Scenario; The Setting [14]
"Jadi ..." Daisu terus memasukkan onigiri ke dalam mulutnya. "Ada yang keberatan menjelaskan?"
"Aku dan [Name] resmi berkencan--" [Name] bergegas menyikut perut Gentaro yang duduk di sampingnya. Bagaimana Daisu tidak bertanya, jika pandangan yang pertama ditemukannya di ruang makan pagi (hampir siang) ini adalah Gentaro yang terus-terusan menempel pada [Name].
"Hah? Bohong!" Daisu melotot tidak percaya.
"Lho, betulan kok. Iya 'kan Hime-sa--Ah, [Name]-san, sakit!" [Name] kembali menyikut Gentaro.
[Name] mengelap mulutnya dengan sapu tangan sebelum berbicara. "Kami berbaikan pagi ini."
"Oh? Syukurlah." Tatapan Daisu kembali normal ketika ia kembali mengunyah isi mulutnya. "Tapi kalian tak baikan pun sepertinya tak ada bedanya. Profesional memang berbeda, ya. Performa pekerjaan kalian sama sekali tak berubah. Yang penting kan, pekerjaannya."
Gentaro masih memegangi perutnya yang nyeri ketika membalas ucapan Daisu. "Kata siapa? Meskipun dapat melakukannya dengan baik, kami tidak bisa melakukannya dengan sepenuh hati." Gentaro mengatakannya dengan aneh, ditutup dengan senyuman lebar aneh miliknya. Ia meletakkan tangannya di atas meja, lantas menopang kepalanya sambil masih memasang ekspresi yang sama. "Iya 'kan, [Name]?"
Daisu mengernyit. "Lebih baik kalian tidak usah berbaikan saja. Lebih repot kalau mood-mu bagus, Gentaro."
[Name] balas menatap Gentaro malas. "Tidak. Aku baik-baik saja."
Tawa Daisu menyembur keras. Ekspresi bahagia pada wajah Gentaro meluntur.
"Karena saat ini akhir pekan, bagaimana jika kita pergi ke taman bermain?" Daisu mengambil onigiri terakhir di atas piring, kemudian memakannya dengan telur gulung buatan Bibi. "Sekitar dua jam dari sini, ada taman bermain yang cukup terkenal. Atasan meminta kita untuk memeriksa tempat itu untuk keperluan syuting minggu depan."
"Aah yang waktu itu?" [Name] mengangkat kedua alisnya. Ia ingat seminggu sebelum bertemu Gentaro, dirinya dan Daisu melakukan survei ke beberapa tempat terpilih yang nantinya akan digunakan untuk syuting.
Daisu mengangguk. "Waktu itu aku mengajakmu bermain di sana, tapi karena sudah terlalu sore, kau menolak." Daisu mengerucutkan bibirnya, terlihat lesu. "Jadi hari ini kau tidak boleh menolak."
"Ayo." Ekspresi Gentaro kembali cerah. "Hari ini tidak terlalu terik, cuacanya pas untukku."
"Hei, aku tidak mengajakmu." Daisu mencibir ke arah sang novelis. "Aku meminta sutradara yang datang."
"Huh, aku yakin Pak Direktur akan senang kalau novelis juga datang untuk memeriksa tempat itu." Gentaro tersenyum, tetapi tatapannya sinis. "Bagaimanapun, ini novelku. Aku tidak akan puas jika setting-nya tidak sesuai dengan bayanganku dan isi tulisanku."
"Baiklah, kalau begitu ayo!" [Name] beranjak berdiri, lantas merentangkan kedua tangannya dengan penuh semangat. "Kalian sebaiknya bersiap dengan cepat. Aku akan meminta Bibi membuatkan bekal, jadi kutunggu kalian di ruang makan." Gadis itu mengabaikan argumen Daisu dan Gentaro. Ia melangkah meninggalkan ruang makan seraya membawa peralatan makannya, amat antusias dengan istirahat akhir pekannya.
"Lucu." Daisu dan Gentaro mengatakannya bersamaan sebelum mereka melirik satu sama lain.
"Aku akan segera mandi dan menemuinya di sini terlebih dahulu!"
"Kau tidak perlu mandi, Daisu. Minggir."
"Kau yang minggir! Aku ini Daisu-nii-san bagi [Name], kau seharusnya hormat padaku!"
"Huh." Gentaro mengernyit, menatapnya heran. "Tutup mulutmu. Tidak cocok."
###
"Ah, sudah?" [Name] menemukan Daisu yang memasuki ruang makan terlebih dahulu ketika ia memasukkan perbekalan untuk 'liburan' mereka hari ini. Daisu memakai kaus polos dengan luaran kemeja dan celana pendek, dilengkapi sebuah topi bundar. [Name] tertawa melihat gayanya. "Benar-benar seperti libur musim panas."
"Karena kesibukanmu, kita hampir tak pernah bisa liburan santai, [Name]-chan." Daisu menggerutu. "Aku akan memastikanmu benar-benar bersenang-senang hari ini."
[Name] mengangguk. "Kita harus benar-benar bersenang-senang hari ini."
[Name] tahu ia kehilangan masa mudanya karena ia terlalu berambisi untuk memasuki jurusan film di Universitas Tokyo. Ketika teman-temannya menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang--pergi ke bioskop, makan di kafe, pergi ke taman bermain--ia berfokus untuk belajar dan mempelajari dunia perfilman. Karena itu pun, hari ini ia tak mau kalah dari Daisu. Ia mengenakan rok selutut bermotif bunga yang cerah, kaus lengan pendek, dan sebuah kardigan dengan warna senada. Ia benar-benar harus mencicipi rasanya liburan musim panas di masa muda. Maksudnya, ia belum benar-benar setua itu, 'kan? Usia [Name] masih sembilan belas.
Gentaro menyusul tak lama memasuki ruang makan. Ia sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk ketika pandangannya bertemu dengan [Name]--tidak, yang ia perhatikan adalah pakaiannya. "Gentaro-san, kau benar-benar akan memakai itu?" Mulut [Name] menganga. "Kita akan liburan musim panas! Kenakanlah pakaian yang membuatmu nyaman."
"Huh? Aku nyaman dengan ini."
"Tidak, Gentaro-san. Itu bukan musim panas." [Name] mengerang frustasi, melangkah menghampiri Gentaro. Ia lantas menarik pergelangan tangan Gentaro, membawanya meninggalkan ruang makan. "Daisu, kemasi sisanya untukku!
"Baik!"
[Name] membawa Gentaro ke kamar sang Ayah. Meskipun terus bergerak ke berbagai belahan dunia bersama sang Ibu, tentu saja ada pakaian yang mereka tinggali di rumah itu. [Name] menyibak lemari sang Ayah, mengambil beberapa potong pakaian kemudian melemparnya asal ke atas kasur kedua orang tuanya. "Aku yakin setidaknya gaya vintage sesuai untukmu. Jangan khawatir, ayahku cukup stylish. Kautahu, mereka berkeliling dunia dan harus tampil di kamera."
Gentaro tak banyak bicara. Ia diam menatap [Name] yang menyocokkan pakaian satu sama lain. Berada di dalam sebuah kamar yang seharusnya diisi sepasang suami istri, dengan kasur besar itu, bersama seorang gadis yang disukainya membuat telinganya memanas.
"Cobalah ini." [Name] memilih beberapa potong pakaian dan diberikan kepada Gentaro. "Aku akan menunggu di luar. Bukalah pintunya kalau sudah selesai."
[Name] memainkan ponselnya kala menunggu Gentaro. Ia bersikap tak acuh hingga pria bersurai cokelat itu memanggilnya. "[Name]-san."
"Ya? Kau sudah selesai."
"Tidak! Belum," sahut Gentaro, terdengar panik seolah menahan [Name] yang mungkin akan membuka pintunya. "Sedikit lagi. Hanya saja, rasanya menyenangkan."
"Hm?"
"Dipilihkan pakaian. Selama ini Ramuda-san, ah, kau ingat kan? Stylist dan penata pakaian untuk film ini. Ia senang mencoba pakaian-pakaian model barunya pada kami. Meskipun aku tidak terlalu menunjukkannya, aku merasa senang. Walau ketika membuatnya ia tidak berpikir kalau itu akan benar-benar untuk aku dan Daisu, tetapi rasanya tetap menyenangkan. Ketika kau tahu seseorang berusaha menghasilkan yang terbaik untuk orang lain, dipakai atau digunakan orang lain."
[Name] meletakkan ponselnya, berusaha mendengarkan Gentaro lebih seksama. Gentaro terkekeh kecil di dalam sana. "Rasanya menyenangkan. Sama seperti ketika aku menulis novel. Aku tidak tahu persis untuk siapa memberikan bacaan itu, tetapi aku berusaha melakukan yang terbaik. Meskipun tak dibuat secara khusus, aku selalu berharap para pembacanya memahami apa yang ingin kusampaikan. Apa kau merasakan yang sama ketika bekerja sebagai sutradara?"
[Name] menyandar pada dinding, mengusap tengkuknya dengan senyuman kikuk. "Aku tidak benar-benar tahu. Aku belum pernah menghasilkan sesuatu yang benar-benar orisinil. Aku mendapatkan naskah film pendek pertama kami dari seorang penulis terkenal, dan aku mengadaptasi film kedua darimu. Namun meskipun begitu, aku ingin memahamimu. Aku ingin memahami bagaimana kau menulis itu. Aku ingin memahami apa yang kausampaikan. Secara keseluruhan, perasaan, pesan, semua. Seluk beluk yang ada di dalam novel itu. Aku ingin tahu bagaimana perasaan Kitsuki pada Toru. Aku ingin tahu bagaimana perasaan Toru yang selalu bersembunyi dari Kitsuki, sementara gadis itu menahan rasa sakit sendirian. Kisah cinta terang-gelap yang tragis di masa muda. Jadi setidaknya, aku ingin membuatnya untukmu. Aku ingin film itu membuatmu merasa puas, begitu pun para penonton."
[Name] hampir tak mengambil napas sepanjang bicara. Ketika ia menoleh ke arah pintu, ia menemukan Gentaro yang menatapnya serius dengan pakaian yang sudah terganti. "Ah, [Name]-san. Pesonamu benar-benar keluar ketika kau membicarakan film. Ah, atau membicarakanku, ya?"
"Aaah!" [Name] menutup wajahnya karena malu. Ia pasti terlihat aneh ketika bicara panjang tanpa henti selagi menatap langit-langit ruangan. "Kenapa kau tidak memanggilku saja?"
"Hehe." Gentaro tersenyum. "Aku sudah memanggilmu, tetapi kau tidak mendengarkan."
"Bohong."
"Memang bohong. Aku tidak ingin menginterupsimu."
[Name] menggerutu pelan, perlahan melepaskan kedua tangannya demi melihat pakaian Gentaro. Ia menyipitkan mata. "Tidak terlihat seperti musim panas ... terlalu kuno. Kemejanya juga sepertinya kebesaran." [Name] menyentuh tepi perut Gentaro yang terbalut pakaian. "Kau lebih kurus dari dugaanku."
"Hei, tidak sopan. Kaupikir kau boleh seperti itu padaku?"
"Ah, maaf." [Name] menjawab acuh tak acuh, kemudian menatap lamat-lamat pakaian itu. "Apa tidak masalah bagimu jika mengenakan celana yang lebih pendek?"
Gentaro mengangguk. [Name] kembali ke dalam kamar kedua orang tuanya, kemudian mengambil satu stel rompi rajut tipis berwarna toska. "Mungkin ini terlihat lebih segar. Lalu kenakan dengan celana pendek ini. Untuk kemejanya ... tunggu sebentar. Aku punya banyak pakaian oversize dan mungkin cocok untukmu." [Name] menyodorkan beberapa potong pakaian, lantas bergegas meninggalkan Gentaro. Dalam hitungan detik, ia kembali dengan sebuah kemeja putih berlengan pendek dengan ukuran lebih kecil. "Ini. Kenakan dengan yang baru saja kuberikan."
"Ini ... pakaianmu?"
"Ya?" [Name] mengerutkan alisnya. "Apa ada masalah?"
"Tidak, sama sekali tidak." Gentaro buru-buru menutup pintu.
Tidak seperti sebelumnya, [Name] tidak bisa bersikap tak acuh. Setelah mengingat apa yang terjadi tadi pagi, pikirannya semakin kacau. Belum lagi wajah Gentaro barusan sebelum ia menutup pintu, apa-apaan itu? Wajahnya memerah.
"[Name], terima kasih."
[Name] sedikit terkejut. "Untuk apa?"
Gentaro tertawa pelan, meski tawanya sedikit tersembunyi dengan dehamannya. "Memilihkan pakaian untukku. Aku tahu ini tidak sebesar menulis novel atau membuat film, tetapi aku tahu ini memang kaupikirkan untukku. Begitupun filmnya. Terima kasih sudah memikirkanku selama menyusunnya."
Wajah [Name] menghangat. Baru sekarang terpikirkan olehnya. Selama mempertimbangkan suatu adegan, mengatur set, mengatur cahaya, backsound, lokasi, pemeran, bahkan menu makanan selama syuting, ia selalu memikirkan Gentaro. [Name] selalu memikirkan yang terbaik untuk sang novelis. Tidak hanya untuk kepentingan pekerjaan, [Name] ternyata telah banyak memikirkannya lebih dari yang ia duga.
"Katakanlah ketika filmnya sudah selesai."
"Eh?" Gentaro yang tengah memasang kancing hampir tersedak ludahnya sendiri. "Katakan ... apa?"
"Ucapan terima kasihmu. Kita belum setengah perjalanan. Perjalanan film ini masih panjang."
Gentaro diam-diam mengembuskan napasnya lega ketika memakai rompi rajut yang diberikan [Name]. Ia nyaris panik karena pikirnya [Name] ingin ia menyatakan perasaanya di akhir syuting. "Mhm. Tentu."
[Name] perlahan mengembangkan senyuman lebar. Ia merasa sangat lega. Setelah berbaikan dengan Gentaro pagi ini dan mencurahkan isi masing-masing hati, rasanya ia dan Gentaro dapat mengatakan segalanya dengan lebih terbuka dan jujur.
"[Name]-san." Gentaro memanggilnya bersamaan dengan terbukanya pintu tersebut. [Name] menatapnya sebentar, lantas mengangguk. "Sudah terlihat seperti musim panas! Warna beige yang seperti pasir laut memang cocok dengan biru. Seperti musim panas." Gadis itu tertawa ringan. "Kalau begitu ayo! Daisu pasti sudah menunggu kita."
Gentaro mengangguk, menyusul langkah [Name]. Sungguh, gadis itu benar-benar terlihat cantik dengan pakaiannya saat ini. Kaus lengan pendek putih, rok toska dengan motif bunga kuning, dan kardigan krim yang ia letakkan di tangannya.
"Huh?" Gentaro menyadari ada sesuatu yang janggal, bergumam. Apa ia melakukannya dengan sengaja?
###
"Kita sudah sampai!" Daisu merentangkan tangannya lebar-lebar ketika sampai di taman bermain. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama bahkan tak membuat mereka mengantuk karena antusias.
"Gentaro-san, seharusnya kau lebih mengerti seluk beluk seperti apa tempat ini, 'kan?" [Name] menjinjing sebuah tas, menatap Gentaro yang berdiri tak jauh darinya. "Aku adalah siswi ambisuius sejak SMA, jadi aku tak banyak bersenang-senang hingga saat ini. Lalu Daisu, kau tahu sebabnya, ia tak mempunyai uang untuk datang ke tempat seperti ini."
"Ah, sebenarnya ..." Gentaro menggaruk belakang kepalanya. "Aku juga belum pernah pergi ke tempat seperti ini. Aku hanya membaca referensi dari buku atau televisi."
"Apa?" [Name] menatapnya tak percaya. "Itu berarti tak satu pun dari kita pernah datang ke tempat seperti ini?!"
"Jangan khawatir!" Daisu melambaikan tangannya. "Kita tinggal meniru orang lain saja. Tidak akan sesulit itu."
Karena kepentingan film, ketiganya diizinkan memasuki taman bermain tanpa harus membayar biaya apapun, bahkan ketika membeli tiket. Daisu sempat menggerutu, "Tahu begitu aku sudah datang sejak hari-hari sebelumnya sendiri. Aku bisa main dan makan apapun sepanjang hari di sini."
"Yah, itu tidak akan terjadi." [Name] menatap peta taman bermain. "Baiklah, kemana kita harus pergi terlebih dahulu?"
Gentaro dan Daisu ikut mengintip ke dalam peta tersebut, ikut berpikir. "House of Scream itu ... apa?" Gentaro menunjuk lokasi terdekat dari tempat mereka berdiri saat ini.
"Ah." [Name] menggumam pelan setelah menemukan tempat bernama House of Scream itu. Tidak salah lagi, rumah hantu. "Apa kita akan masuk?"
"Jangan khawatir, [Name]-chan! Aku akan melindungimu!" Daisu memasang badan di depan [Name], seolah akan ada hantu yang menerkam [Name] dari depan. Gentaro ikut merangkulnya, bertingkah seolah sedang melindunginya.
###
Kenyataannya, Gentaro dan Daisu-lah yang bersembunyi di balik punggung [Name] ketika mereka memasuki tempat itu. Mereka melaluinya dengan cukup cepat berkat kerasionalan isi kepala [Name] setiap mereka berteriak ketakutan. Ia menjadi pengarah jalan setiap keduanya ketakutan dan menghambat langkah mereka.
[Name] menghela napas panjang. "There, there." Ia menepuk-nepuk bahu keduanya ketika duduk di bangku. [Name] meringis ketika menemukan anak-anak yang baru keluar dari sana terlihat sama pucatnya dengan mereka. Jika boleh jujur, tentu [Name] takut, tetapi ia berusaha lebih tenang. Jika ketiganya panik, mungkin hantu-hantu di dalam akan lebih senang mengganggu mereka dan entah kapan mereka dapat keluar dari tempat itu.
"[Name]-chan, es krim," ucap Daisu, merengek manja menunjuk sebuah kios es krim tak jauh dari rumah hantu yang baru mereka kunjungi. Tatapan [Name] berubah tajam ketika ia menyadari Daisu sudah kembali normal, lantas memukul pelan kepalanya. "Ow!"
[Name] kembali membuka peta, melihat-lihat wahana berikutnya. "Ah, Gentaro-san, kalau tidak salah di dalam film ada komidi putar dan ferris wheel 'kan? Lalu, roller coaster."
Gentaro mengangguk. "Adegan mana yang paling kausukai?"
"Ah? Hmm ..." [Name] mengusap dagunya, berpikir. "Ini adalah adegan di mana Kitsuki berusaha membuka masa lalu mereka, bukan? Mereka adalah teman sejak kecil hingga Toru memutuskan untuk 'lari'. Akan tetapi, mereka tanpa sengaja bertemu di SMA lagi ketika kebetulan Kitsuki pindah sekolah. Toru selalu bersembunyi dan menghindarinya, hingga Kitsuki membuatnya tak memiliki pilihan dengan bekerja sama dengannya. Kitsuki meminta OSIS memperkerjakan mereka bersama untuk mencari sponsor hingga sampai ke taman bermain." [Name] berusaha mengingat-ingat isi cerita novel Gentaro dengan meringkasnya.
"Mungkin bagian favoritku adalah ketika mereka naik roller coaster. Selama beberapa saat, Toru seolah melupakan seluruh bebannya, kehidupannya, mencoba bersenang-senang bersama Kitsuki. Aku juga suka ketika Kitsuki diam-diam menggunakan kamera dokumentasi untuk merekam Toru. Ia memotret dan membuat video seolah ia akan segera kehilangan Toru. Namun tetap saja, ternyata tak lama setelah itu Toru kembali meninggalkannya," pungkas [Name] disertai dengan tawa pendek. "Biasanya adegan taman bermain dianggap menyenangkan, penuh komedi, hingga romantis. Kau memang sempat membumbuinya seperti itu, tetapi bagaimanapun, adegan di sana begitu emosional."
"Kenapa sih kau harus membuat cerita rumit seperti itu," protes Daisu, ikut menimpali setelah sejak tadi mendengarkan. "Aku tidak suka mendengarnya. Terlalu tragis. Baik Toru maupun Kitsuki tidak akan pernah mengerti perasaan mereka satu sama lain."
Gentaro mengangkat kedua alisnya. "Oh, kau membaca ceritanya, Daisu?"
"Tidak sepenuhnya. Jika antusias, kadang kala [Name] menyerocos membicarakan plot novel itu. Ia sepertinya menyukainya."
"Tapi akhirnya mereka mengerti, kan." [Name] menyatukan kedua tangannya. "Meskipun tak benar-benar menyatu, baik Kitsuki maupun Toru berusaha mengerti posisi satu sama lain. Kitsuki bahkan mengatakan kalau ia akan menunggu dan tidak akan mencari Toru lagi sampai ia sendiri mau menemuinya. Tapi agak menyebalkan, ya. Kupikir akan menarik jika mereka membuat sebuah hubungan meskipun berada di dunia yang berbeda."
Gentaro tersenyum kecil. "Bukan itu titik fokusnya, [Name]-san. Bukan karena mereka berada di dunia yang berbeda dengan Kitsuki yang hidup normal dan cerah sedangkan Toru hidup mati-matian di bawah, tidak seperti itu. Mereka membutuhkan waktu untuk memaafkan satu sama lain."
"Tapi itu 'kan bukan keinginan Toru sendiri. Ia hidup di dunia gelap bukan atas keinginannya, tetapi ia membutuhkannya."
Gentaro memutar pandangannya ke arah komidi putar di hadapan mereka, tersenyum lembut. "Aku tahu. Tapi apa kau akan benar-benar mau begitu saja menerima orang yang sudah memilih jalan yang salah dalam hidup mereka?"
[Name] mengikuti arah pandang Gentaro, komidi putar yang terlihat tak begitu menarik di siang terik seperti ini. "Sepertinya aku mengerti perasaan Kitsuki. Aku juga akan berpikir lagi. Bahkan jika ia berusaha meyakinkan Toru, Kitsuki yang memiliki sifat dewasa pun berusaha mengerti dan tidak akan menuntut Toru lagi. Terus mendesaknya justru akan menyebabkan ketidakstabilan perasaan Toru."
"Akhirnya kau mengerti." Gentaro tertawa pelan. [Name] termangu melihatnya. Gentaro dengan pakaian biasa, bukan pakaian 'super merepotkan' menurut [Name], terasa lebih mudah digapai. Ia mengeluarkan aura yang berbeda, meskipun dengan kehangatan dari orang yang sama. Indah. Baginya Gentaro tak setampan laki-laki berusia dua puluhan di agensinya yang lebih tegas, maskulin, dan mapan, tetapi Gentaro benar-benar berbeda. Gentaro amatlah indah.
[Name] ikut tersenyum. "Selain itu, mungkin akan sedikit sulit bagi Kitsuki untuk memaafkan Toru."
Gentaro mengerjapkan kedua matanya, menatap [Name]. "Apa? Kenapa?"
Tawa kecil, mungkin sedikit pahit, keluar dari mulut [Name]. "Jika aku adalah Kitsuki, mungkin aku akan membencinya. Momen ketika 'aku' melihat Toru, aku mungkin akan merasakan percikan bahagia, tetapi rasa terluka menyelimuti hatiku. Maksudku, bukankah Toru menghilang begitu saja? Toru egois. Meksipun ia punya alasannya sendiri, setidaknya ia harus mengatakan sesuatu sebelum meninggalkan Kitsuki beberapa tahun lalu."
Tatapan Gentaro kosong. Jika sebelumnya ia tersenyum senang mendengarkan kesimpulan-kesimpulan yang [Name] ambil karena ia mengerti jalan ceritanya, kali ini ia merasa sedikit terpukul. Karena ia tahu, [Name] benar.
###
Horee! Konfliknya mulai iseng ngintip hendak melompat ke permukaan! Sebagai catatan tambahan, di bab ini kalian mulai bisa mengerti alur cerita novel The Hiding Boy yang ditulis Gentaro di ff ini. JIka kalian lupa dengan alur awal mula/latar belakang tokoh Toru, kalian bisa cek di bab-bab sebelumnya, kalau tidak salah, ada di bab Scenario; The Make Up [10]. Jika kalian teliti, protagonis Kitsuki yang dimaksud adalah tokoh yang diperankan sama Nemu, aka heroine/protag perempuan. Apakah konspirasi konflik yang akan timbul nantinya sudah mulai terpikir di otak kalian? Jangan lupa dukungannya dengan memberi jejak, ya! Aku sangat berterima kasih buat kalian yang udah baca sampe titik ini, dan sekali lagi, terima kasih banyak untuk 2K-nya!
Salam hangat,
Kansa. [23/04/21]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top