cokelat. Setelah itu, aku mengacungkan jari tengah ke arahnya.

"Santai, Darren." Kali ini dia tidak memanggilku 'koh' lagi. "Oh iya, nanti sebelum UAS bakalan ada festival musik di sekolah kita. Kamu tau siapa anak yang paling ditunggu-tunggu buat tampil di sekolah kita?" ucap Asep seraya menaik-naikkan kedua alisnya.

"Enggak. Siapa emang?" tanyaku.

"Itu, si Anna!" jawab Asep.

"Anna siapa pula itu?" tanyaku lagi.

Asep menatapku seakan-akan tengah berkata, "gila, bisa-bisanya nih anak". Toh, aku memang tidak tahu. Siapa memangnya Anna? Artis kabupaten?

"Ginilah kalau di sekolah kerjaannya cuman belajar sama marah-marah," cibir Asep.

"Siapa yang kerjaannya cuman marah-marah?!" Nada suaraku meninggi.

"Nah, itu marah-marah," ucap Asep dengan nada datar.

Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak peduli dengan si Anna-Anna itu. Bahkan aku berencana untuk memanfaatkan waktu dengan belajar saat anak-anak lainnya sibuk menonton festival musik bodoh itu nanti, mengingat selama festival tersebut kegiatan belajar mengajar akan ditiadakan. Aku tidak boleh membuang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna.

Sayangnya, rencanaku gagal total. Asep bersikeras membawaku ke festival itu saat hari-H tiba.

"Ayolah, keluar dari kelas membosankanmu itu. Sekali-kali kamu harus ngerasain kehidupan SMA yang berwarna!" seru Asep sambil menarik-narik tanganku yang tengah mengerjakan soal matematika di kelas.

"Aish!" Aku menarik tanganku dari cengkramannya dengan kuat. "Kehidupan SMA yang berwarna itu bullshit!" seruku marah. Wajahku terasa panas sekarang karena amarah.

Asep terdiam. Tak lama setelah itu, dia meninggalkan kelas. Aku membuang napas, lalu melanjutkan latihan soalku yang sempat tertunda karena anak tadi. Namun lama-kelamaan, aku jadi merasa tidak enak hati pada Asep karena tadi sempat kumarahi. Aku pun benar-benar merutuki sifatku yang temperamental ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke festival musik yang ada di lapangan luas sekolah. Lapangan ini bukan lapangan yang biasa digunakan untuk upacara, akan tetapi lapangan khusus penyelenggaraan event seperti festival ini atau pagelaran seni. Terlihat MC sedang melakukan tugasnya di atas panggung.

"Sekarang kita sambut, seorang gadis cantik bak Idol Kpop yang merupakan anggota ekskul sastra terpopuler di SMA Bhinneka Tunggal Ika, Anna Respati!"

Suara tepuk tangan mengiringi langkah seorang gadis yang membawa sebuah seruling ke atas panggung. Tak lama kemudian, gadis itu pun memainkan serulingnya.

Fals banget, batinku sambil tertawa. Namun, anak-anak di sekelilingku langsung berbisik-bisik satu sama lain untuk mengatakan bahwa gadis itu pandai bermain musik. Yang benar saja, apa hanya pendengaranku yang normal di sini?

Namun tak masalah. Aku justru merasa gemas melihatnya. Gadis yang bermain musik dengan nada sumbang justru adalah tipeku.

"Semuanya, apa kabar?" tanya gadis itu menggunakan microphone yang baru saja diberikan oleh panitia.

"BAIK!" seru para penonton riuh.

Rasanya benar-benar seperti menghadiri konser Idol. Ya. Gadis itu akan menjadi idolaku sekarang. Tidak, pokoknya dia harus menjadi pacarku. Apalagi tiba-tiba dia bilang mau bernyanyi. Aku sudah membayangkan suaranya yang lembut itu bernyanyi seperti bidadari pengantar tidur. Bidadari cantik jelita bersuara sehalus sutra yang akan membawamu ke dalam mimpi indah. Ya, seperti itulah kira-kira gambaranku tentang sosok bidadari bernama Anna ini.

"Untuk Ayah tercinta ... aku ingin bernyanyi ...."

Kulihat anak-anak di sekitarku mulai menangis.

Aku yakin mereka menangis bukan karena terharu, tetapi karena baru saja mendengar nyanyian paling jelek abad ini.

"Walau air mata ... di pipiku ...."

Sebaiknya bakat yang ini dipendam saja, batinku sambil tertawa.

"Terima kasih kepada Anna karena sudah menyumbangkan suaranya yang sangat merdu untuk kita semua yang ada di sini pada hari ini," ucap MC. "Sekarang, saya dan Anna mau kasih kesempatan buat anak yang beruntung untuk jadi rekan duetnya Anna!" lanjutnya.

Para penonton langsung riuh. Nampaknya sangking cinta butanya, jadi rekan duetnya Anna pun mereka sangat bersedia. Apalagi para penggemar Anna yang berkumpul di sisi kanan panggung, dan mereka semua perempuan. Entahlah, tetapi kuakui Anna memang punya pesona yang juga dapat memikat banyak perempuan walau terlihat feminim dan lembut.

"Koko yang di situ, ayo maju, Koh!" seru MC.

Hampir seluruh penonton menoleh ke arahku, lalu senyum-senyum sendiri. Tentu itu karena MC jelas menunjuk ke arahku. 'Koko' atau 'koh' adalah panggilan untuk anak laki-laki etnis Tionghoa atau Chindo—orang Indonesia keturunan China—dan di sekolah ini hanya aku yang Chindo. Artinya, memang aku yang akan menjadi rekan duet Anna.

Aku berusaha menahan diri agar kedua pipiku tidak memanas dan jantungku tidak berdebar-debar tak karuan saat naik ke atas panggung. Setelah itu, tiba-tiba saja aku bernyanyi bersama Anna.

Kala kupandang kerlip bintang nun jauh disana

Saat kudenger melodi cinta yang menggema

Terasa kembali gelora jiwa mudaku

Karna tersentuh alunan lagu semerdu kopi dangdut

Tangisan para penonton malah bertambah kalut, padahal aku dan Anna menyanyikan lagu yang jelas tak sesedih lagu sebelumnya. Namun seraya menangis, mereka bertepuk tangan. Tepuk tangan mereka terdengar seperti bala bantuan untuk vokalku dan Anna yang mungkin sudah 'lari berhamburan' kemana-mana. Tak masalah. Toh, kami berdua bukan penyanyi. Vokal jelek tak masalah.

Sejak saat itu, aku dan Anna mulai saling mengenal satu sama lain. Asep benar, ternyata kehidupan SMA memang seberwarna ini. Sayangnya, masih sulit bagiku untuk menyetarakan diri dengan Anna. Aku yang minus kosakata ini sama sekali masih belum bisa memantaskan diri di hadapannya.

"Kalau liburan, lu, eh maksudnya kamu suka kegiatan yang kayak apa? Baca buku, ya?" tanyaku pada Anna yang hendak mengambil buku dari rak perpustakaan. Sempat-sempatnya aku melirik judul bukunya untuk mengetahui selera bacaan gadis pujaan hatiku tersebut.

"Aku suka melihat arunika di pantai," jawab Anna sambil tersenyum ke arahku. Gadis itu memeluk buku yang baru saja diambilnya tadi.

Aku menelan ludah. Arunika itu siapa? tanyaku dalam hati. Habisnya gengsi kalau bertanya langsung padanya, jadi kelihatan bodohnya aku.

"Kadang juga aku suka memandang sandikala," ucap Anna. "Arunika atau sandikala, dua-duanya sama-sama terlihat indah."

"Aku sukanya sandiaga," ucapku asal.

Anna tertawa. "Kamu lucu," ucapnya. "Arunika itu pemandangan saat matahari terbit, dan sandikala itu saat matahari terbenam atau senja kala. Dua-duanya kosakata yang ada di KBBI, kok. Cek aja KBBI daring."

"Oh, gitu," ucapku.

Setelah selesai pengumuman nilai UAS, tiba-tiba saja Asep menghadiahkanku buku KBBI. Hadiah itu sengaja diberikannya karena nilai-nilai ujianku tiba-tiba saja mengalami peningkatan dan karena aku memang pernah minta dibelikan buku itu sebelumnya. Rupanya dulu nilai-nilaiku turun karena stress akademik. Sejak adanya Anna dalam kehidupanku, stress akademikku perlahan berkurang dan oleh sebab itulah nilai-nilai ujianku meningkat.

Berkat KBBI pemberian Asep, aku pun mampu menguasai kosakata dalam bahasa Indonesia yang sebelumnya tidak kuketahui. Ternyata, kosakata bahasa Indonesia tidak begitu minim. Tidak seperti yang dikatakan oleh Mbak-Mbak podcast yang sehari-harinya berbicara menggunakan bahasa Inggris itu. Yang terpenting, akhirnya aku bisa memantaskan diri di hadapan Anna.

"Darren, kamu mau ke mana?" tanya Asep yang tengah menungguku di ambang pintu kelasku saat aku tiba-tiba melewatinya begitu saja.

"Mau nembak Anna!" jawabku sambil memeluk buket bunga matahari yang rencananya akan kuberikan ke Anna, tanpa menoleh ke arah Asep dan terus berjalan ke tempat tujuan. Ya. Tempat tujuanku adalah kelas Anna, XI IPS 1.

"Tu—tunggu, Ren! Astaghfirullah, aku beneran lupa. Kamu yakin diterima? Kamu, 'kan—"

Aku tak lagi mendengar ucapan Asep. Yang jelas, hari ini adalah saatnya untuk menyatakan cinta pada Anna. Aku sudah merangkai kata-kata dalam pikiranku, kata-kata indah yang kudapat dari KBBI untuk disampaikan kepadanya. Kata-kata yang lebih indah dibandingkan arunika dan sandikala.

"Anna Respati, dari sekian banyak hal yang berpijak di atas bentala (bumi/tanah), cuman kamu yang nampak amat adiwarna (indah sekali). Walau hari-hari sebelumnya telah berlalu sejak arunika menghiasi cakrawala hingga sandikala menjadi pertanda datangnya malam, sampai sekarang perasaanku ke kamu masih sama."

Aku mengucapkannya dengan mantap seraya berlutut dan menyerahkan buket bunga matahari pada Anna. Anna nampak kaget. Sementara itu, anak-anak yang masih ada di kelasnya mulai bersorak riuh dan seruan 'cie' saling beradu di dalam ruangan kelas yang tak seberapa luas ini.

"Darren, terima kasih sebelumnya," ucap Anna. "Sebenarnya, aku juga ada rasa sama kamu."

Tanpa sadar, bibirku melengkung membentuk senyuman. Anak-anak kelas semakin heboh.

Anna membisikkan sesuatu di telingaku. Raut wajahnya nampak sungkan.

Ah, bener juga, batinku sambil menahan rasa sakit di dadaku.

Baru saja Anna membisikkan kata-kata yang terdengar suram. Kata-kata yang jauh dari kesan indah.

"Darren, maaf. Tapi kita beda agama."

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top