The Untold Story (2)
️⚠️TRIGGER WARNING!!⚠️
Olivia's POV
Menatap jembatan tempat di mana aku bertemu laki-laki itu membuat jantungku berdegup kencang. Seluruh tanganku gemetar tanpa sebab sehingga aku menggenggam railing di hadapanku. Beberapa orang nampak melewatiku begitu saja sedangkan yang lain sempat berbisik-bisik. Semua bisikkan itu terasa menyesakkan. Mengapa mereka terus berbicara? Aku tidak butuh pendapat mereka tentang diriku. Aku sudah tau ... bahwa aku memang tidak normal. Benar, kata-kata orang itu memang benar. Aku layaknya orang gila yang berani membunuh ibuku sendiri. Aku memang pantas untuk dihukum. Bahkan Sam juga setuju akan itu. Sam juga bilang bahwa aku memang seorang pembunuh berdarah dingin.
Setiap udara yang kuhirup terasa begitu dingin hingga menyesakkan dada. Meski aku berusaha untuk menahan napasku, aku berakhir dengan menghirupnya kembali. Rasa frustasi mulai tumbuh di dalam diriku. Aku memang yang terburuk. Aku adalah orang paling buruk yang pernah ada di dunia. Mengapa ibuku harus melahirkan monster sepertiku? Bukankah orang-orang akan lebih baik hidup tanpa adanya aku di dalamnya? Lalu mengapa aku di sini? Mengapa ... mengapa aku harus melewati semua ini? Dosa apa yang aku lakukan sehingga aku harus mengalami segala kesialan ini? Aku tidak tahan ... aku bukan seseorang yang kuat, aku hanya anak lemah yang selalu merengek.
Perasaan frustasi yang semakin tumbuh di dalam diriku membuat kedua kakiku lemah. Dengan sendirinya aku langsung berjongkok, berharap dengan begitu aku bisa menghilangkan rasa kesepian yang ada di dalam diriku. Kedua tanganku langsung memeluk lututku, berusaha untuk mendapatkan kehangatan dari sana. Kenapa ibu tidak membawaku serta ketika dia pergi? Kenapa dia justru meninggalkanku dengan segala rasa sakit ini? Mengapa dunia tidak adil kepadaku? Aku hanya ingin pulang, aku hanya ingin bersama dengan ibu. Bukankah itu akan lebih baik? Atau ... seharusnya akulah yang mati. Seharusnya, aku menggantikan posisi ibu saat itu. Dengan begitu, Sam tidak akan kesulitan seperti sekarang. Semuanya memang salahku.
"Nak, ada apa?" Suara yang begitu lembut membuatku terkejut. Aku mendongakkan kepala untuk melihat sosok wajah penuh kerut, meski begitu dia masih tersenyum lebar. "Kenapa kau menangis? Apa kau tersesat? Biar Nenek bantu, ya?" Tangan nenek tersebut terasa begitu dingin ketika mengusap pipiku yang mulai basah. Kapan aku menangis? Kenapa aku menangis? Aku ... tidak pantas untuk menangis. Semua rasa sakit ini pantas aku dapatkan.
"Tidak ... aku tidak tersesat."
"Kalau begitu, mau Nenek antar pulang? Orang rumah pasti khawatir denganmu." Ungkapan tersebut justru terasa lebih menyakitkan di hatiku. Khawatir apanya? Justru mereka takut kalau aku membuat kekacauan. Mereka hanya peduli pada reputasi mereka. Mereka malu mengakuiku sebagai bagian dari keluarga mereka.
"Aku tidak punya keluarga! Meski aku pulang sekarang, tidak akan ada yang mengkhawatirkanku! Aku hidup hanya seorang diri!" teriakku tanpa pikir panjang sebelum berlari dari nenek tersebut. Biar saja orang berkata kalau aku kasar. Bukankah aku sudah dicap jelek oleh mereka? Untuk apa aku menutupi diriku lagi? Aku bukan anak bodoh seperti dulu ... semua tatapan itu menjelaskan segalanya.
"Nak, tunggu," panggil nenek tersebut. Namun aku tidak mengindahkannya dan terus berlari. Sendirian. Aku harus bertahan sendirian. Bila orang lain tau apa yang aku rasakan, mereka akan langsung mengejekku. Bertahan. Aku harus bertahan.
Pandanganku mulai mengabur ketika air mata mulai membendung kembali. Sialan! Kenapa aku terus menangis? Apa yang harus aku tangisi? Semua ini sudah pantas aku dapatkan! Bocah sialan! Lemah! Tidak tau aturan! Hentikan air mata ini sekarang. Cepat hentikan! Kau hanya mengundang perhatian orang-orang. Kenapa ... kenapa mereka memperhatikanku seperti itu? Kenapa semuanya begitu menyesakkan? Apa yang aku perbuat hingga membuat mereka menjauhiku seperti itu? Apa salahku? Siapa pun ... katakan kepadaku. Tolong katakan, apa perbuatan salahku? Kenapa aku mendapatkan semua perlakuan ini? Apa yang telah kuperbuat kepada kalian sehingga aku harus melewati ini semua sendirian? Siapa pun, beri tau aku!
"Lihat-lihat kalau jalan!" Aku yang terlalu fokus dengan pikiranku tidak sengaja menabrak seseorang. Dalam pandanganku yang mengabur, aku bisa melihat orang di hadapanku menggunakan jas rapih. Mengingatkanku akan ayah. "Tunggu .... Dia anaknya!"
Suara ricuh seketika masuk ke dalam pendengaranku. Rasa panik menghilangkan semua air mataku. Aku mendongak untuk bertemu dengan wajah-wajah yang kukenal. "Pergi! Menjauh dariku! Untuk apa kalian semua datang menemuiku?! Biar saja aku hilang! Bukankah ayah akan lebih bahagia dengan fakta tersebut?!" Ucapanku tidak ditanggapi oleh mereka. Dua dari mereka maju dan menggenggam kedua tanganku kuat-kuat. Semua latihan yang aku kerahkan sejauh ini tidak ada artinya sama sekali.
"Olivia!" Suara lain yang sangat kukenal terdengar. "Via!" Seluruh tubuhku gemetar dalam genggaman orang-orang ini. Begitu wajah tersebut muncul di hadapanku, rasanya aku kembali merasa sesak. Tak peduli berapa banyak udara yang aku hirup, tidak ada dari mereka yang bisa memuaskan paru-paruku.
"Lepasin! Apa mau lu?!" Samuel mengerutkan keningnya. Selama ini, dia selalu tidak ingin berada di dekatku atau sampai anak-anak lain melihatnya denganku. Lalu mengapa sekarang dia begini? Dia memperhatikan para penjaga dan mengangguk. Secara otomatis, mereka yang tidak menggenggamku membuat lingkaran dan mengalihkan pandangan mereka.
"Gua sangka lu seenggaknya udah berubah. Ternyata ... lu masih enggak ada malunya sama sekali." Tanpa berucap lagi, Samuel menamparku cukup keras. Sekali tamparan darinya sudah cukup, cukup bagiku untuk tau betapa bencinya dia atas diriku dan kehadiranku. "Gua bakal lapor ke ayah. Lu tanggung semuanya sendiri."
Sam tidak mengatakan apa-apa lagi sebelum dia menarik lenganku sama kasarnya seperti para penjaga memegang tanganku sebelumnya. Dia juga tidak segan untuk menyeretku kembali, kembali ke rumah yang sama sekali tidak bisa disebut sebagai rumah tersebut. Itu adalah neraka, neraka bagiku dan akhir dari segalanya. Tidak peduli seberapa keras usahaku untuk melepaskan genggaman Sam, aku tetap lebih lemah darinya. Rasa sakit mulai muncul di lengan yang dia genggam, pastinya meninggalkan bekas yang lainnya. Tau aku tidak akan bisa menang melawan Sam, akhirnya aku membiarkan diriku di bawa oleh dirinya, tidak peduli apa yang akan terjadi nantinya.
Untuk sampai ke rumah tidak perlu terlalu lama. Dari yang aku pernah dengar, ibu yang memilih perumahan ini. Katanya, akan baik untuk kami sekeluarga. Kami bisa berjalan-jalan sore bersama, aku dan Sam bisa bermain di taman dekat rumah dengan anak-anak lain tanpa perlu takut akan status kami, juga ayah bisa menuju kantornya dengan cepat. Namun, semua itu hilang begitu saja setelah kematian ibu. Semua itu ... hanya angan-angan. Tidak akan ada dari harapan ibu yang bisa tercapai. Aku tidak akan berada di sini lagi, tidak untuk waktu dekat, maupun untuk waktu yang lama. Akan lebih baik kalau aku pergi, meninggalkan mereka semua.
Sam yang nampaknya masih kesal dengan usahaku untuk pergi itu mengunciku di dalam kamar. Bila ada ayah, hanya mengunciku di dalam kamar seperti ini tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Dia tidak akan puas. Melihatku babak belur pasti lebih memuaskan hasratnya. Pasti, bagi ayah, aku terlihat lebih menawan seperti itu. Dengan begitu, apakah ayah tidak lebih senang bila melihatku berlumuran darah? Aku saja senang melihat darah yang keluar dari diriku, jika ayah senang melihatku terluka ini pasti akan membuatnya lebih senang lagi.
Aku memperhatikan seluruh kamarku. Tidak ada pengurus yang berani menyentuh kamarku ini, dengan itu aku bisa menyembunyikan apa pun yang kumau lebih mudah. Melihat keluar, aku menyadari langit sore. Bila memang ibu masih hidup, apa waktu seperti ini akan aku habiskan di luar bersama dengannya dan yang lain? Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, tidak mungkin 'kan dia meluangkan waktu hanya untuk anak-anaknya? Terlebih ... salah satu anaknya adalah aku. Membayangkan semua itu hanya menambah rasa pahit di dalam diriku. Aku bermimpi apa? Ayah akan selalu membenciku, tidak peduli apakah ibu hidup atau tidak, karena aku tidak sesuai dengan keinginannya.
Melihat langit sore yang nampaknya indah membuat keinginanku semakin membesar. Aku membuka korden cukup besar supaya cahaya bisa masuk ke dalam. Tanpa basa-basi aku juga mengecek apakah pintu tertutup dengan baik. Setelahnya, aku segera membuka lemariku, mencari benda berhargaku. Dulu, ibu pernah memberiku pisau lipat. Katanya, ada banyak orang yang ingin membunuhku, sehingga jangan ragu untuk menggunakannya ketika ada yang berani mengancamku dan tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Sekarang, benda itu akan menolongku bebas, bebas dari semua belenggu yang sekarang menjeratku. Aku juga mengambil salah satu tali dari dress yang dulu ayah belikan. Semua ini sudah cukup.
"Kalo ini yang lu semua mau ... gua bakal kabulin semuanya," bisikku sambil menatap ke depan. Rasanya matahari tenggelam lebih cepat dari seharusnya. Suasana di luar mulai menggelap namun cocok untuk segalanya. Aku menggulung lengan bajuku. Tidak sekalipun aku menggunakan perban untuk menutupinya, biarlah semua luka itu menjadi saksinya.
"Via, makan malem bentar lagi siap! Gua yang bakal anter makanan lu ke kamar!" Teriakan Sam menghentikan perbuatanku. Aku menatap ke arah pintu sebelum mencibir. Untuk apa dia berkata seperti itu? Dia sama sekali tidak mengharapkan atau menunggu balasanku, dia hanya ingin menakutiku. Sam suka dengan kedudukan yang tinggi. Dia layaknya pemuja orang yang berada di atas. Pastinya itu adalah turunan dari ayah, berharap untuk bisa di atas, selalu.
Karena aku sudah tidak mendengar suara Sam lagi, aku segera memosisikan pisau lipat tersebut di pergelangan tanganku. Terlihat ada beberapa luka yang sudah mengering, membekas dan juga yang masih baru. Semua ini belum cukup. Semuanya belum cukup untuk mengeluarkanku dari semua ini. Semua ini belum cukup untuk memuaskan keinginan mereka. Mereka ingin yang lebih ... mereka suka aku menderita. Mereka ingin melihatku menjadi orang paling menyedihkan. Tidak ada kata bahagia untukku. Tidak ... seseorang sepertiku itu tidak pantas bahagia. Orang itu berbohong. Dia berbohong kalau setiap manusia dilahirkan untuk bahagia. Bahkan dia ... bahkan dia juga menyerah akan hidup. Lalu mengapa aku tidak boleh?
Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku langsung menorehkan garis pertama. Tidak terasa apa pun. Tidak ada rasa sakit maupun kepuasaan. Aku memutuskan untuk menekannya lebih dalam lagi ... lebih dalam lagi supaya mereka bisa bahagia. Aku tidak boleh lemah. Ketika rasa perih mulai tumbuh di pergelangan tanganku, aku langsung menoleh ke arah tanganku. Benar, seharusnya begitu. Warna merah yang menghiasi tanganku. Cairan merah yang keluar dari dalam diriku, menandakan kalau aku masih hidup. Aku ... aku masih hidup. Tidak seharusnya aku hidup. Aku tidak pantas hidup! Semua ini harus aku hentikan! Aku harus menghentikan diriku! Aku tidak pantas berada di sini!
Tanganku bergerak dengan sendirinya. Rasa perih itu perlahan bertambah semakin banyak, setiap goresan seperti lukisan yang digambarkan. Rasa perih itu menggantikan kekosongan yang tumbuh di dalam diriku. Apa ada yang bisa mengisi kekosongan ini lebih baik dari ini? Mereka adalah temanku, mereka adalah alasan aku bisa bertahan sampai sekarang. Mereka satu-satunya yang mengerti tentang diriku. Karena itu, aku tidak akan berhenti sekarang. Sebelum aku pergi, aku harus menenangkan diriku, kan? Aku harus merasa bahagia, hanya itu harapan terakhirku sebelum pergi. Aku hanya ingin bahagia, apa semua itu sungguh sulit untuk kudapatkan? Mengapa hanya aku ... yang merasa begitu sendirian di tengah keramaian ini?
Adrenalin yang memacu semua tindakanku seketika telah hilang. Rasa perih yang semula terasa menenangkan justru menjadi rasa terbakar. Tangan kananku dengan sendirinya menghentikan tindakanku dan menjatuhkan pisau itu, membuat darah itu mengenai lantai kamarku. Apa yang akan Sam katakan ketika melihatku? Apa yang akan dia pikirkan ketika melihatku seperti ini? Apa dia akan tersenyum? Atau ... mungkinkah dia akan langsung panik? Apa ekspresi horornya seperti ketika ibu pergi akan tercetak ketika melihatku seperti ini? Ekspresi apa yang akan dia berikan? Sekarang ... aku merasa sungguh penasaran. Aku ingin tau ... namun aku tau lebih baik kalau itu tidak mungkin terjadi.
Masih dengan kesadaranku yang perlahan menghilang, aku mulai mengaitkan leherku dengan tali yang semua sudah kusiapkan. Bukankah ... ini sudah lebih baik? Mengapa aku masih merasa ragu? Seperti dia, aku akan bisa bebas setelah semua ini selesai. Hanya rasa sakit sedikit, kan? Kenapa aku masih jadi pengecut? Bukankah aku yang menginginkan ini semua? Kebebasan, waktu untuk bersama dengan ibu. Ah ... apa ibu bahkan mau bertemu denganku? Aku menunduk untuk mendapati bajuku berlumuran dengan darahku. Dengan kondisi seperti ini, apa ibu masih mau bertemu denganku? Bukankah ... justru ibu akan semakin membenciku? Ibu ... apa kau melihatku sekarang? Apa kau ... cukup bangga denganku sekarang?
"Via, gua masuk sekarang!" Teriakan Sam menggema di dalam kamarku yang terasa begitu dingin. Aku sama sekali tidak menatap ke arah pintu itu sekarang, pandanganku hanya ke depan, menatap langit sore yang sebentar lagi akan dipenuhi dengan bintang. Apa aku ... juga akan berada di sana? Apa mungkin setelah kematianku ... aku akan bisa bebas seperti itu? "Via? Olivia!"
Mungkin karena aku tidak menjawab, Sam merasa takut. Tapi apa mungkin hanya seperti itu? Aku tidak punya waktu lagi. Tubuhku terasa semakin lemas, aku harus menuntaskannya sekarang. Jika ingin pergi bertemu ibu, meski hanya untuk beberapa waktu, aku ingin melakukannya. Jika setelahnya aku akan di bawa ke tempat yang berbeda, aku juga tidak akan masalah. Memang sedari awal anak sepertiku tidak pantas berada di mana-mana, kan? Disiksa, dihina, dikucilkan, semua itulah yang berhak aku dapatkan. Karena itu, meski aku sudah pergi, aku tidak akan masalah mendapatkannya. Aku memang berhak mengalami ini semua. Karena aku hanya seseorang yang sama sekali tidak memiliki hati.
Suara yang berisik dari belakangku membuatku membulatkan tekad. Bila bukan sekarang, aku tidak akan bisa bertemu dengan ibu. Dengan semua keberanian yang baru, aku melepaskan genggamanku, membiarkan tali tersebut menahan seluruh beban tubuhku di leher. Tekanan yang begitu banyak menarik semua napasku. Tidak ada udara yang masuk ... kenapa aku tidak bisa bernapas? Aku ... aku tidak bisa bernapas! Seseorang ... seseorang tolong aku. Jika aku masih pantas untuk diselamatkan, aku mohon tolong aku! Aku sungguh minta maaf, aku akan terus meminta maaf! Jadi aku mohon, tolong aku!
"OLIVIA!" Sam ...? Itu benar suara Sam, kan? Apa dia ... akan menyelamatkanku? Dalam pandanganku yang mengabur, aku dapat melihat bayangan satu orang ... ah, bukan, tiga orang, mereka beramai-ramai memasuki kamarku.
"S-Sam," panggilku dengan suara tercekat. Apa orang sepertiku ... berhak untuk meminta pertolongan? Aku sendiri yang membawa ini semua kepada diriku, lalu mengapa ... mengapa aku meminta pertolongan?
"Olivia!" Samar-samar aku bisa merasakan kehangatan menyentuh kakiku, menuju tubuhku. Apa ... aku sudah dibebaskan? Apa sekarang aku bisa bertemu dengan ibu? Apa aku bisa bahagia sekarang? "Via, tolong ... tolong jangan tidur, ya. Buka mata lu. Gua mohon ... jangan tutup mata lu, Via."
"Sam?" Dingin ... tapi hangat. Aku ... kembali bernapas? Apa aku gagal untuk bebas? "Kenapa?" Tangisku pecah. Apa aku memang pantas untuk hidup? Untuk apa aku hidup bila semua itu hanya akan terulang kembali? Kenapa?!
"Kenapa?! Kenapa lu gini?! Harusnya lu bilang, Via! Kasih tau gua! Kasih tau gua kalo lu kesusahan! Gua kakak lu! KENAPA GUA NGGAK BISA JADI KAKAK YANG BAIK?!"
Ah ... Sam menangis. Apa tangisannya ... jujur? Apa tangisannya ... menggambarkan sesuatu? Aku bahkan sudah tidak tau. Apa aku harus mempercayainya? Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan. Rasa kantuk menghantamku. Tidak peduli seberapa banyak dia mengguncang tubuhku, berteriak kepadaku, aku tidak bisa menahannya lagi. Jika ini memang akhir bagiku, aku akan selalu berharap orang-orang di sekitarku, orang-orang yang mengalami masalah seperti aku, memiliki kekecewaan yang mendalam, untuk bisa bahagia. Aku harap, mereka sewaktu-waktu bisa merasakan kebebasan seperti apa yang aku rasakan sekarang. Karena seperti kata orang itu ... tidak ada manusia yang tidak pantas bahagia.
Siapa namanya? Kenapa bisa aku melupakannya? Namanya .... Oh, Sony. Sony berkata kepadaku, bila bukan sekarang, nanti. Dan untuknya, kebahagiaannya sudah datang. Dia juga akan dibebaskan sekarang. Dia harap ... aku bisa mengubah sesuatu. Tapi aku tidak kuat, aku tidak sekuat dirinya. Aku tidak bisa melindungi orang-orang yang aku sayangi, karena itu, aku harap ada orang lain yang bisa melakukannya. Aku harap, seseorang bisa menghentikan ini. Tapi aku yakin, bukan akulah orang tersebut. Karena orang sepertiku, tidak pantas untuk bahagia.
🌻✨🌻
(10/09/2021)
Salah satu alasan chapter ini dibuat untuk memperingati "suicide prevention day". Seseorang bisa terlihat baik-baik saja dari luar seperti Olivia, namun, di dalamnya mereka sedang bertengkar dengan dirinya sendiri, bahkan bisa sampai berpikiran untuk membunuh dirinya. Raise awareness, break the stigma.
A/N: Sebagai klarifikasi supaya tidak ada kebingungan dan kalau tidak ada salah perhitungan, seharusnya ini sebelum Olivia pindah. Iya, Olivia itu pindah ke sekolah Cornation waktu SMP 2. Di situ dia ketemu sama Daniel yg selalu jadi pelatih pribadi Samuel, which ternyata juga ngajar di sekolahan. Sebelum2nya, Olivia cuma latihan bareng pelatih di sekitar rumah sama penjaga pribadinya, mengingat dia kan anak "pejabat" harus bisa jaga diri seenggaknya secara basic.
Dan waktu SMP 2 ini, si Raquel lagi di luar negeri, dia pulang tahun berikutnya sebelum masuk kelas 3 SMP. Meski dia bisa daftar ke SMP, dia lgsg ikut test buat masuk ke SMA dengan alesan mau sekelas sama Rachelle. Dalam kurun waktu kenaikan kelas (sebelum ujian), Raquel udah pulang dan lgsg cari si Rachelle. Nyari Rachelle itu gak susah karena meski bukan keluarga pejabat, Rachelle itu anak orang kaya, hence ini sekolahan anak2 elite tapi juga bisa dimasukin sama yg biasa aja.
Penjelasan lainnya ditunggu di season 2 ya ^^ Selamat menunggu~
Dan supaya kalian enggak digantung dengan kelanjutan setelah Olivia bangun, silahkan dibaca tambahan di bawah ini 👇🏻👇🏻👇🏻👇🏻👇🏻
🌻✨🌻
"Via?" Mendengar suara Sam sama sekali tidak membuatku merasa baik. Namun, seluruh tubuhku terasa kaku. Bahkan untuk mendongakkan kepala saja terasa sakit. "Jangan gerak, lu ... masih belum kuat buat bangun."
"Di mana ...? tanyaku. Awalnya aku kira bahwa suaraku tidak akan terpengaruh, namun sekarang aku sama sekali tidak bisa mendengar suaraku. Ah, bukan-bukan, bukan tidak bisa mendengarnya, namun suaranya begitu serak sampai aku tidak yakin ini adalah suaraku sendiri.
"Kamar lu. Lu ... tidur seharian."
"Ayah?" Hanya itu yang bisa aku pikirkan. Entah karena apa, aku hanya bisa memikirkan tentang ayah.
"Nggak pulang. Katanya bakal pulang seminggu lagi." Aku terdiam mendengar itu, sama sekali tidak mengeluarkan respons apa-apa. Sebagian dari diriku merasa bahagia ... dan aku juga akan terbebas selama beberapa saat, kan? "Via ... lain kali, kalo ada masalah ...."
"Gua nggak percaya sama lu," ujarku susah payah.
"Kalo gitu, lu mau apa dari gua? Gua bakal ... usaha. Kasih gua kesempatan untuk jadi kakak yang baik buat lu." Mendengar itu seketika membuatku terdiam. Salah satu perkataan Sony terngiang di benakku. Jaga Rachelle untukku. Itulah yang aku dengar darinya.
"Gua ... mau pindah," ucapku tanpa ragu. "Gua mau pindah sekolah. Gua juga mau ... pindah rumah. Gua nggak mau di sini lagi. Lu harus cari cara ... buat bujuk ayah mau pindah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top