Scenario; The Script [11]
"CUT!" Adegan terakhir di gedung sekolah hari ini selesai. Selain Ichiro, Nemu pun mulai mengambil set-nya di permulaan cerita sebagai sosok murid perempuan pindahan.
Samatoki tak berhenti bergumam kagum atau diam-diam menepukkan kedua tangannya. Ia menyembunyikannya dengan cukup baik meskipun beberapa kali tertangkap oleh staf, bahkan [Name] sendiri walau ia tak menyadarinya.
Syuting hari ini ditutup dengan evaluasi dari sutradara, [Name], serta staf lainnya yang ingin menyampaikan saran dan masukan mereka terhadap jalannya film selagi menyantap makan malam. Semua orang masih terlihat segar dan bersemangat hari ini, tak terkecuali Ramuda yang sepertinya tak berhenti bergerak bersama penata rias lainnya untuk mengatur riasan dan pakaian para pemain hari ini. Tak hanya itu, aktor dan aktris yang turut bermain hari ini pun mengajukan beberapa pertanyaan mengenai skrip untuk adegan besok. Setelah evaluasi selesai, para pemain dan staf diizinkan pulang.
"Kerja bagus hari ini! Mohon istirahat yang cukup dan persiapkan diri untuk besok," tukas [Name], membungkuk bersama Gentaro dan Daisu. Staf lainnya dan para pemain pun menyusul, meninggalkan lokasi syuting.
[Name], Daisu, dan Gentaro menunggu hingga seluruh staf pulang. Beberapa staf penanggung jawab pun memeriksa ulang setiap sudut yang digunakan untuk syuting serta persiapan untuk esok hari. Setelah staf penanggung jawab permisi, barulah mobil van yang mereka naiki bergerak.
[Name] membuka laptopnya, membuat laporan harian untuk atasannya mengenai syuting hari pertama. Jemarinya yang lincah mengeluarkan suara mengetik yang berisik, tetapi para staf dan kedua rekannya tak mempermasalahkannya.
Daisu membuka kotak stok cemilan dan minuman yang terdapat di mobil van [Name]. Ia mengambil beberapa makanan, kemudian menawarkannya pada staf yang mengemudi serta staf penanggung jawab lainnya yang duduk di kursi depan. Ia juga mengambilnya untuk [Name] yang duduk di tengah, memisahkannya dengan Gentaro yang duduk di sisi kiri. "Ini."
[Name] tak menggubrisnya, tetap menggerakkan jemarinya dengan lincah. Mengetahui [Name] yang tidak akan meresponnya, Daisu membuka bungkus snack bar untuk [Name] dan menyodorkannya pada mulut [Name]. Gadis itu lantas mengunyahnya perlahan tanpa mengalihkan pandangannya. Memang, Daisu adalah pria yang paling mengerti tentang dirinya.
"Gentaro, kalau kau mau juga, ambil di--" Ucapan Daisu terpotong ketika ditemukannya Gentaro dengan kedua matanya yang telah terpejam. Bahunya yang terbalut pakaian tradisional khas miliknya naik dan turun. Napasnya sangat tenang dan sunyi, seperti bayi yang tertidur.
Daisu kembali menyandarkan punggungnya, ikut merehatkan tubuhnya. Sudah cukup lama ia tak berurusan dengan hal semacam itu, jadi Daisu cukup lelah. Untuk Gentaro yang baru pertama kali melakukannya, pasti jauh lebih terasa melelahkan. "Otsu ..." tuturnya, menepuk kepala kedua rekannya bergantian sebelum ikut terlelap. Jika saat itu Gentaro masih tersadar, mungkin ia akan memukul pelan kepala Daisu, menggerutu. "Tidak sopan!" Mungkin itu yang akan dikatakannya.
[Name] mematikan dan menutup laptopnya, lantas ikut bersandar. Daisu yang menyadari posisi tubuhnya sebelum benar-benar terlelap merangkul gadis di sampingnya, memberikan [Name] bahunya untuk beristirahat. Dalam hitungan detik, [Name] sudah menguap dan disusul dengan dengkuran kecil.
Daisu mengembuskan napasnya pelan selagi tersenyum, merindukan masa-masa seperti ini ketika pembuatan film pendek pertama mereka. Daisu sadar ia merindukan masa-masa itu dan akan memulainya kembali dengan jangka waktu yang panjang, bersama orang-orang baru yang akan semakin membuat waktu-waktu ini terasa menyenangkan.
Ketika kesadarannya mulai tenggelam pada dunia mimpi, [Name] memeluk sebelah tangannya, membuat posisi nyaman untuknya yang sama sekali tidak Daisu sadari.
• • •
Ketika roda van berhenti berputar, Gentaro adalah orang pertama di kursi belakang yang menyadarinya.
Staf yang duduk di depan sudah dipulangkan terlebih dahulu sebelum mereka sampai di rumah [Name]. Pada masa-masa syuting, [Name] sering kali mengundang staf untuk mampir ke rumahnya atau makan malam terlebih dahulu di sana, tetapi kebanyakan menolak mengingat mereka harus bersiap lagi dan datang pagi-pagi keesokan harinya.
Salah satu staf yang bertugas dalam keperluan transportasi--orang yang membantu antar jemput [Name], Daisu, dan Gentaro--tinggal tak jauh dari kediaman [Name], karena itu tak jadi masalah baginya setiap kali [Name] mengundangnya untuk makan malam. Akan tetapi, ia memilih pulang untuk hari ini.
"Arisugawa-kun," panggilnya, mengguncang bahu Daisu ketika dibukanya pintu belakang. Ketika Daisu membuka kedua matanya, ia berbisik. "Sudah sampai. Tidak perlu membangunkan [Surname]-san, katakan saja padanya aku pulang duluan. Sepertinya beliau hari ini sangat kelelahan."
Daisu mengucek matanya, menyadari tempatnya berada saat ini. "Mmh ... baiklah. Apa tidak apa-apa?"
Staf tersebut mengangguk. "Saya permisi dulu." Ia membungkuk pelan pada Daisu, kemudian menatap Gentaro di sisi lain kursi belakang. "Yumeno-san, saya permisi. Sampai jumpa besok."
Gentaro hanya mengangguk sementara Daisu melambaikan tangannya sambil berusaha turun dari van membawa [Name] yang masih tertidur. "Tolong istirahat yang cukup dan jangan terlambat~! Otsukare ..." pesan Daisu, disambut senyuman sang staf sebelum benar-benar meninggalkan kediaman [Name].
Sambil mengumpulkan kesadarannya, Daisu membawa [Name] ke atas punggungnya. Setelah memastikan posisi gadis tersebut sudah stabil, ia menggendongnya dan mengambil beberapa barang penting [Name] dari van. "Ah, Gentaro, kau duluan saja. Aku akan menyusul segera."
Gentaro menggeleng, mengambil beberapa barang yang dibawa Daisu. "Biar kubantu."
"Ooh? Terima kasih." Daisu tersenyum lebar, kemudian membenarkan posisi [Name] yang mulai oleng. "Kalau begitu aku masuk duluan. Kau juga segera masuk ya, Bibi dan Paman pasti menyiapkan makan malam juga. Datanglah ke ruang makan terlebih dahulu, aku akan menunggu [Name] bangun."
Gentaro tak menjawab ketika Daisu berlalu, membawa gadis muda yang rapuh terlelap di punggungnya. Awalnya ia kira karena dirinya baru saja terbangun dari mimpi yang panjang--orang-orang yang kelelahan dengan tidur singkat cenderung lebih mengingat mimpinya--tetapi hingga ia benar-benar tersadar hingga saat ini pun, hatinya terasa sakit.
"Seiring sejuknya angin musim panas yang meniup helaian rambutmu, engkau mengungkapkan hal-hal yang membuat hatiku bergembira. Kupikir angkasa tersenyum pada kita kala itu, tetapi rasanya saat ini seisi alam semesta ikut bersedih menggenggam hatiku." Gentaro menggumam pelan, kemudian tertawa pahit. "Apa yang sebenarnya kubicarakan ...? Kata-katanya tidak terasa benar, hmm ..."
Ia berdiri di depan pintu, masih dipenuhi rasa terluka kala ditatapnya kedua sosok rekannya hari ini--Daisu dan [Name] yang melewati koridor utama rumah di bawah cahaya terang kekuningan di dalam rumah. Kepala [Name] tenggelam dengan nyaman pada bahu Daisu, masih mendengkur pelan. Dengan posisinya berdiri saat ini masih di luar rumah dengan langit yang telah gelap gulita, Gentaro merasa ia berada di dunia yang berbeda dengan [Name] dan Daisu.
"Aku tidak seharusnya merasa begini, 'kan?" Gentaro mengusap tengkuknya, mulai melangkah masuk. "Untuk apa bertingkah hiperbola seperti ini, bodoh."
Ia melewati dapur dan mencium aroma makanan yang disiapkan untuk makan malam. Ditemukannya Bibi yang tengah memasak, menyambutnya dengan senyuman ketika Gentaro menampakkan wajahnya mengintip dapur. "Ah, selamat datang, Yumeno-kun. Makan malamnya sebentar lagi siap, silakan tunggu di meja makan."
Gentaro mengangguk pelan, meninggalkan dapur menuju meja makan yang kosong. Ia menemukan beberapa peralatan makan yang belum ditata, jadi ia ingin sedikit membantu dengan cara menyiapkannya untuk mempermudah Bibi dalam menyiapkan makan malam.
"Ah, Yumeno-kun, tidak usah ...! Biar Bibi dan Paman saja." Bibi terlanjur menemukannya ketika Gentaro hampir menyelesaikan persiapannya. Gentaro terkekeh pelan, sedikit memaksakan senyumannya. "Tidak apa-apa, aku ingin sedikit membantu."
"Mungkin Yumeno-kun sangat antusias untuk mencicipi makan malam hari ini, Bu. Terima kasih banyak, Yumeno-kun." Paman asisten rumah tangga pun datang tak lama setelahnya, telah selesai membersihkan ruangan di sebelah dapur. Ia ikut membantu Gentaro selagi Bibi meletakkan sajian untuk makan malam hari ini.
"Ya, sepertinya begitu." Gentaro tertawa kecil, lantas menyiapkan alas duduk untuk kedua asisten rumah tangga [Name].
Ketika Bibi mengisi mangkuk-mangkuk dengan nasi, ia menatap Gentaro. "Yumeno-kun, bisakah kau panggil [Name]-chan dan Daisu-kun? Kita bisa memulai makan malam jika mereka bergabung dengan kita."
Gentaro terdiam sebentar. "Tadi Daisu bilang agar aku duluan makan malam saja, tapi aku akan tetap memanggilnya. Aku juga perlu mengganti pakaianku," ucapnya, menunjuk pakaian tradisional berlapis-lapis yang digunakannya. Ia biasanya hanya menggunakan yukata putih jika di rumah, jadi Gentaro perlu menggantinya terlebih dahulu.
"Baiklah, kami akan menunggu." Bibi asisten rumah tangga tersenyum ketika Gentaro meninggalkan ruang makan.
Dengan pikiran bimbang, ia memasuki kamar yang ditumpanginya untuk berganti pakaian. Daisu tak ada di sana, mungkin masih mengurus [Name]. Setelah mengganti pakaiannya, Gentaro memutuskan untuk tetap mencari keduanya karena Bibi dan Paman sedang menunggu keduanya. Kadang kala ia mungkin bersikap menyebalkan terutama pada orang-orang seusia atau lebih muda darinya, tetapi Gentaro tidak ingin sekalipun membohongi kedua orang tua yang membantunya di tempat ini.
Gentaro menemukan kamar [Name] yang belum tertutup rapat. Kamar dengan wangi yang menenangkan itu seharusnya hanya dihuni [Name] seorang. Gentaro belum pernah memasukinya, jadi meskipun beberapa kali melewatinya, ia masih merasa asing dengan ruangan ini.
Gentaro membatalkan niatnya untuk mengetuk ketika menemukan sosok Daisu yang duduk di atas futon [Name], membiarkan kepala gadis itu beristirahat di pangkuannya. Lelaki bersurai navy itu pun mengelus rambut [Name], memberikannya rasa nyaman. Gentaro tak pernah mendapati Daisu berlaku lembut atau berinteraksi secara berkelanjutan pada perempuan sebelumnya, kecuali gadis itu--[Name]. [Name], sutradara muda berparas indah itu telah mengubah temannya.
Saat itu pun, Gentaro menyadari bahwa [Name] sendiri pun telah mengubah perasaannya. Saat itu ia juga sadar, bahwa ia tidak boleh mengusik dunia [Name] dan Daisu yang telah jauh lebih hangat dan terang darinya. Sebagai dua sosok yang telah membantunya selama beberapa hari terakhir, Gentaro pun berpikir ia tak seharusnya memiliki perasaan itu--dan ia tidak berhak sedikit pun tentang itu.
• • •
"[Name] masih tertidur, jadi Daisu masih menemaninya, Bibi. Mereka berdua mungkin akan menyusul nanti." Gentaro kembali dengan ekspresi cerah yang telah ia poles sebaik mungkin. Bibi dan Paman asisten rumah tangga bertukar pandang sebelum mengangguk. "Baiklah, mari makan malam," ucap Paman, tersenyum lebar ketika Gentaro duduk di sampingnya.
Makan malam berlangsung sunyi, hanya suara peralatan makan yang berdenting, suara kunyahan, atau seruan takjub atas betapa lezatnya makanan buatan Bibi. Ketika Gentaro menyelesaikan makannya dan ingin membawa peralatan makannya ke dapur, Bibi meminta Gentaro meletakkannya saja di sana. "Ah? Tentu," tutur Gentaro pelan sembari kembali meletakkan peralatan makannya.
"Anu, Yumeno-kun." Paman memanggil Gentaro sebelum lekaki bernetra hijau itu benar-benar meninggalkan meja makan. "Apa sesuatu terjadi hari ini?"
"Ya? Sesuatu yang terjadi?" Gentaro menoleh, menatap Paman dan Bibi dengan alis yang bertautan. "Tidak ada, saya rasa. Semuanya berjalan lancar. Ada apa?"
"Benarkah?" Paman dan Bibi kembali bertukar pandang sebelum Paman bertutur kembali. "Kau terlihat sedikit sedih. Apa ada yang membuatmu khawatir?"
"Apa terlihat?" Tanpa dirinya sadari, Gentaro menggumamkan apa yang dipikirkannya. "Ti-tidak, maksudku, saya tidak apa-apa. Terima kasih sudah khawatir. Mungkin saya sedikit kelelahan."
Paman merogoh sakunya, mengambil sebatang cokelat berukuran kecil. "Kudengar dari [Name] kau sepertinya suka teh hijau. Kebetulan aku membelinya tadi di pasar, rasanya sangat menenangkan."
Gentaro menerima bungkusan kecil cokelat berwarna hijau tersebut, menatapnya lama. Mungkin selain kegalauan yang menguasai hatinya, ia hanya membutuhkan dukungan kecil dari orang lain. Ia mengangguk selagi tersenyum. "Terima kasih."
Gentaro meninggalkan meja makan selagi mendengar perdebatan kecil Paman dan Bibi. "Apa yang kauberi pada anak itu? Bagaimana jika ia sakit gigi?" Bibi mengomel, sementara Paman tertawa. "Tidak apa-apa, Bu. Anak itu terlihat membutuhkan sedikit camilan untuk meningkatkan suasana hatinya.
Ketika ia hampir sampai di depan kamarnya, ia mendengar suara pintu digeser dari ruangan lain. "Ah, Gentaro-san!" Suara selanjutnya yang Gentaro dengar adalah suara yang paling tidak ingin didengarnya saat ini. Suara [Name]. "Kami baru akan makan malam. Kau sudah makan malam?"
Gentaro tak menjawab, melangkah masuk ke dalam kamar yang ditumpanginya selagi membalas dengan pelan. "Selamat malam."
• • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top