Scenario; The Project [1]
"NOVEL itu sudah terbit sejak setahun lalu, dan sangat menjadi populer sejak itu. Aku sangat bangga kau menjadi sutradara yang dipercayai Phantom-san untuk bertanggung jawab atas film tulisannya." Pemuda berambut biru gelap itu tak berhenti mengoceh kala membuntuti sang sutradara. Sebagai asisten pribadi, membuntutinya kemana pun dan menjadi rekan mengobrol maupun menjaga keamanan gadis sutradara itu---[Fullname]---adalah bagian favorit dari pekerjaannya.
[Name] mendeham. "Jadi Daisu, maksudmu kau membanggakan aku atau Phantom-san? Phantom-san adalah teman lamamu, bukan?"
Lelaki yang dipanggil Daisu itu terkekeh. "Bukan teman lama. Aku selalu menjadi sobatnya, tepatnya. Hanya saja, semenjak aku mendapat pekerjaan tetap untuk menjadi asistenmu, kami semakin jarang bertemu. Sebenarnya, aku memuji kalian berdua. Aku senang kalian akhirnya bisa bekerja sama. Ini merupakan debutnya dalam memproduksi sebuah film, jadi kuharap kau bisa melakukan yang terbaik, [Name]-chan."
[Name] yang notabenenya adalah orang yang begitu tenang dan terkendali, hanya mengembangkan senyuman tipis pada bibirnya. "Kuharap kau mengatakan hal yang sama padanya, Arisugawa Daisu. Meskipun ini bukan debutku dan aku sudah memproduksi film pendek sebelumnya, tetapi sebaiknya Phantom-san juga melakukan pekerjaannya dengan baik."
Daisu refleks menggenggam tangan [Name] ketika hendak menyebrangi jalan menuju gedung studio tempat pertemuan mereka dengan seorang novelis bernama pena Phantom, sesuai yang mereka janjikan tempo hari. Mereka dalam perjalanan dari lokasi parkir menuju gedung besar tersebut, tempat [Name] akan menghabiskan waktunya dalam beberapa bulan---atau bahkan tahun---ke depan untuk menyelesaikan projek film adaptasi novel barunya.
Dan ia baru saja akan memulainya.
"Tentu, tentu! Kau tidak perlu khawatir. Dia itu seorang pekerja keras, meskipun agak pesimis dan terkadang mudah menyerah. Namun, satu hal yang perlu kau cemaskan mungkin adalah kepribadiannya," tutur Daisu dengan iringan tawa pelan. "Phantom-san itu ... agak unik."
Yah, itu mungkin mulai terbukti dengan pilihan tempat Phantom-san untuk bertemu dengan kami.
Mereka berjalan memasuki gedung, menghampiri resepsionis dan menanyakan---lebih tepatnya memastikan---ruangan yang mereka janjikan pada sang novelis yang tengah populer, Phantom. Gedung ini tentu telah menjadi bagian hidup bagi [Name] dan tentu saja bagi Daisu, mengingat mereka sama-sama pernah mempelajari pembuatan sebuah film, sinematografi, juga melahirkan sebuah film pendek sekitar hampir setahun lalu yang sukses besar.
Selain itu, bagi [Name], Daisu melebihi sebagai sekadar asisten pribadi. Daisu adalah rekan yang akan berbagi dan mendengar setiap perkataan [Name], bahkan tak segan mengoreksi dan menasehatinya. Tak jarang pula, dalam pembuatan filmnya Daisu selalu turut berpartisipasi dan menjadi 'penasehat' bagi gadis berusia sembilan belas tersebut.
"Unik? Seperti apa?" tanya [Name] penasaran, alis kirinya dinaikkan. "Sejak kapan kau mengenal Phantom-san?"
Daisu menekan tombol lift, memilih tombol dengan tanda panah ke atas. "Soal pertanyaan pertama, biarkan itu menjadi kejutan bagimu. Aku akan membiarkanmu mengenal dan memahaminya ... dengan sabar dan perlahan." Ucapan Daisu terputus dengan tawanya. "Aku serius, tapi kau tak perlu khawatir. Phantom-san itu orang yang baik, aku sudah mengenalnya sekitar empat tahun lalu."
"Empat tahun lalu?" Jujur saja, [Name] agak terkejut. "Selama itu? Dan sejak itu dia sudah menulis?"
Mereka bergegas memasuki lift ketika bunyi ting terdengar dan menampakkan kehampaan di dalam lift setelah pintunya terbuka. "Ya, bahkan sebelum aku mengenalnya. Ketika SMA, Gen---maksudku Phantom-san menghibur temannya yang sakit dengan cerita-ceritanya. Karena itulah, ia terinspirasi." Daisu berucap sebelum kembali menekan tombol lantai gedung tujuannya.
[Name] mengangguk-angguk sebelum menampakkan senyuman manisnya. Ia menggenggam tali tas selempang yang dikenakannya, seolah hal tersebut dilakukannya untuk menambah energi dan semangat pada tubuhnya seiring senyumannya bertambah lebar. "Aku yakin sekali, Phantom-san adalah orang yang sangat baik."
"Sudah kubilang, 'kan?" Daisu menyeringai. "Dia adalah novelis muda, dan kau adalah sutradara yang masih sangat belia. Kalian berdua adalah bentuk kolaborasi yang luar biasa! Aku sangat bersemangat!" Ia menepuk tangannya dengan amat rusuh di dalam lift. Untung saja, tak ada siapapun di sana selain mereka berdua.
Tak lama, lift kembali menyuarakan bunyi ting-nya, ketika lift berhenti bergerak dan menampakkan angka tiga pada proyektornya. Pintu terbuka, menampakkan lantai yang tampak lebih sibuk dibandingkan lantai dasar. Banyak orang yang melakukan meeting di suatu ruangan tertentu, tetapi [Name] meyakini bukan ruangan itulah tujuannya. Phantom memintanya bertemu di balkon timur.
Yang benar saja? Apa jangan jangan ia ingin bunuh diri sebelum melemparkan tanggung jawab pembuatan filmnya padaku?
Atau, ia berencana melakukan bunuh diri bersama?
Di balik tampang tenang dan berwibawa [Name], selalu tersimpan pikiran-pikiran buruk dalam benaknya. Meskipun hanya mengenakan terusan mustard dan outer yang menyerupai jas berwarna gelap sederhana yang disertai sneakers berwarna terang, [Name] tampak hebat dan manis hari ini bagi Daisu. Yah, setidaknya itulah yang ia pikirkan.
"Koridor timur ada di sebelah sana, [Name]-chan." Daisu menegur [Name], dengan sigap menyentuh bahunya dari arah belakang dan mengarahkan sang gadis ke arah tempat tujuan.
[Name] menggerutu, tetapi tak berusik dari arahan Daisu. "Aku tahu," ocehnya.
"Kau tadi melamun, karena itulah aku menegurmu. Kupikir kau gugup, hm?" Daisu tersenyum usil.
"Tidak, sama sekali tidak!" Apa yang [Name] ucapkan berkebalikan dengan tampang yang ditampilkannya saat ini. Wajahnya memerah, dan ia mati-matian menyembunyikan kegugupannya. "Ba-baiklah, kurasa aku memang gugup."
Daisu tertawa lepas. Ia berhasil mengalahkan sisi dingin sang sutradara dan membuat gadis di sampingnya mengungkapkan yang sebenarnya.
"Daisu."
"Eh---maaf, apa? Apa yang ingin kaukatakan, [Name]?"
[Name] menampakkan raut khawatir. "Apa aku terlihat gugup ... dan buruk?"
Mendadak, rasa bersalah menghujani sang asisten bermarga Arisugawa tersebut. Ia menggeleng kuat, "Bukan itu maksudku, sama sekali tidak!" Daisu menepuk kepala [Name], membetulkan posisi jepit rambutnya, kemudian tersenyum. "Kau terlihat lebih baik sekarang."
"Bagus!" Mendadak, rasa percaya diri dan sifat optimistik kembali pada diri [Name]. Ia membetulkan posisi tas pada bahu kanannya, lantas berjalan menyusuri balkon timur. Melihat perubahan mendadak gadis itu, Daisu hanya menggeleng pelan, memaklumi kelabilannya.
Kemudian, mereka menemukan sesosok pemilik rambut gondrong kecoklatan yang tampak masih disibukkan oleh bacaan berupa buku sakunya, selagi menyesap secangkir teh. Dengan santainya, ia membolak-balik halaman buku sakunya dengan jari-jarinya yang lentik.
Penampilannya yang benar-benar eksentrik, berhasil membuat mulut [Name] ternganga. Gadis itu bahkan sempat membalikkan tubuhnya, menanyakan perihal sang Phantom kepada Daisu. Anggukan Daisu memperjelas semuanya, orang di depannya memang sang novelis Phantom.
Kau serius? Hari ini cukup cerah dan ia mengenakan berlapis-lapis pakaian tradisional? Lagipula, dari mana ia mendapatkan teh itu?!
"Hime-sama, apa kau menungguku sampai aku memanggilmu kemari agar kita bisa bicara?" Suara lembut meluncur dari mulut lelaki eksentrik itu. "[Fullname]-san, bukan? Orang yang akan memegang tanggung jawab penuh terhadap projek film adaptasi novelku?"
[Name] memantapkan langkahnya untuk mendekati Phantom. "Benar! Anda pasti Phantom-san, novelis 'The Hiding Boy' yang akan kupertanggung jawabkan dalam pembuatan filmnya. Senang bertemu dengan Anda, Phantom-san."
Sang Phantom mengangguk singkat. "Aku Yumeno Gentarou. Cukup panggil aku Gentarou, tidak perlu seformal itu. Kau juga pasti sudah mendengar banyak hal tentangku dari Daisu." Ia kemudian melemparkan pandangannya pada asisten gadis itu yang setia berdiri di belakangnya.
Gentarou, begitulah sang Phantom memintanya untuk dipanggil---tertawa ketika dirinya dan Daisu ber-tos-ria selayaknya sahabat lama. "Jadi sekarang hidupmu lebih teratur dan terkendali, eh?" katanya, selagi Daisu hanya terkekeh pelan.
"Kalau aku boleh tahu," suara Gentarou pun berubah begitu lembut dan imut selagi tubuhnya membungkuk menjajarkan wajahnya dengan [Name] yang notabenenya pendek, "berapa usia Hime-sama ini?"
Wajah [Name] memanas ketika ia menyadari jarak yang tercipta antara wajahnya dengan wajah lawan bicara yang begitu pendek. Selain itu, perlakuan dan gestur Gentarou yang secara tak langsung menghinanya bertubuh pendek, membuatnya marah dengan wajah memerah. Ia dengan sedikit gertakan menjawab, "Sembilan belas, Gentarou-san."
Suara Gentarou kembali berubah, menjadi berat dan menggoda---menurut pendengaran [Name]? "Aah ... sembilan belas ya? Baiklah kalau begitu. Kalau begitu, aku akan memperlakukanmu dengan baik-baik, mengingat kau ini masih muda. Aku juga akan memastikan waktu istirahat Hime-sama cukup dan sesuai waktunya. Aku juga akan memastikan pekerjaan Hime-sama tidak terlalu berat."
[Name] dapat bernapas lega ketika Gentarou akhirnya menegakkan tubuhnya tanpa mengucapkan apapun lagi. Daisu menepuk bahunya pelan selagi terkikik, berusaha menenangkan gadis sutradara muda itu.
Gentarou tersenyum tipis. "Uso desu yo~ aku akan membuatmu bekerja keras tanpa henti. Aku menginginkan yang terbaik untuk projek ini lho, Hime-sama. Kau tahu itu, bukan?"
"Ah---apa? Kau baru saja berbohong?!"
Gentarou tertawa melihat respon menggemaskan dari gadis di hadapannya. "Yah, seperti yang kaulihat, Hime-sama. Aku ini, Yumeno Gentarou yang akan bekerja sama denganmu."
[Name] masih dibuat kebingungan dengan tingkah laku Gentarou, sementara ekor matanya tak berhenti melirik Daisu---meminta penjelasan. Apa maksudnya ini semua?
Gentarou membawa cangkir teh lainnya yang tampak masih dapat dipegangnya dengan teratur selagi memegang buku sakunya. "Teh, Hime-sama? Setelah ini kita bisa membicarakan projek ini dengan baik."
"Terima kasih---"
Sebelum sempat [Name] meraih cangkir tersebut, Gentarou telah menariknya kembali sebelum menyesapnya habis. Lagi-lagi, tingkah lakunya membuat [Name] kehabisan akal. Apa yang diinginkan orang ini?
Setelah menghabiskannya, Gentarou menjulurkan lidahnya. "Uso desu yo~ Hime-sama kalah, Hime-sama kutipu lagi~!"
A-apa?
"Gentarou-san." [Name] sedikit menekankan ucapannya. "Bisakah kita lebih serius dan melakukan diskusi terhadap projek ini secepatnya?"
Suara Gentarou kembali berubah lembut dan imut mendengar ucapan [Name] yang sama sekali tidak membuatnya gentar. "Ah, Hime-sama marah, ya?" Gentarou meletakkan kedua cangkir pada pegangan balkon tanpa takut keduanya akan jatuh. "Tapi tidak bisa. Kau harus mengenalku dulu sebelum kita memulai pembicaraan, Hime-sama."
Sementara di belakangnya, [Name] sadar betul Daisu tengah menahan tawanya, gadis itu menggeram jengkel. "Setidaknya, bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan Hime-sama? Itu membuatku muak."
Gentarou menepuk pakaiannya selagi tangannya yang lain menyimpan buku sakunya. "Bagaimana aku harus memanggilmu? [Nickname]-chan?"
[Name] menggeleng. "Tidak. Tolong tanpa panggilan khusus menyerupai itu. Panggil aku dengan nama normalku."
Gentarou memasang pose berpikir, dan akhirnya mengangguk. "Tentu! [Surname]-san, begitu kau ingin memanggilku?"
"Ya. Tolong kerja samanya, Gen---"
Gerakan nyaris membungkuk [Name] terhenti ketika Gentarou menyentuh tangannya dengan lembut, kemudian mendekati telinga kanannya dalam posisi nyaris memeluk gadis itu. Ia berbisik, "Uso desu yo~ Aku menyukai panggilan Hime-sama, dan aku akan terus memanggilmu begitu. Kau adalah Tuan Putri yang bertanggung jawab atas skenarioku, oke? Kalau kau mau kupanggil dengan nama kecilmu, atau bahkan nama panggilan khusus lainnya, lain kali saja, ya."
Suara bisikan Gentarou yang menggunakan suara yang pertama kali ia gunakan untuk menyapa [Name] yang ia yakini sebagai suara aslinya tanpa dibuat-buat, menggelitik telinga [Name] yang telah memerah. Bukan karena tersipu atau semacamnya, [Name] sungguhan jengkel padanya.
Dengan tampang tanpa dosa, Gentarou memundurkan posisi kepalanya, masih dalam posisi menunduk. Ia menatap [Name] intens dengan senyuman khasnya sambil menyodorkan kelingking kanannya.
"Janji?"
Sepertinya ini akan menjadi projek pembuatan film yang paling menarik seumur hidupmu, ya, [Name]-chan?
• • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top