Chapter 5 - Everyone Has A Story
Olivia's POV
Setengah bulan sudah berlalu untuk persiapan talent show dengan didampingi acara lainnya. Bahkan mengundang artis yang sedang naik daun. Aku sendiri baru melakukan rehearsal untuk besok. Anak-anak dari tim taekwondo yang terpilih dapat menampilkan beberapa trik kami di atas panggung nantinya. Dan apa pun yang terjadi, aku pasti menjadi salah satu center. Daniel selalu berkata kalau aku cocok untuk posisi itu.
Perjalanan pulangku berlangsung cukup lama, hingga satu-satunya harapanku adalah, semoga ayahku terjebak macet. Tidak jauh dari rumah, tiba-tiba Samuel meneleponku. Nada bicaranya sangat panik, dan kata-kata yang dia ucapkan terbata-bata. Sama sekali aku tidak dapat mengerti apa yang dia bicarakan. Meski begitu, aku yakin maksud dari pesannya itu sangat penting.
“Kenapa sih, Sam? Gua nggak ngerti lu ngomong apa!” omelku. Aku dapat mendengarnya menghela napas.
“Ayah, rumah.” Telepon pun dimatikan. Kutatap layar ponselku yang sudah mati dengan bingung. Ayah? Rumah? Apa maksudnya ayah sudah ada di rumah?
“Pak, tolong percepat lajunya!” Langit yang gelap menemani suasana hatiku malam ini. Hari yang sunyi.
***
“Lu makan di sana? Katanya mahal-mahal semua, kan?”
“Mahal? Nggak lah! Itu harga standard, apa lagi soal kualitasnya. Yang bilang di sana itu mahal namanya miskin!”
Suara tawa dapat terdengar dari anak-anak perempuan yang berkumpul di kelasku. Begitu masuk, semua orang berhenti berbicara dan memandangku. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali ke perbincangan yang sebelumnya. Uang … apa itu sangat berharga hingga dijadikan sebagai tolak ukur suatu hal? Mengapa harus kaya jika ingin dipandang?
Merasa terganggu, aku kembali keluar dari kelas dan langsung menuju ke ruang latihan. Belum banyak yang datang, tapi aku tidak peduli. Daniel terlihat sedang mempersiapkan untuk acara nanti. Tidak ada satu anak pun yang sudah datang membantunya sehingga aku memutuskan untuk menolongnya. Bukannya mendapat respon yang baik, orang-orang justru mengataiku atas tindakanku ini.
“Idih! Mau banget dipuji sih! Najis!”
“Anjir … dia ngapain sih? Dari kemaren gitu terus perasaan.”
“Itu mulut bisa ditutup nggak? Kalo lu pada emang gak mau bantu mending diem aja, nggak usah banyak bacot!”
“Sialan! Sok jagoan banget lu!” Salah satu anak, yang merasa lebih hebat dari yang lain, langsung berdiri dan mendorongku, membuat seluruh matras yang aku bawa terjatuh.
Tidak hanya sampai situ. Dia kembali menyerangku tanpa menggunakan trik apa-apa. Aku segera menahan tangannya dan memelintirnya. Padahal apa yang kulakukan ini sama sekali tidak menyakitkan, tetapi anak itu menjerit dengan sangat keras, membuat Daniel keluar dari ruangan penyimpanan. Dia terlihat panik dan bingung sebelum menarik tanganku dan menggenggam pergelangan tanganku, dia bahkan menarikku agar menjauhi anak yang masih merintih kesakitan.
“Carter! Apa yang kau pikir kau lakukan? Hari ini adalah hari penting! Tidak boleh ada anggota yang terluka, mengerti?”
“Dia yang mulai lebih dulu.” Anak itu mendengus dan memutar bola matanya.
“Lu yang duluan marah-marahin kita, ya! Lu yang bilang kali kita nggak ada otaknya!”
“Baj*ngan!” Kakiku berusaha untuk berlari, namun Daniel berdiri di hadapanku.
“Liatin aja! Bar-bar!”
Sejuta sumpah serapah aku keluarkan, tapi ini membuat Daniel semakin marah. Dia lagi-lagi menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku keluar dari ruangan. Matanya menunjukkan amarah, napasnya menderu seperti habis berlari jauh. Tubuhnya juga mengeluarkan aura panas. Semua ini membuatku ingin merangkak ke bawah batu, kalau hal tersebut bahkan bisa terjadi.
Kami telah sampai di gudang penyimpanan yang jauh dari ruang latihan. Daniel menatap sekitanya sebelum menghempaskan aku ke dinding yang ada dengan cukup keras. Kutahan eranganku yang ingin keluar, memutuskan untuk merutuk di dalam hati saja. Daniel menatapku dengan tajam dan meletakkan kedua tangannya di kanan-kiriku. Napasnya masih terengah-engah karena menahan emosi.
“Apa kau gila? Menyerang anak itu?”
“Aku tidak—” Belum selesai aku berucap, Daniel sudah memotongku.
“Menyerangnya? Sekarang jika aku bertanya, siapa yang akan lebih dipercaya? Seorang gadis penyendiri atau seseorang yang memiliki tingkat di sekolah? Ditambah, tidak ada bukti yang menunjukkan betul kalau kau tidak menyerangnya?”
“Tapi dia yang—”
“Shut up!” teriaknya yang membuatku rata dengan tembok. “Kau telah menggali kuburmu sendiri, Olivia Carter. Cepat kau minta maaf dan ganti pakaianmu. Jangan tunjukkan wajahmu hingga saatnya tampil!”
Setelah puas mengucapkan apa yang diinginkan, Daniel langsung pergi meninggalkanku sendiri. Ketika dia sudah tidak terlihat, aku menghembuskan napas pelan sebelum kembali ke ruang latihan dengan kaki yang sedikit bergetar. Ruangan yang ada terlihat sangat sepi. Bahkan ketika aku melihat sekitar, tidak ada anak yang terlihat. Kembali aku hembuskan napas pelan sebelum mengambil tasku yang tergeletak sendirian.
Ketika acara mulai, Raquel tidak mencariku, bahkan Rachelle juga. Tdak ada dari mereka yang mencariku untuk menyemangatiku. Hal seperti ini bukan hal yang aneh. Pertemanan kami memang tidak didasarkan apa pun. Hanya saling mengenal dan merasa cocok. Tapi jika sewaktu-waktu ada pertengkaran di antara kami, pertemanan itu akan dengan mudahnya berakhir.
“Penampilan selanjutnya dipersilahkan, anak SMP Cornation Junior High, eskul taekwondo!”
“Jangan mengacau,” bisik anak yang mencari masalah denganku sebelumnya. Melihatnya menatapku dengan kebecian membuatku mencibir.
“As if. Harusnya lu yang gua gituin!” Dia tidak menjawabku lagi karena kami sudah berada di atas panggung. Di saat kebanyakan anak tersenyum, aku memberi tatapan dingin kepada penonton.
“Be brave, be yourself!”
Beberapa menit setelah pertunjukkan, Daniel naik ke atas panggung dan menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh MC. Selang beberapa waktu, kami semua diperbolehkan turun. Daniel menatap kami semua dengan sinis sebelum berubah menjadi sebuah senyuman lebar. Dia bahkan berseru dengan bahagia, mendapatkan perhatian beberapa orang.
“Kalian sungguh hebat tadi! Aku bangga pada kalian semua! Bagaimana kalau besok aku traktir kalian? Apa yang kalian inginkan?”
“Ayam!”
“Barbeque!”
“Pasta!” Segala macam makanan mereka teriakkan, sedangkan aku hanya diam saja, berdiri paling jauh dari Daniel.
“Olivia, bagaimana denganmu?” Daniel menatapku dengan sebuah senyuman yang lebar, berbeda dengan ekspresinya sebelum kami semua naik panggung. Anak-anak lain mengikuti tatapan Daniel sehingga seluruh pusat perhatian tertuju padaku.
“Don’t count me in.”
Tanpa menatap Daniel untuk terakhir kalinya, aku segera mengambil tasku dan botol minum sebelum berjalan keluar. Banyak anak yang menyorakiku dan berkata bahwa aku membosankan dan hal-hal semacam itu. Semua ucapan mereka aku anggap angin lalu dan aku pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, merasa tidak nyaman dengan tubuh lengket karena semua keringat yang ada.
Setelah keluar, sebisa mungkin aku menghindari setiap anak yang berasal dari eskul taekwondo. Bukan hanya untuk SMP saja, begitupula dengan yang SMA. Perasaanku berkata kalau anak-anak itu sudah menyebar rumor ke kakak kelas kami. Lagi-lagi ini bukan seperti hal yang tidak biasa. Bukankah saat ada berita yang hangat, bahkan orang dari luar sekolah akan tau?
“Oh, Liv! Dari tadi gua cariin lu!” Rachelle menggenggam lenganku, membuatku mendesis kesakitan tanpa tertahan. “Lu kenapa?”
“Gak papa.” Aku melepas genggaman tangan Rachelle yang kuat. Rachelle langsung menggulung lengan jaketku ke atas untuk bertemu dengan sebuah luka. “Ck!”
“Ini gak papa? Lu bilang ini gak papa? Siapa? Bapak lu lagi?” Diam, aku tidak bisa menjawab semua pertanyaan Rachelle. Bahkan aku mengalihkan pandangan ke arah lain.
Tiba-tiba seseorang dari belakang menarik paksa lengan jaketku, menutupi lenganku lagi. Orang itu adalah Raquel. Dia menatap ke sekitarnya masih dengan tatapan tanpa ekspresi, tapi aku tau maksudnya. Tempat kami berdiri terlalu terbuka, akan ada orang yang melihat dan merusak reputasi mereka semua. Reputasiku sudah buruk dengan dikatai sebagai pembunuh sehingga itu tidak akan jadi masalah.
Raquel menggenggam tanganku dan menarikku ke suatu tempat. Ruangan kelas yang kosong. Dia membawaku ke salah satu ruangan tersebut karena kebanyakan anak sekarang berada di lapangan atau stan yang tersedia. Rachelle mengikuti kami dari belakang sembari menatap sekitar. Setelah dia merasa yakin tidak ada anak yang melihat kami, dia ikut masuk ke kelas.
“Spill the beans.” Rachelle menatapku tajam.
“Nggak ada yang perlu dikasih tau. Udah pada tau kok.” Raquel terlihat menghembuskan napas pelan sebelum dia mendekatiku dan melepas paksa jaketku.
“Tadi gua sempet liat penampilan lu.”
“Bukannya lu harus jaga stan?” tanyaku dingin pada Raquel.
“Isitrahat.” Mendengar jawabannya membuatku diam.
Raquel memeriksa bagian tubuhku, melipat lengan bajuku yang cukup panjang. Melihat tatapannya yang sangat serius, aku tidak bisa melakukan apa-apa selain memberinya kesempatan untuk mengecek seluruh tubuhku. Bahkan dia melihat ke punggungku, yang sama sekali tidak membuatku nyaman, Sementara Raquel menginspeksi dalam diam, suara keterkejutan Rachelle menggema di seluruh kelas yang kosong.
Raquel tiba-tiba meletakkan tasnya di meja, suaranya terdengar nyaring. Merasa panik, aku berusaha menatap apa yang ingin dia lakukan tetapi Rachelle justru menahanku. Sontak aku memilih untuk memberontak. Mereka sudah gila! Sesuatu yang dingin menyentuh punggungku, membuat sensasi yang tidak bisa kujelaskan, namun jeritan keluar dari bibirku. Rasa dingin itu lama kelamaan berubah menjadi rasa perih karena terkena lukaku.
“Lu ngapain?!” bentakku sambil berusaha untuk pergi. “Lepasin gua!”
“Ini salep, nggak usah banyak ngerengek!” Nada tegas Raquel membuatku diam seketika. Dia jelas seperti pemimpin, memiliki kendali. Beberapa kali aku mengerang kesakitan, bahkan aku hampir berteriak. Berbeda dengan Raquel, dia terlihat sangat senang melakukan ini.
“Lu pulang telat semalem?” Rachelle membantuku memasang kembali bajuku, sedangkan Raquel menyimpan perkakasnya.
“Hm, gitulah.” Rachelle terdiam atas jawabanku, siapa saja akan kebingungan menghadapi ini, dan aku juga tidak berharap apa-apa.
Tatapan yang diberikan oleh kedua temanku seperti membakar tubuhku. Walau aku tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, tapi seluruh tatapan itu membuatku sangat takut. Tatapan itu terus berlangsung hingga seseorang masuk ke dalam ruang kelas sambil bericara. Kami bertiga terlonjak dan menatap ke arah suara tersebut untuk melihat Rena.
“Kau pasti bercanda, kan?! Kau akan benar-benar melakukannya?” Rachelle, dengan tampang dinginnya, berdeham sehingga Rena menatap kami semua. “Ah, nanti aku telepon lagi.”
“Ngapain ke sini?” tanya Rachelle yang mewakili kami semua. “Keluar!”
“Gua cuma mau nelpon aja. Lebay bat, dah!” Rena memicingkan matanya dan menatap kami masing-masing seperti ingin menyingkap sesuatu. Aku menahan napas keetika dia melirik ke arahku, tapi dia hanya berbalik dan meninggalkan kami.
“Rude,” bisik Raquel yang kembali mengurusi barang-barangnya.
“Ah, Olivia. Lu dicariin sama orang namanya Daniel, katanya abis acara nanti ke ruang latihan.”
Rena akhirnya berjalan keluar, membuatku akhirnya menghembuskan napas karena lega. Sebagian dari diriku mulai mempertanyakan alasan aku menahan napas ketika ditatap olehnya. Aku mengambil jaketku dan mengikatnya di pinggang, menyampirkan tasku dan berjalan keluar. Aku sudah tidak memiliki ursan dengan mereka berdua sehingga lebih baik untuk berada jauh dari mereka sementara. Begitu aku berada di lapangan, banyak anak dari luar sekolah yang menatapku.
Kata-kata yang mereka ucapkan tidak pernah berubah. Aku adalah pembunuh, aku yang membunuh ibuku. Keramaian itu membuatku tidak nyaman sehingga kuputskan untuk mencari tempat yang lebih sepi. Berada di lorong yang sepi berarti aku dapat mendengar langkah setiap orang yang berjalan, dan itulah yang sekarang kudengar, langkah orang lain. Seseorang telah mengikutiku sehingga aku langsung berhenti.
“SIapa lu? Ngapain lu ikutin gua?” tanyaku tanpa berbalik. Jantungku berdegup kencang memikirkan kemungkian-kemungkinan yang ada.
“Gua mau ngomong.” Suara itu! “Penting. Please, balikin badan dulu.”
“Ngapain? Gua gak ada urusan sama lu.”
“Mungkin lu nggak, tapi gua ada.”
“Apa peduli lu sama gua?”
Rena terdiam sebelum berbicara dengan mantap, “Karena lu temen gua. Dan gua bakal bantuin temen gua.”
Kata-katanya membuatku berhenti bermain-main dengan lengan bajuku. Teman? Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya pertemanan itu. Semua hanya omong kosong! Setiap manusia memiliki sisi di mana mereka sebenarnya membenci diri kalian, mereka hanya pandai menutupinya. Semua manusia yang ada itu munafik dan egois.
Teman adalah sebuah candaan. Teman sejati? Hanya ada dalam mimpi! Kau mungkin merasa seseorang adalah teman sejati kalian, tapi kalian tidak pernah tau apa yang mereka ceritakan tentang diri kalian kepada orang lain, di belakang kalian. Hanya karena kalian dekat, tidak berarti kalian adalah teman. Teman curhat? Bullsh*t! Rahasiamu akan terbongkar!
Kubalikkan tubuhku dan kuattap Rena yang tingginya tidak jauh dariku. Melihatku membalikkan tubuh membuat senyum tergambar di bibirnya. Andai aku bisa meninju senyuman itu keluar dari bibirnya. Dengan kesal aku mendengus dan melipat tanganku di depan dada, menatapnya dengan menantang. Tidak sekali pun senyuman itu menghilang dari wajahnya.
“Mau apa? Gua sibuk.” Bukannya mengatakan sesuatu, Rena malah berjalan mendekatiku. “Lu mau ngapain, hah?!”
“Ck! Berisik! Diem aja!” Rena menggenggam tanganku dan tiba-tiba menurunkan sedikit bajuku, menunjukkan tulang selangkaku. “Luka … dari siapa?”
Kutepis kedua tangan Rena. “Bukan urusan lu gua bilang!” Kutarik kembali kerah bajuku sehingga menutupi lukaku dan beranjak pergi. Tapi Rena kembali menahanku.
“Gua belum selesai ngomong! Siapa yang nyakitin lu? Rachelle? Raquel? Siapa? BIlang ke gua.”
“Trus kalo lu udah tau, lu mau ngapain? Ikut campur idup gua? Jangan ngimpi!” Kutatap dia tepat di mata untuk menakutinya. “Orang kek lu gak pantes ikut campur idup gua!”
Kali ini aku bahkan mendorong Rena, berharap dia akan jera dan berhenti menggangguku. Betapa salahnya diriku. Tanpa ragu, dia menarik lenganku dan mendorongku ke dinding, membuat punggungku terantuk benda keras itu. Aku hanya bisa meringis kesakitan sebelum Rena menggenggam kedua pundakku dan membuatku menatapnya.
“Gua gak bakal berenti sampe lu bilang siapa orangnya!”
“Apa peduli lu sama gua, hah?”
“Gua udah bilang, lu itu temen gua, dan temen harusnya saling bantu.”
“Hah! Friend my ass! Nggak ada kata temen dalam idup gua!”
“Jadiin gua yang pertama.”
Nada yang dikeluarkan Rena terdengar seperti meyakinkan. Sebagaian dari diriku merasa kalau aku bisa mempercayainya dan berteriak untuk memberi taunya. Toh, dia tidak akan bisa melakukan apa-apa setelah tau. Tapi sebagian dariku berkata kalau dia akan menjadi seperti yang lain. Dia hanya penasaran, bukan peduli. Dia hanya ingin tau, bukan ingin membantu.
“Bapak gua,” bisikku, tapi Rena mendengarnya. “Bapak gua yang begini.”
“But … why? Lu pinter, jago, berpestasi.”
“Lu sangka ngapain gua belajar bela diri, huh? Iseng? Minggir. Gua udah gak ada urusan sama lu!” Tapi Rena tak kunjung melepas genggamannya.
“Gua janji bakal bantu lu. Pokoknya gua bakal lakuin apa aja biar lu bisa seneng!”
“Have fun while try to do that.”
Kulepas kedua tangan Rena secara paksa. Kali ini dia tidak memberontak, justru dia terlihat tersenyum dan lebih bahagia. Melihatnya seperti itu seketika membuatku mencibir. Kau tidak akan pernah bisa mengembalikan vas yang pecah, sama seperti manusia. Sekali kau rusak, kau tidak akan kembali sama lagi. Selamanya kau akan rusak dan hancur.
🌻✨🌻
(13/01/2021)
Another update!!! Gimana nih sama chapter yang satu ini? Huhuu jangan lupa tinggalkan vomments kalian ya! Share juga ke temen kalian dan masukin reading list 😉 follow aku juga bisa 👉🏻👈🏻
See you next week~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top