Chapter 30 - Not The End

Raquel’s POV

Kegiatan di hari Laurena ditemukan tidak bernyawa dibatalkan. Semua guru sudah kembali sibuk sedangkan murid-muridnya bebas. Namun guru yang ada sibuk bukan karena mereka bekerja seperti biasa, tapi menanggapi semua respons orangtua yang mendengar cerita dari anak-anak mereka. Ibuku yang dengar kabar dari ibu yang lain juga sibuk meneleponku berkali-kali. Tentunya dia ingin mendengar tentang berita ini dari bibirku sendiri.

Tanpa aku mengangkat teleponku, aku sudah tau apa yang akan dikatakan olehnya. Mengatai anak yang melompat, memaki orang yang menemukan jasadnya, dan menyalahkan guru-guru yang tidak bekerja lebih baik lagi untuk menjaga muridnya. Rachelle yang juga berada di kelas terlihat seperti mahkluk halus. Gina yang biasanya berteriak-teriak hanya diam seribu bahasa. Semuanya yang ada di kelas menjadi diam dan tidak seperti biasanya. Tentu saja, mereka akan terlalu terkejut untuk mencerna dengan cepat. Seseorang yang semula bersungguh-sungguh untuk membuat kami menjadi keluarga sekarang sudah tiada. Dia yang memaksakan diri untuk masuk agar tidak tertinggal pelajaran ... justru tidak akan mengambil sisa kelas untuk ujian.

“Rachelle!” Suara yang tidak terlalu kukenali memasuki ruangan kelas yang semula sepi. “Rachelle! Bilang ke gua! O-orang yang lu liat. Bukan Rena, kan? Nggak! Nggak mungkin! Rena nggak mungkin ninggalin kita! Lu pasti lagi boon!”

“Ngapain lu ke sini? Dateng-dateng malah bikin ribut lagi!” teriak Gina yang sudah bangkit dari kursinya. “Keluar sana! Nggak usah ganggu-ganggu!”

“Gua nggak bakal keluar sampe denger Rachelle sendiri yang ngomong! Rena nggak mungkin bunuh diri!”

“Kalo lu emang penasaran kenapa gak nanya ke guru aja?! Kenapa lu harus tanya ke Rachelle?! Nggak sadar kalo dia juga shock?! Jangan jadi orang egois!”

Beberapa anak kelas, termasuk aku, terkejut ketika mendengar Gina yang membela Rachelle seperti itu. Rachelle sendiri tidak seperti mendengar semua keributan yang ada, tetapi begitu keadaan menjadi tenang kembali, Rachelle bangkit dari kursinya dan hampir terjatuh. Tidak segan aku langsung berlari ke arahnya untuk menangkap dirinya yang sempoyongan. Dia juga pasti sedang menyalahkan dirinya, bagaimana seharusnya kami bisa menyelamatkannya. Hanya jika semua berjalan dengan baik.

Kali ini Rachelle bersikap dingin dan menepis tanganku yang ingin memberi dia sebuah support atau sekedar bantuan. Anak-anak yang menatap kami terlihat terkejut, bahkan terdengar ada yang menahan napasnya. Rachelle melangkah mendekati Cindy yang menangis dalam diam. Kepalanya yang tertunduk sekarang menatap Rachelle dengan takut. Dia belum pernah melihat sisi Rachelle yang seperti ini, jadi wajar saja kalau dia merasa seperti itu.

“Kalo lu emang sayang sama Rena … kenapa lu jauhin dia dari awal? Sekarang Laurena udah gak ada dan lu nyalahin gua? Dia udah gak ada dan lu baru nyesel sekarang?! Kenapa lu enggak dari awal jadi temen yang becus, hah?!”

“Dahlah, Rachelle. Percuma lu buang-buang waktu sama sampah kayak dia.” Gina menarik tangan Rachelle agar keluar dari ruangan kelas, tanpa lupa menatap ke arahku, seperti ingin berkata untuk mengikutinya juga.

Suck off.”

Ucapanku kepada Cindy nampaknya tidak memberi dampak apa-apa pada dirinya. Tangisnya tidak mereda atau semakin parah, dia hanya seperti radio rusak yang terus mengulangi kegiatannya. Gina yang keluar tidak segan menabrak pundak Cindy dan meski begitu, dia tetap diam dan tidak merespons apa-apa, membuatku semakin frustasi. Anak sepertinya tidak akan pernah belajar, dia hanya memanfaatkan situasi yang ada untuk terlihat seperti seseorang yang baik di mata orang lain. Dan dengan begitu, berharap mendapatkan perhatian yang dia perlukan.

Langkahku terhenti ketika Rachelle melepaskan tarikan Gina. Di wajahnya sama sekali tidak terlihat kalau dia marah dengan perlakuan Gina. Selama ini Rachelle selalu menolak disentuh oleh Gina, dari melihatnya diam saja membuatku yakin kalau dia memang sedang tidak dalam kondisi baik. Rachelle langsung pergi meninggalkanku dan juga Gina tanpa mengucapkan apa-apa. Sebagian dari diriku percaya ada alasan dia langsung pergi.

“Huft!” Gina meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Apa sih yang dipikirin Rachelle? Sumpah ya, kok bisa sih lu ….”

Aku menatap Gina dengan malas. “Dia temen gua, suka-suka gua gimana ngurus dia.”

“Wah! Bisa-bisanya gua lupa kalo tuh dua orang mirip! Ya, lakukan saja yang kalian inginkan! Tidak tau terima kasih!”

Gina berteriak-teriak ketika melihatku pergi meninggalkannya untuk mengejar Rachelle. Di saat seperti ini, aku tidak mungkin bisa meninggalkan Rachelle sendiri, entah apa yang akan dia lakukan dalam kondisinya. Rachelle memasuki salah satu toilet yang ada, ketika aku menyusulnya, dia terlihat mencuci mukanya dengan air dingin. Tangannya gemetar cukup hebat, tapi dia berusaha sekeras mungkin agar tidak memperlihatkannya. Bahkan kepadaku sekalipun.

Wajahnya yang basah menatap pantulan dirinya di depan cermin. Bagi mereka yang tidak memperhatikan pasti akan mengira kalau wajahnya hanya basah karena air, nyatanya, dia juga menangis diam-diam. Kuambil tisu yang ada di samping wastafel dan mengusapkannya ke wajah Rachelle yang berusaha menolak usahaku. Tentu dia tidak mau sampai terlihat sedang menangis. Baginya, menangis adalah tanda orang yang lemah. Pada kenyataannya, menangis adalah tanda kau masih memiliki perasaan dan peduli kepada orang lain.

“Rachelle ….”

“Rena, Laurena Llyod. Raquel, gua harus gimana? Olivia … yang dibilang Olivia bener … harusnya gua gak larang dia.”

“Chelle, ini kan bukan salah lu.”

“Salah gua! Ini semua salah gua! Kalo-kalo gua gak larang Olivia ….”

“Kan lu sendiri yang bilang kalo ada kejadian di luar dugaan … itu bukan urusan kita lagi. Laurena … juga nggak bakal nyalahin lu, Chelle. Dia malah bakal bersyukur lu yang udah nemuin dia.”

***

Upacara pemakanan Rena oleh sekolah akan segera dilakukan, hari Senin semua orang harus datang lebih pagi, sehingga pada hari Minggu anak-anak yang bertugas harus datang. Orangtua Rena datang ke sekolah ketika kami sudah siap pulang sekolah, saat itu sekolah menjadi kacau. Orang-orang tanpa segan mengatai Rena di hadapan orangtuanya. Tentunya itu mengejutkan orangtua Rena. Bagaimana tidak? Anak yang selalu terlihat ceria justru mendapat perlakuan tidak pantas hanya karena satu kejadian.

Kepergian seseorang memang sulit, tanpa ucapan perpisahan adalah hal yang terberat. Tidak tau apa yang harus dikatakan, tidak tau kapan akan jadi hari terakhir bagi orang tersebut untuk tersenyum. Mengekspresikan diri setiap harinya adalah jalan untuk menjadi manusia, menikmati setiap saatnya karena kita tidak tau kapan kita akan menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Menikmati semua yang ada dan tidak menyia-nyiakan orang yang ada di sekitar. Kita tidak tau, kapan orang tersebut akan pergi dari kehidupan kita. Seperti Sony yang pergi tiba-tiba, meninggalkan sejuta kenangan dan rasa pedih.

Mom udah bilang, kan? Jangan deket-deket sama Rachelle. Jaga jarak sama dia, cari temen yang lain, kalo perlu gak usah temenan lagi!”

“Kenapa? Yang temenan bukan Mom, kan?”

Tamparan mendarat di pipiku tepat setelah aku selesai berucap. “Berani ngelawan kamu?!” Ibu menamparku sekali lagi dan akan melakukannya lagi sebelum ayah menahan tangan ibu. “Lepas! Anak kayak dia mesti diajar yang bener!”

“Sehari aja, Ma, sehari. Salah Raquel apa?”

Ayah menatap ibuku dan langsung melepaskan pegangannya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ayah menggandeng tanganku dan membawaku keluar dari rumah. Bahkan ayah memberiku jaket miliknya yang tergantung, memaksaku untuk mengenakannya. Aku memberi senyum kecil saat menggunakan jaket ayah. Dia membalasnya dengan senyuman yang sama. Bagi sebagian orang, mereka akan memiliki ibu yang penyayang, atau mereka memiliki ibu dan ayah yang begitu peduli. Sedangkan aku, memiliki seorang ayah layaknya pahlawan yang tidak kenal lelah, berbeda dengan Rachelle yang memiliki ibunya.

Sore hari itu langit menjadi mendung, udara yang ada semakin dingin. Semua yang ada tidak kurasakan karena jaket tebal yang diberikan oleh ayah. Justru aku merasa sedikit kepanasan. Tangan ayah yang besar terpaut dengan tanganku, memberi sebuah rasa tenang yang tidak pernah aku tau sangat kubutuhkan selama ini. Tindakannya yang jarang justru semakin berarti ketika dia melakukannya di momen-momen seperti ini, memberikan dukungan kecil tanpa perlu diminta.

Tidak ada satupun dari kami yang berbicara, ayah terlihat sedang memilih kata-katanya sebelum mengucapkannya kepadaku, sedangkan aku sendiri tidak merasa harus mengatakan sesuatu kepada ayah. Menjadi diam sudah menjadi kebiasaanku, membuat aku merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Lagipula, seberapaun aku berusaha untuk berkata jujur, tidak akan ada yang mendengarkan atau mempercayai ucapanku.

Dad tau, Dad … tidak perlu ragu jika ingin mengatakan sesuatu kepadaku.”

“Benar, Dad baru ingat.” Wajah ayah yang terlihat berkerut karena stress didampingi dengan senyuman.”Tentang teman sekelasmu. Katanya dia bunuh diri, apa benar?”

“Tidak ada yang tau kebenarannya. Mungkin saja itu terjadi, dia memang sedikit menunjukkan tanda-tanda depresi.”

“Niel, sebenarnya Dad dengar tentang klub yang kau buat.”

Menengar club disebutkan oleh ayah seketika membuat udara di sekitar menjadi dingin. Secara tidak langsung mataku menatap ke arah sekitar dengan panik, bagaimana bisa ayah tau? Club yang kubuat bersama dengan Rachelle dan Olivia, yang berdasar pada keinginan masing-masing. Padahal selama ini aku selalu berusaha untuk menutupinya. Aku tidak mau sampai orang lain tau, dan itu juga sudah menjadi sumpah kami bertiga untuk memendamnya sendiri.

Kehadiran club yang kubuat memang mengejutkan cukup banyak pihak, tapi sejauh yang aku tau, tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui identitas dari club yang ada. Guru-guru juga tidak tau tentang club ini karena Rachelle yang selaku ketua tidak pernah mendaftarkan club kami. Jika didaftarkan, bukannya membawa untung, semua yang ada akan menjadi kacau. Guru-guru juga selalu merasa untuk tidak memedulikan club kecil kami karena tidak berdampak negatif atau membuat kekacauan.

Dad tidak marah.”

Mom tau?” Ayahku menggeleng, seperti tau ke mana aku ingin berkata.

“Kau tau bagaimana sensitif dirinya. Club yang tidak terdaftar … jika dia tau, kau sudah pasti keluar dari rumah.”

Pernyataan ayah membuatku menatapnya dengan takjub. Seseorang seperti ayah, orang yang penuh pengertian dan selalu perhatian, menikahi wanita yang tidak peduli akan hal lain selain harta dan juga tahta. Seberapa menyedihkan hidup yang ayah jalani sebelum aku datang? Selama ini ayah selalu berkata kalau aku adalah cahaya ayah, sosok yang membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Aku selalu mencoba mempercayainya, itu satu-satunya harapan yang aku punya untuk bertahan hidup bersama ibu.

“Lebih baik kita pulang. Mom bisa mengacaukan seisi rumah jika tau kita pergi terlalu lama.”

Aku menahan tangan ayah yang sudah siap untuk kembali. “Dad, apa menurut Dad aku salah? Laurena Llyod, Kak Laurena, anak yang dikabarkan bunuh diri. Apa mungkin dia membenciku atas perbuatanku saat itu?”

“Jika dia memang membencimu, mengapa dia mengirimu pesan itu? Pesan yang membuatmu menangis semalaman.”

***

“Hari ini kita semua berkumpul untuk mengenang salah satu murid … yang memberi dampak cukup besar bagi sebagian dari murid dan guru. Kepergian seseorang memang selalu terasa berat dan setiap harinya akan ada orang yang pergi. Hari ini … sekolah mengadakan upacara khusus untuk murid bernama Laurena Llyod.” Wakil Kepala Sekolah langsung turun dari podium setelah mengucapkan pembukaan.

“Denger, denger, katanya ortu si Laurena yang minta.”

Seorang kakak kelas yang berada di belakangku dan Rachelle terdengar saling berbisik. Walau begitu, suara mereka masih terdengar begitu keras hingga aku bisa mendengarnya tanpa masalah. Rachelle yang juga dengar percakapan itu menatap ke arahku, seperti mengirimkan sebuah pesan tersirat dari tatapan yang dia buat. Jelas pembicaraan seperti ini sungguh sensitif untuk dilakukan, namun kakak kelas itu justru tidak malu melakukannya.

Banyak dari anak-anak di sekolah yang merasa penasaran, terganggu dan masih banyak lagi karena upacara yang diadakan untuk Laurena ini. Selama yang pernah terjadi, bahkan pemenang lomba yang meninggal karena sakit tidak pernah diberi upacara penghormatan. Di saat kasus yang seharusnya dikubur dalam-dalam oleh sekolah, justru diumbar secara besar-besaran.

“Jadi orangtuanya Laurena yang suruh sekolah buat bikin gini?”

“Gila! Udah mati aja masih nyusahin orang. Mana ulangan jadi diundur, kan? Pengen gua tuntut kayaknya ortu si Rena.”

Kedua anak itu terdengar menjerit, menarik perhatianku dan Rachelle. “Mulut lu bisa dijaga? Ato mau gua laporin juga? Verbal abuse, pemicu Laurena Llyod bunuh diri. Gimana? Seru, kan?”

“Lepasin! Cewe gila! Lepasin gua!” Olivia yang melakukan headlock mengeratkan pegangannya. “Gua kakel lu, show some respects!”

Respect? Lu aja gak respect sama orang yang udah gak ada, kenapa gua harus kasih respect ke lu?”

Perlawanan Olivia berhasil membuat kedua kakak kelas yang masih terikat dalam headlock terdiam. Mata mereka terlihat memperhatikan sekitar, menyadari anak-anak yang berkumpul mulai memperhatikan mereka. Acara yang sebenarnya memang belum dilaksanakan, namun perlakuan Olivia jelas menarik pehatian banyak orang, termasuk guru-guru.

Belum sempat ada guru yang bertindak, jas Olivia ditarik oleh Carla seperti sedang mengangkat anak kucing. Jika membahas kekuatan, Olivia tentu lebih kuat, jauh lebih kuat dan bisa melawan Carla, tapi dia tidak melakukan apa-apa dan membiarkan Carla menariknya ke kursinya sendiri. Terlihat Carla membisikkan sesuatu kepada Olivia.

Rasa sakit tiba-tiba menusuk sisiku, satu-satunya pelaku yang berani melakukan ini adalah Rachelle sehingga pandanganku langsung terarah kepadanya tanpa ragu. Sebuah senyum dipancarkan oleh Rachelle, seakan-akan dia adalah anak polos yang tidak bersalah sama sekali. Melihat aku tidak merespons, Rachelle kembali membuat raut seriusnya.

“Kapan selesai sih? Masih baru mulai, pake acara musik-musik segala.” Selang setengah jam, banyak anak yang mulai menunjukkan protes mereka. Beberapa guru harus menjaga barisan agar tidak terjadi kekacauan.

“Diem aja udah, kan lu jadi bisa maen HP. Lagian, miss Berta ngeliatin mulu. Bisa mati duduk gua kalo sampe nama gua disebut.”

“Sumpah lu Miss Berta ngeliatin?” Percakapan-percakapan yang terdengar di sekitarku semua terdengar konyol, namun ini adalah kenyataan yang terpaksa aku lalui.

“Raquel, lu laper, gak? Gua lupa sarapan nih.”

Rachelle tiba-tiba saja mengajakku berbicara, tidak lupa dia menusuk sisiku dengan jarinya, membuatku duduk tegak tanpa terelakkan. Kebiasaan Rachelle ini membuatku sudah mengerti maksudnya. Setiap pagi ibu selalu memberiku energy bar di kantung jas sehingga Rachelle, tanpa sepengetahuan ibu, sering memakannya di kelas tanpa ketahuan. Dia yang malas sarapan di rumah mengandalkanku untuk memberinya asupan pagi, seperti sekarang.

Aku memang menghormati Laurena, tapi aku tidak mungkin fokus jika Rachelle terus menerus menggangguku. Kubuka kancing jas dan tangan Rachelle dengan lincah masuk ke dalam kantong mengambil apa yang dia butuhkan. Salah satu hal yang patut diacungi jempol dari Rachelle, dia selalu bisa membuka bungkusan tanpa mengeluarkan suara sama sekali.

Upacara yang ada berlangsung selama beberapa jam, guru-guru tidak lupa memberi penghormatan pada murid-murid yang belum lama meninggalkan sekolah, dari dunia, dengan berbagai alasan. Para murid, yang sudah terpilih, diberi kesempatan untuk memberi salam perpisahan dan mengisahakan apa yang mereka tau tentang anak yang sudah tiada.

Cukup banyak orang yang maju ketika saatnya Laurena, dan banyak dari mereka yang memberi kesan yang baik. Guru-guru yang biasanya pasif juga memberi salam mereka yang terakhir. Anak-anak yang hanya menonton ada yang menangis. Apa tangisan itu tulus? Apa mereka hanya berpura-pura menangis? Mereka menangis hanya supaya terlihat anak yang baik, bukan?

“Kepada Laurena Llyod. Mungkin tidak banyak yang kutau tentang dirimu. Kita memang tidak pernah sedekat sepasang sendal, tidak pernah saling mengenal layaknya air dengan ikan. Tapi aku tau satu hal tentangmu. Senyuman yang kau berikan kepada setiap anak tanpa kenal lelah. Senyuman yang selama ini selalu terlihat tulus dan berhasil menghangatkan hati. Apa kau lihat semua ini sekarang? Apa kau ada bersama kami di saat ini? Apa kau sedang ada di acara yang kami buat untukmu?

“Sering kali aku berpikir kembali. Berapa banyak senyum yang kau palsukan? Berapa kali kau menerima hal yang tidak kau sukai hanya karena mereka kesulitan? Jika waktu bisa diputar, apa aku bisa menjadi teman baikmu? Aku sadar kalau penyesalan tidak ada gunanya, aku tidak bisa menghentikan perasaan itu. Sungguh aku selalu berharap bahwa kita bisa sedekat pensil dan penghapus yang saling melengkapi. Laurena Llyod, aku harap kau tenang sekarang. Aku harap kau bisa tersenyum bagai malaikat. Semua orang di sini akan terus mengingat namamu, mereka semua akan terus mengingat keberanianmu, senyumanmu, tekadmu, dan kebahagiaan yang kau berikan selalu. Semoga kita bisa bertemu di kehidupan selanjutnya. Sampai berjumpa, Laurena Lloyd.”

Penutupan dilakukan oleh Kepala Sekolah dengan singkat, setiap anak yang ada tidak dibolehkan untuk pulang sebelum pemberian bunga dan sesi terakhir yang dilakukan per kelas. Rachelle yang merasa lapar memutuskan untuk makan terlebih dahulu, tidak tahan dengan barisan anak-anak yang menunggu giliran mereka untuk meletakkan bunga.

Olivia, yang diikuti Carla, terlihat mendekat ke arah kami dengan ekspresi yang gelap. Sekali lihat saja sudah dapat tertebak alasan Olivia terlihat seperti itu. Dia menghela napas panjang ketika sudah berhenti di hadapan kami. Dia juga tanpa segan mengambil botol milik Rachelle dan menenggaknya, masih memasang ekspresi kesal miliknya.

“Kenapa sih lu ngikutin gua mulu? Pergi sana ke Gina atau Kiara!”

“Kalo gua tinggal, lu bakal cari masalah.”
Olivia mengusap wajahnya, menatap Rachelle yang tersenyum simpatik.  “Gua sama Rachelle, Sayang. Nggak bakal ada masalah, ngerti?”

Awalnya Carla terlihat ragu, namun suara Stephanie mengejutkan seisi kantin. Kami semua kembali masuk sedangkan Stephanie menarik Carla, membisikkan entah apa. Olivia yang masih kelas sepuluh harus memberi bunga terlebih dahulu, hingga akhirnya giliranku dan Rachelle. Ekspresi Rachelle sama sekali tidak bisa dibaca, namun aku yakin dia merasa takut.

Tidak aneh bagiku ketika berhadapan dengan foto Laurena, aku sama sekali tidak merasa sedih. Melihat senyumannya di foto hanya membuatku semakin merasa kesal. Bodoh. Itulah Laurea. Setelah aku selesai berdoa, aku mencari tempat yang sepi. Seorang anak yang menggunakan jaket dan rok sekolah yang berbeda terlihat menatap foto Laurena dari balik topinya.

“Kak Rena … orang yang bunuh Kak Rena, aku bakal nemuin dia. Aku bakal buktiin kalau Kak Rena nggak bunuh diri. Karena aku Finna Louis.”


-END-

(24/04/2021)

Akhirnya STYB end! Gimana nih perjuangan kalian selama baca cerita yang satu ini? Trus jga, kalian tau cerita ini dari mana sih? Kok bisa tau2 baca~

Yuk sharing2 soal cerita ini dan perasaan selama bacanya~

Jangan lupa tinggalkan vomments kalian ya dan share ke temen kalian, masukin reading list dan follow author ^^

Untuk epilog akan menyusul, diusahakan secepat mungkin. See you~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top