Chapter 9 - Ice Princess On The Move
Raquel’s POV
Orang berkata kalau saling menyukai adalah hal yang biasa. Bagaimana kalau itu jadi sebuah obsesi? Menyukai merupakan hal yang membahagiakan, namun obsesi adalah hal yang menyeramkan. Sama seperti apa yang sedang terjadi denganku. Dia berkata kalau dia menyukaiku, namun sekarang dia mengikutiku ke mana pun aku pergi. Bahkan Rachelle mulai merasa bosan melihatnya terus-terusan berada di dekatku.
“Kalo ada Olivia, udah mampus itu cowok!” ucap Rachelle kesal.
“Hm … abis kompetisi belom pernah kumpul lagi, kan? Masalah apa ya ….”
“Tumben peduli sama dia.”
Kutatap Rachelle dengan tatapan kosong. “Heran.”
Roti yang sedang kumakan kuhabiskan dengan cepat dan kutenggak minuman yang dibelikan Rachelle sampai habis sebelum membuang semua sampahnya. Tanpa berkata apa-apa, aku meninggalkan Rachelle yang masih sibuk menghabiskan rotinya. Dia menatapku dengan mata yang membulat, seperti dia tidak percaya kalau aku berani meninggalkannya seperti itu. Biasanya dialah yang selesai lebih dulu.
Baru beberapa langkah aku menjauh dari Rachelle, seseorang sudah menyodorkanku sebatang cokelat dengan note yang tertempel di atasnya. Ini sudah jadi percobaan ketiganya untuk berbicara denganku, namun sudah beberapa hari terus mengikutiku tanpa henti. Tanpa memandangnya sedikit pun, aku langsung menabrak cokelat yang dia sodorkan hingga terjatuh. Anak-anak yang melihatnya langsung berbisik-bisik.
“Tungguin gua! Woi!” Sebuah tangan menahan pundakku, tangan yang bukan lain adalah milik Rachelle. “Itu kakel gak papa?” Jempol Rachelle terlihat menunjuk ke belakang, ke orang yang baru saja aku tolak mentah-mentah.
“Biarin aja. Nggak penting juga.”
Rachelle terlihat mengeluarkan senyum puas dan merangkul leherku, yang kulepaskan dengan mudah, dan berjalan bersama-sama kembali ke kelas. Kami mendengar suara jeritan dari salah satu kamar mandi. Rachelle tanpa memandang ke arahku langsung berlari dan masuk ke dalam kamar mandi itu untuk melihat sekumpulan anak-anak yang tertawa dan dua di antara mereka memegang sebuah ember.
“Rena?!” seru Rachelle terkejut. Anak yang disebut namanya itu membuka pintu dengan ketakutan. Dari ujung kepala hingga kaki dia terlihat basah kuyup. “Raquel, panggil guru. Sekarang!”
“Jangan dipanggil! Sumpah, kita cuma disuruh aja ....”
Rachelle memberikan mereka sebuah ekspresi kebencian yang jarang dia tunjukkan. Tanpa mengulur waktu banyak, aku meninggalkan Rachelle dan mencari guru terdekat. Aku memang berhasil menemukan guru itu, tapi justru Olivia berada di depan guru itu. Saat kami bertatapan, dia terlihat seperti malu dan mengalihkan pandangannya ke arah yang berlawanan, tidak mau menatapku lebih lama lagi.
“Raquel, saya dapat laporan dari anak SMP kalau ….”
“Rena korbannya, Bu,” jawabku singkat sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya. Guruku hanya mengangguk dan bersama mengikutiku menuju kamar mandi di mana Rena menjadi korban.
“Ren, pake jas gua aja, ya?” Rena mengangguk lemah dan merapatkan jaket yang diberikan Rachelle. “Bu! Ini, Bu, ada anak yang nge-bully Rena … Olip?”
Olivia yang mendengar namanya disebut terlonjak dan menatap ke arah lain selain kami berdua. Wajahnya juga merona karena merasa malu, bukan hal biasa yang terjadi. Namun ketika anak-anak yang berada di hadapan Rachelle mulai berbisik-bisik, Olivia terlihat ketakutan. Bahkan dia memainkan jarinya, tanda bahwa dia tidak nyaman dengan kondisi ini, melihatnya seperti ini seperti memberikan jawaban atas sikap anehnya selama ini.
“Kalian ini sudah besar! Tapi sikap kalian semua seperti anak kecil! Nama kalian akan saya catat dan saya akan memberikan kalian poin. Semuanya bubar!”
“Thanks, Rachelle.” Suara Rena yang kecil hampir tidak terdengar oleh kami. “Gua … ke UKS dulu, cari seragam ganti.”
“Gua temenin!”
Seruan Olivia membuat aku dan Rachelle menatapnya dengan terkejut. Seputus asa itulah dia sampai rela pergi menemani Rena. Rachelle menatapku sebelum menyunggingkan sebuah senyuman. Aku tidak mengatakan apa-apa lagi dan keluar dari kamar mandi, menunggu Rachelle untuk ikut keluar. Aku perlu membahas tentang Olivia dan tidak mungkin aku membahasnya ketika ada orang yang akan dibicarakan itu. Sama saja seperti meminta untuk dimaki anak tersebut.
Perjalanan kami ke kelas kemudian terasa sangat canggung, entah karena alasan apa, tapi di antara kami seperti ada yang menghalangi untuk berbicara dengan nyaman. Bahkan sampai kami sudah di kelas, tidak ada di antara kami yang mengucapkan apa-apa. Aku sendiri tau kalau Rachelle ingin mengatakan sesuatu kepadaku terkait Rena dan juga Olivia. Dia hanya tidak tau harus memulai dari mana.
“Raquel, kayaknya gua tau … alasan Olivia mau mundur.”
“Gina?” Rachelle yang menarik kursi ke sebelahku mengangguk. “Dia sama Kiara … lagi rencanain sesuatu ke Rena, kan?”
“Kayaknya semua dari Carla deh. Lu tau sendiri itu anak satu gimana.”
“Yah … udah gini terus? Biarin aja, kan? Toh, seenggaknya kerjaan kita jadi lebih gampang.”
Rachelle tidak menjawab ucapanku yang berarti dia setuju dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Memang benar kenyataan yang ada, dengan sikap ketiga anak itu, akan mempermudah pekerjaanku dan juga Rachelle, dan Olivia tidak perlu takut akan apa-apa ke depannya. Dia bisa membantu dalam banyak hal meski dia tidak menyadarinya.
Dari sudut mataku, aku menyadari tatapan yang diberikan oleh Kiara. Dia terlihat seperti ingin menghancurkan diriku. Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tanpa sebuah alasan yang jelas, Kiara selalu membenciku. Memang sudah banyak anak yang mengenal namaku ketika aku pertama kali mendaftar, tapi hanya Kiara yang paling mencolok dalam membenciku, bahkan sampai ada klub anti Kiara karena dia tidak menyukaiku.
“Katanya kakel yang dulu ngejar si Kiara udah ngejar si Raquel?”
“Ah yang bener? Masa dia nggak sadar diri? Mana mungkin lah Raquel terima. Kiara aja nggak terima, gimana Raquel!”
Kiara yang pasti merasa tersindir menggebrak meja dengan keras. “Jadi maksudnya lu pada, gua murahan, gitu?”
“Dah lah,” ucap Guna yang menarik lengan Kiara agar sahabatnya itu diam.
Bisikan-bisikan mulai terdengar di dalam kelas dan semua berhenti ketika bel tanda masuk berbunyi. Semua kembali ke kursi masing-masing, tidak terkecuali Rachelle yang mengembalikan kursi yang dia duduki ke tempat semua. Lagi-lagi Rena terlambat masuk kelas, namun sekarang dia memiliki kertas izin tanda telat. Gina yang melihat Rena masuk dengan tenang tentu merasa kesal. Rencana yang sudah dia atur hancur begitu saja.
Saat jam pulang, seseorang tiba-tiba saja mendatangi mejaku. Melihat tangannya saja aku sudah tau siapa orang itu. Kakel yang sudah sering mengejarku adalah pelakunya. Rachelle yang sibuk dengan ponselnya bahkan sampai menjatuhkannya ketika menatap ini. Aku tidak menggubris tatapan kakel itu dan lanjut membereskan barang-barangku hingga dia menahan tanganku, membuatku merasa sedikit jijik atas genggaman tangannya.
Belum aku diberi kesempatan untuk marah karena orang ini sudah semena-mena, ada tangan lain yang sudah menahan pergelangan tangan kakel itu, genggamannya terlihat kuat. Tangan yang itu juga sangat aku kenal, terlebih adanya bekas-bekas luka habis memukul. Olivia menatap laki-laki itu dengan garang dan memerintahkan dalam diam untuk meninggalkan kami berdua.
Apa jadinya aku tanpa adanya kedua temanku?
“Gua mau ngomong.” Olivia menunduk dan kembali memainkan jari-jarinya, hal yang dia lakukan karena dia merasa gugup. “Ini penting.”
“Spill the beans,” ucap Rachelle yang terlihat sangat bersemangat mengetahui fakta Olivia datang menemui kami. Menandakan kalau dia merasa percaya kepada kami.
***
Hal pertama yang menyambutku di pagi hari adalah sekotak susu dengan rasa yang aku benci dan roti yang sama sekali tidak terlihat enak atau setidaknya pleasing. Di atas bungkus roti terdapat sebuah note yang sudah tidak perlu dipertanyakan dari siapa. Awalnya aku berpikir untuk membuang semua itu namun aku mendengar pintu kelas membuka, menggagalkan rencanaku.
Rena masuk ke dalam kelas dan tidak menyapaku sama sekali. Kami sebagai pengurus kelas memang diharuskan untuk datang lebih pagi. Melihat Rena yang lemas seperti itu, aku mendekatinya dan memberinya semua pemberian kakel itu. Rena menatapku bingung tapi aku tidak merasa kalau aku perlu menjelaskan sesuatu kepadanya.
“Buang aja note-nya kalo ganggu.”
“Tapi ini ….” Untuk menghindari ocehan Rena, aku langsung menuju gedung SMP yang kuyakini sudah lebih ramai dari SMA. Aku pergi ke ruang klub Olivia dan melihatnya sudah di sana bersama Daniel.
“Raquel! Our ice Queen! Apa kabar?”
Semua pernyataan Daniel tidak ada yang kutanggapi dan aku duduk di dekat Olivia menyimpan tasnya. “Fokus saja padaku. Orang sepertinya tidak pantas diperhatikan.”
Mendengar ucapan Olivia anehnya tidak membuatku merasa kesal seperti ketika orang lain yang mengucapkannya. Di saat ini lah aku sadar mengapa aku dan Rachelle merasa canggung kemarin. Biasa yang menjadi perantara di antara kami adalah Olivia, dan dia adalah alasan kami bertahan sampai sekarang. Walau belum lama tapi Olivia berperan cukup penting di dalam hidupku, dan tanpa dirinya aku tidak tau akan jadi apa aku sekarang.
Daniel dan Oliva melanjutkan sesi latihan mereka dan aku merasa takjub dengan kekuatan yang ditunjukkan oleh Olivia. Walau badannya cukup kecil, namun dia bahkan bisa membanting Daniel yang jauh lebih besar dengan mudahnya. Tidak heran kalau dia selalu menang dalam pertandingan apa pun. Tidak terkecuali pertandingan yang baru digelar beberapa hari lalu.
“Apa lagi yang membuatmu kesal sekarang?” Daniel bangkit dari posisinya yang semula sambil mengusap punggungnya. “Kau harus mulai mengontrol emosimu atau itu akan berakibat buruk saat pertandingan.”
“Aku tau.” Jawaban singkat Olivia membuat Daniel hanya menghembuskan napas pasrah. “Kenapa lu ke sini?”
“Kabur,” ujarku frontal. Olivia menatapku tidak percaya.
“Lu punya nyali bawa cowok …” Daniel yang mendengarkan berdeham untuk menyaring ucapan Olivia yang sering kali tidak terkontrol. “LU ngebawa orang kayak dia ke sini?”
“Kalo bisa, gua udah kubur dia jauh-jauh.”
Daniel terlihat menggelengkan kepala karena tidak paham dengan apa yang kami diskusikan. Dan bagai mantra, kakel yang sedang kami bicarakan itu kembali datang dan bahkan berani muncul di dalam ruang klub. Sebuah senyum lebar terukir di wajahnya. Melihatnya tersenyum seperti itu benar-benar membuatku muak, kutatap Olivia yang sudah terlihat kesal karena kedatangan tanpa undangan itu.
Satu-satunya yang bereaksi setelah kedatangan kakel itu hanya Daniel, dia berdeham beberapa kali sebelum dia menyapa kakel dengan suara yang sangat lantang. Beberapa anak yang juga berada di ruangan langsung menatap Daniel. Mereka semua merasa penasaran siapa yang dia sapa dengan semangat itu. Tidak biasanya Daniel menyambut anak non-klub dengan penuh kebahagiaan.
“Ada perlu apa, Nak?”
“Ah, itu. Saya mencari Raquel. Dia datang ke sini, kan?”
Daniel menatapku sekilas sebelum menyunggingkan sebuah senyum. “Nampaknya orang yang bersangkutan tidak berminat menemuimu.”
“Tapi saya memiliki hal yang sangat penting!”
“Bagaimana kalau kau melawanku?”
Kutatap Olivia seperti dia sudah gila. Bukan karena dia menantang kakel itu, tapi dia yang bersikap sopan kepadanya. Dia bahkan menyunggingkan sebuah senyum manis yang dapat membuat siapa pun salah paham. Olivia menatapku sebelum dia mencibir kecil. Daniel menatap Olivia juga, yang aku yakin karena alasan yang sama seperti aku. Sikapnya yang berubah sopan.
Kakel itu dengan bodohnya hanya tersenyum dan terlihat sangat bahagia dan bersemangat. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang klub yang langsung dihentikan oleh dua orang. Dia terlihat bingung dan meminta bantuan kepada Daniel yang hanya melambaikan tangannya kepada anak-anak klub dan menyuruh mereka untuk melepaskannya, membiarkan kakel itu masuk ke dalam ruang klub.
“Mari kita bermain game. Kakak dapat memilih akan melawan siapa terlebih dahulu, namun ada tiga stage. Jika kau bisa setidaknya menang satu stage, Kakak bisa kencan dengan Raquel akhir pekan ini.”
“Carter!” jeritku marah. Dia memberiku sebuah tatapan kalau aku hanya harus mempercayainya dan rencana bodohnya itu.
“Yang pertama ada aku, kita akan bertanding basket, kalau tidak salah, Kakak kapten tim basket, kan? Dan juga judo. Kalau kakak dapat menyelesaikan keduanya, akan ada bonus. Yang kedua, Rachelle Demian. Battle piano dengannya. Yang utama, Raquel Daniel Owen. Bermain rubiklah dengannya.”
Kakel itu menatap Olivia seperti dia tidak percaya. Dia tidak percaya akan diberikan tugas semudah itu … atau tidak? Daniel lagi-lagi menatap Olivia seperti anak itu sudah gila. Aku memegang rekor menyelesaikan rubik hanya dalam empat detik, jangan tanya bagaimana, dan Rachelle sudah latihan piano sejak kecil bersama dengan seseorang yang sangat pro.
Bahkan kalau kakel itu menang, itu hanya sebagai tanda kalau kiamat sudah dekat. Bagaimana mungkin seorang kapten basket dengan nilai pas-pasan dan game addict mengalahkan kami bertiga? Daniel mewakilkan perasaanku dan menepuk kepala Olivia cukup keras, hanya untuk membuatnya terkejut dan kembali sadar dari angan-angannya itu. Dia sudah kelewat batas gila!
“Aku pasti tidak akan menang melawan Raquel. Bagaimana kalau kita langsung bertemu si gadis Rachelle itu?”
Aku berani bersumpah sewaktu-waktu akan mencekik Olivia. “Ide yang bagus! Pulang sekolah, studio SMA, ruang sepuluh.”
Kakel itu menyodorkan tangannya untuk berjabat dengan Olivia. Awalnya aku pikir dia sudah benar-benar gila dan akan menyambut uluran tangan itu. Nyatanya, dia masih memiliki sedikit rasionalitas dan berjalan ke arahku untuk mengambil tasnya. Dia langsung pergi begitu saja, tak lupa berkata kalau kakel itu tidak boleh sampai terlambat atau dia akan dihitung mundur dalam game ini.
Sepanjang pelajaran aku tidak bisa tenang, bahkan Rachelle yang sudah mendengar kabarnya dengan tidak mengenakan tidak bisa menenangkanku. Dia sendiri merasa khawatir. Nama Rachelle dan piano sudah banyak diketahui orang, apa dia hanya bodoh atau dia memang bisa bermain piano? Semua ini yang kami berdua pikirkan secara terus menerus.
Rena adalah satu-satunya orang yang menganggap ini tidak baik. Ketika istirahat, dia bahkan berusaha berbicara denganku menggunakan alasan ketua kelas dan wakil yang harus membicarakan soal pelajaran dan kondisi kelas. Dia berkata kalau kakel itu sudah pasti tidak akan menang melawan Rachelle, padahal dia belum pernah melihat Rachelle bermain sama sekali. Anak itu tidak memiliki batasan kalau sudah terlalu larut dalam permainannya. Sama seperti Olivia yang tidak segan membanting lawan dengan keras.
“Dia benar-benar menunggu,” ucap Rachelle yang memandang ke dalam studio. “Dan dia tidak terlambat. Apa yang Olivia lakukan?”
“Daniel.” Rachelle menatapku bingung namun membiarkannya. Dia masuk dengan tiba-tiba, membuat kakel itu terlonjak.
“Gua pikir lu-lu pada yang bakal telat. Nggak takut nih gua abisin?”
Rachelle tidak menjawab kakel itu dan langsung menghampiri piano yang ada sebelum merenggangkan badan. Dia memainkannya, berpura-pura salah pada beberapa not. Tentu ini membawa senyum pada kakel itu. Ketika Olivia datang bersama dengan Daniel, kakel itu mengajukan untuk maju pertama. Rachelle tentu mengikuti permainannya, yang selesai dengan mudah.
“Bagaimana kalau copy battle? Rachelle bisa memulainya dan kau bisa melakukan hal yang sama.”
Rachelle hanya mengangguk. “Apa aku berikan basic saja? Dia terlihat seperi orang yang belum pernah bermain.”
“Jangan beri ampun, Rachelle. Orang kayak dia gak pantes dapet belas kasihan!” celetuk Olivia. Rena, dan beberapa anak lain, menahan napas terkejut.
“Kalau begitu akan kukerahkan semuanya.”
Rachelle tersenyum puas dan menatapku yang hanya duduk dan menyilangkan tangan di depan dada. Daniel duduk di sampingku yang ditemani oleh Olivia di sisi yang lain. Rachelle memulai dengan tenang, diikuti cukup mudah oleh kakel itu, dan ketika Rachelle mempercepat gerakannya, kakel itu mulai terlihat kewalahan. Beberapa anak yang menonton tertawa dan berbisik-bisik, mungkin merasa puas.
Entah karena alasan apa, tapi Rachelle benar-benar menunjukkan totalitasnya, tidak seperti dirinya yang selalu tenang. Kakel itu sudah tertinggal jauh dan anak-anak mulai terkikik geli. Lagi-lagi Rena kembali mengganggu pertandingan yang ada. Teriakannya membuat Rachelle menghentikan perform-nya, sedangkan Olivia yang bangkit berdiri karena marah. Daniel yang ada di sampingnya memberi peringatan kepadanya.
“Bukankah ini tidak adil? Rachelle adalah pemain yang handal, kalau begitu kenapa dia tidak melawan Raquel?”
“Rena, kau tidak tau banyak. Raquel memang tidak pernah bermain, tapi dia pernah belajar bersama dengan Rachelle. Ah, sudahlah. Hari ini kita sudahi. Semuanya keluar!”
“Raquel Daniel Owen, kau dan sikap menyebalkanmu itu … akan kubuat kau malu seumur hidupmu! Aku, Sony, akan membalasmu!”
🌻✨🌻
(10/02/2021)
Update! Update!
Gimana nih chapter yang satu ini? Bikin gedeg? Deg2an? 👀 Semoga kalian suka chapter ini ya! Dan stay tune untuk chap selanjutnya~
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment, serta follow author dan masukkan ke reading list kalian >.< Bye-bye
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top